Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam Menjaga Hak Konstitusional Anak Berhadapan dengan Hukum

Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam Menjaga Hak Konstitusional Anak Berhadapan dengan Hukum

Anak merupakan generasi muda yang memiliki peran strategis dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Indonesia sebagai negara hukum berkewajiban dan bertanggung jawab melindungi hak asasi anak untuk mewujudkan pertumbuhan optimal bagi anak-anak. Negara menjamin hak konstitusional anak sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 123 kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) sebagai pelaku hingga Agustus 2020[1]. Anak-anak merupakan salah satu kelompok masyarakat yang rentan, sehingga berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya berdasarkan Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 ayat (2) UU RI No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).

Menurut hukum, anak-anak merupakan subjek hukum (recht subjek) di mana mereka memiliki hak dan kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid). Namun, di sisi lain anak-anak dipandang sebagi subjek hukum yang “tidak cakap” hukum karena sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/ underage person), orang yang di bawah umur/keadaan di bawah umur (minderjarig heid/inferiority) atau  disebut juga sebagai anak yang berada di bawah pengawasan wali (minderjarige under voordij).

Menurut Barda Nawawi Arief (1996), perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.

Terbitnya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) merupakan upaya serius negara dalam menjaga dan melindungi anak-anak Indonesia saat menjalani  proses hukum. Anak yang berhadapan dengan hukum, baik pelaku, saksi, dan korban merupakan kelompok yang rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik maupun mental selama menjalani proses hukum. Sebelum berlakunya UU SPPA, setiap anak yang melakukan perbuatan pidana dikenakan proses hukum yang sama dengan proses hukum orang dewasa, di mana sanksi yang diberikan didominasi oleh hukuman penjara. Hukuman  penjara yang diberikan pada anak-anak akan berdampak pada fisik dan psikis mereka dan apabila mereka bebas pun, masyarakat akan memberikan label sebagai mantan narapidana.

Pemerintah melindungi hak ABH melalui instrumen-instrumen HAM nasional, antara lain Keputusan Presidan No. 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA, Pasal 64 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 66 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain itu, pemerintah berpedoman pada instrumen internasional HAM, yaitu Konvensi Hak Anak (KHA) 1989, Riyadh Guidelines 1990 tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak, Beijing Rules 1985 tentang Aturan  Minimun Administrasi Peradilan Anak, dan Komentar Umum Komite Hak Anak No.10/2007 tentang Hak Anak dalam Peradilan Anak.

 

Peran Pembimbing Kemasyarakatan

Masyarakat selama ini hanya mengenal polisi, jaksa, dan hakim pada proses peradilan pidana anak. Dengan berlakunya UU SPPA, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga turut berperan dalam proses penegakan hukum melalui Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan (PK Bapas). PK Bapas adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan (litmas), pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak, baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana.

Saat Anak diproses di kepolisian atau tahap pra-adjudikasi, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan (Pasal 27 ayat 1 UU SPPA). PK Bapas yang bertugas mendampingi ABH berkoordinasi dengan pihak kepolisian agar hak Anak saat proses hukum dapat terjaga, yaitu memperoleh bantuan hukum, apabila anak ditahan dipisahkan dari tahanan dewasa, mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan memperhatikan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya, pemberian pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh Anak dalam setiap tingkatan pemeriksaan, dan mengupayakan diversi sesuai dengan perundang-undangan. Hal tersebut merupakan upaya PK Bapas untuk memenuhi empat prinsip KHA, yaitu kepentingan terbaik bagi anak, non diskriminasi, hak atas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan hak anak atas partisipasi.

Anak yang berhadapan dengan hukum dapat ditahan dengan syarat telah berumur 14 tahun dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 tahun atau lebih berdasarkan Pasal 32 ayat (2) UU SPPA. Penahanan tidak dapat dilakukan apabila anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga, bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Berdasarkan UU SPPA tersebut, penahanan yang dilakukan pada ABH harus dilakukan dengan hati-hati dan memenuhi syarat-syarat objektif dan subjektif yang bersifat limitatif.

Dalam menjalankan tugas pendampingan terhadap ABH, PK Bapas membuat litmas sebagai dasar perlakuan bagi mereka dalam menjalankan proses hukum. Litmas dianggap sebagai unsur terpenting dalam menjaga kepentingan anak karena berisi informasi tentang latar belakang anak, keluarga, pendidikan, kehidupan sosial, latar belakang dilakukannya tindak pidana dan keadaan korban (Pasal 57 ayat (2) UU SPPA). Kehidupan yang dialami anak akan mempengaruhi pembentukan karakter dan perilaku mereka di masyarakat. Litmas yang dibuat bersifat netral atau tanpa intervensi dari pihak manapun dengan menjunjung tinggi asas kepentingan terbaik bagi anak. Dalam penyusunannya, terdapat tiga jenis litmas ABH, yaitu litmas anak usia di bawah 12 tahun, litmas diversi, dan litmas peradilan.

