Pancasila, Pohon Beringin Pengayoman, dan Identitas Kebangsaan

“Pohon Beringin Pengayoman adalah sejiwa, sealam, sebathin dengan Pancasila. Maka sama saja apakah kita berkata: di bawah Pohon Beringin Pengayoman atau di dalam alam Pancasila.” (Sahardjo, 1963).
Peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila dilatarbelakangi pidato yang disampaikan Ir. Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidato inilah gagasan awal “Pancasila” pertama kali dikemukakan sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Setelah melalui pelbagai rangkaian persidangan, gagasan ini kemudian disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945.
Penetapan secara konstitusional memberikan validitas kepada Pancasila sebagai falsafah negara, pandangan hidup, dan ligatur (pemersatu) dalam lingkup kebangsaan Indonesia. Singkat kata, menurut Yudi Latif, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya.
Selain itu, bila menggunakan pendekatan hermeneutik dari Schleiermacher yang berintikan rekonstruksi historis dan koherensi teks secara mendetail, penulis cenderung mengidentikkan Pancasila sebagai “Kalimatun Sawa” (titik temu/kalimat pengikat). Hal ini berdasarkan premis kemerdekaan dalam mukadimah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni “Atas Berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa.” Menempatkan Pancasila sebagai episentrum tentu bertujuan agar realitas plural mampu mewujudkan rahmat dan tidak menghadirkan laknat.
Pohon Beringin Pengayoman
Bung Karno dalam karyanya “Pancasila Sebagai Dasar Negara” menyatakan tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuangnya sendiri. Mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karenanya, setiap bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal. Dalam kebudayaan, perkenomian, watak, dan lain sebagainya.
Menjiwai narasi tersebut, Dr. Sahardjo yang merupakan Menteri Kehakiman pada Kabinet Kerja III (6 Maret 1962 - 13 November 1963) mengeluarkan gagasan yang merupakan derivasi dari falsafah Pancasila. Gagasan tersebut diikrarkan pada 5 Juli 1963 saat momentum penggelaran Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia.
Melalui pidatonya bertajuk Pohon Beringin Pengayoman (1963), Sahardjo mengawali dengan apresiasi yang setinggi-setingginya terhadap Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Beliau menyatakan “Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah komando pemimpin besar yang menghentikan penyelewengan-penyelewengan dan menunjuk kembali ke jalan yang benar. Kembali ke Pancasila. Kembali ke kepribadian kita sendiri.”
Lebih lanjut, beliau mengingatkan “kalau suatu ajaran tidak sesuai dengan alam itu, maka betapa tinggi pun ajaran itu, ia tetap tidak akan sesuai dan tidak akan menemukan alam kita.”
Sebuah argumentasi pembuka yang bernafaskan kaidah hukum yang responsif-populis. Muaranya adalah produk hukum yang otentik karena berdasarkan fakta sosial sehingga realisasi keadilan substantif lebih mudah untuk tercapai. Selaras dengan ungkapan Robert Seidman, the law of the non-transferrability of law (hukum tidak dapat ditransfer begitu saja dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya).
Narasi ini kemudian berlanjut kepada sebuah substansi terkait konsepsi hukum nasional yang digambarkan dengan sebuah “Pohon Beringin Pengayoman.”
Sahardjo menguraikan “selaras dengan rasa dan penglihatan hukum itu, konsepsi kami tentang hukum nasional kami gambarkan dengan sebuah Pohon Beringin yang melambangkan Pengayoman. Di bawah Pohon Beringin Pengayoman, maka tujuan hukum pidana adalah mengayomi masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan yang mengganggu tertib masyarakat dengan mengancamkan tindakan-tindakan terhadap si pengganggu untuk mencegah penggangguan.”
Sebuah kaidah yang paripurna dalam filsafat penologi. Mengaitkan terminologi “mengayomi” dan “mencegah” tentu merupakan konvergensi dari dua arus besar reaksi penghukuman. Aspek pencegahan identik dengan reaksi punitif (deteren/penjeraan) dan aspek pengayoman identik dengan reaksi intervensi.