ABH adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, yang diduga melakukan tindak pidana. Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia[2]. Negara memberikan batasan usia pada ABH demi menjaga hak konstitusional anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan. Apabila anak berada di bawah usia 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik, PK, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk menyerahkan anak kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan pada instansi pemerintah, atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menangani bidang kesejahteraan sosial (Pasal 21 UU SPPA).

 

Diversi

Sejak berlakunya UU SPPA, penyelesaian perkara anak tidak hanya dapat diselesaikan melalui proses peradilan akan tetapi juga dapat diselesaikan di luar proses peradilan melalui diversi dengan pendekatan keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ). PK Bapas merupakan ujung tombak dalam terwujudnya proses mediasi sebagai implementasi asas keadilan restoratif. RJ sendiri merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, hal ini tertuang dalam pasal 1 ayat (6) UU SPPA. Tujuan dari diversi adalah mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Namun, diversi tidak dapat dilakukan apabila ancaman pidana di atas 7 tahun dan tindak pidana merupakan pengulangan. Diversi dilakukan pada setiap tingkatan pemeriksaan, yaitu penyidikan, penuntutan, dan persidangan anak.

Dalam proses diversi, PK Bapas tidak hanya bertugas mendampingi anak di setiap tingkatan pemeriksaan dan membuat litmas diversi, melainkan juga sebagai mediator dengan membuka ruang diskusi antara pihak pelaku, pihak korban, dan pihak lain yang terlibat. Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk, seperti pengembalian kerugian, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan. Apabila seluruh pihak sudah setuju dengan hasil diversi, PK Bapas akan mengawasi anak pelaku dalam menjalankan kewajibannya dan membimbingnya agar menjadi anak yang baik dan tidak mengulangi tindak pidana.

 

Peradilan Pidana Anak

Apabila kasus anak tidak memenuhi persyaratan diversi, maka PK Bapas membuat litmas peradilan dan mendampingi anak dalam proses persidangan. Anak pelaku berhak memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; dan tidak dipublikasikan identitasnya.

Dalam membuat rekomendasi litmas peradilan, PK Bapas mempertimbangkan usia berdasarkan Pasal 69 ayat (2) UU SPPA, yaitu anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan, meliputi pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, dan perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta dan pencabutan Surat Izin Mengemudi, dan perbaikan akibat tindak pidananya.

Bagi anak yang sudah berusia 14 tahun ke atas dapat dijatuhi pidana dengan macam-macam pidana sebagaimana termaktub dalam Pasal 71 UU SPPA, sebagai berikut:

  1. Pidana pokok yang terdiri dari a) pidana peringatan; b) pidana bersyarat (pembinaan pada lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan); c) pelatihan kerja; dan d) pembinaan dalam lembaga dan penjara;
  2. Pidana tambahan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pemenuhan kewajiban adat.

PK Bapas perlu berhati-hati dalam memberikan rekomendasi karena sanksi yang diberikan akan mempengaruhi fisik dan psikologis anak. Rekomendasi berupa perampasan kemerdekaan dan pemidanaan adalah upaya terakhir atau ultimum remedium demi menjaga masa depan mereka. Rekomendasi yang diberikan bukan bersifat menghukum, melainkan untuk memperbaiki perilaku menyimpang anak.

Dalam mendampingi ABH, PK Bapas berupaya untuk menjaga hak konstitusional anak demi menjaga masa depan bangsa. Oleh karena itu, PK Bapas berupaya untuk terus mengedepankan empat prinsip KHA, yaitu kepentingan terbaik bagi anak, non diskriminasi, hak atas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan hak anak atas partisipasi dalam setiap pendampingan ABH, mulai dari kepolisian hingga pengadilan.

 

Penulis: Tyas Nisa Utami (PK Pertama Bapas Kelas I Tangerang)

 

[1] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/04/12/kasus-kriminalitas-anak-didominasi-kekerasan-fisik

[2] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d669dccee142/batas-usia-anak-dapat-dipidana-naik

What's Your Reaction?

like
0
dislike
2
love
0
funny
0
angry
1
sad
0
wow
0