Hal ini juga diperkuat dalam kelanjutan narasi Sahardjo “disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, juga membimbing terpidana agar bertobat demi membentuk masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Dengan singkat, tujuan pidana penjara adalah Pemasyarakatan.”
Pidana Pemasyarakatan
Pemasyarakatan tentu memiliki nilai otentik mengingat berangkat dari Dekrit 5 Juli 1959 yang memiliki semangat responsif dan populis. Otentisitas dimaksud berkaitan dengan pencegahan dan pembimbingan. Hukuman sebagai sarana pencegahan berawal dari asumsi jika seorang penjahat dihukum, maka masyarakat akan mengetahui tindak kejahatan akan menyebabkan penderitaan sehingga mereka mencegah untuk melakukan hal yang sama.
Namun dalam konteks Pengayoman, penderitaan secara definitif adalah sekadar penghilangan kemerdekaan. Hal ini berdasarkan ungkapan Sahardjo “terpidana tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan.”
Sebagai bentuk realisasi, pada 2 Mei 2019, Sri Puguh Budi Utami selaku Direktur Jenderal Pemasyarakatan mengeluarkan Surat Edaran bertajuk Larangan Melakukan Tindak Kekerasan terhadap Tahanan/Narapidana dalam Upaya Pemenuhan, Perlindungan, dan Penghormatan Hak Asasi Manusia Tahanan/Narapidana. Secara semiotik, norma ini telah mempertegas identitas Pemasyarakatan dalam konteks penjeraan yang dimaksud.
Adapun pidana Pemasyarakatan sebagai sarana pembimbingan, menurut Sahardjo terdapat beberapa prasyarat yang sejatinya menjadi pedoman. Pertama, selama narapidana kehilangan kemerdekaan bergerak, maka ia harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya. Secara teknis, ketentuan ini direalisasikan dalam bentuk peraturan terkait reintegrasi sosial, seperti Asimilasi, Cuti Bersyarat, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Mengunjungi Keluarga.
Kedua, pekerjaan dan didikan yang diberikan kepadanya tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan kepenjaraan atau kepentingan negara sewaktu saja. Sebagai institusi total, ketentuan ini tergolong mutakhir pada masa perumusannya. Pendekatan intervensi yang bersifat konstruktif-positif tentu membutuhkan diagnosis terkait kebutuhan pembinaan terpidana.
Secara regulasi, hal ini telah diupayakan melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan serta Surat Edaran Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Nomor PAS6-176.PK.01.04.03 Tahun 2019 tentang Penilaian Perubahan Perilaku dan Pemenuhan Kebutuhan Bagi Klien.
Regulasi-regulasi tersebut mengatur prosedur pembinaan yang konstruktif-positif secara sistematis. Diawali pembuatan peneltian kemasyarakatan awal yang terklasifikasi menjadi pembinaan dan penempatan demi mengukur tingkat risiko dan menggali potensi narapidana yang siap untuk dikembangkan serta lembaga pemasyarakatan minimum security sebagai wadah untuk meningkatkan kemandirian dan produktivitas narapidana.
Selain itu juga terdapat pelbagai kebijakan yang meneguhkan otentisitas Pengayoman sebagai identitas kebangsaan, seperti percepatan pengeluaran 38 ribu lebih narapidana dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Coronavirus disease dan pembentukan Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (Pokmas Lipas).
Percepatan pengeluaran 38 ribu lebih narapidana adalah bukti, sekalipun ia telah tersesat, namun tetap diperlakukan sebagai manusia sebagaimana personifikasi Bung Hatta yang memancarkan nilai-nilai egalitarianisme. Adapun pembentukan Pokmas Lipas adalah bukti partisipasi masyarakat menjadi hal yang esensial dalam suksesi penyelenggaraan Sistem Pemasyarakatan sebagaimana personifikasi Bung Karno yang memancarkaan nilai-nilai gotong royong. Sungguh manis, Pidato Pohon Beringin Pengayoman. Terima kasih, Bapak Sahardjo.
Selamat memperingati Hari Lahir Pancasila.
Pancasila dalam Tindakan, Melalui Gotong-Royong Menuju Indonesia Maju.
Penulis: Moch. Fauzan Zarkasi (Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas I Makassar)
What's Your Reaction?






