Peranan PK terhadap Pembinaan Klien Pemasyarakatan yang Memperoleh Bebas Bersyarat
Norma hukum selalu ada dalam masyarakat yang berguna untuk mengatur masyarakat itu sendiri. Apabila mereka melanggar kaidah-kaidah hukum itu atau melakukan tindak pidanan, maka akan dikenakan sanksi. Seorang pelaku tindak pidana dikenakan hukuman berupa sanksi pidana.
Pada saat ini, banyak orang yang belum mengetahui arti yang sebenarnya tentang Pembebasan Bersyarat (PB). Masyarakat awam hanya tahu bahwa PB merupakan upaya pemerintah untuk membebaskan narapidana atau pelaku kejahatan. Maka dari itu, pandangan masyarakat seperti ini harus segera diluruskan karena dapat menimbulkan pandangan negatif.
Masyarakat Indonesia menganut filsafat pembinaan narapidana yang disebut “Pemasyarakatan”, sedangkan istilah penjara diubah namanya menjadi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang digunakan sebagai tempat untuk mendidik narapidana. Pemasyarakatan harus memasyarakatkan kembali terpidana sehingga menjadi warga yang baik dan berguna. Istilah Pemasyarakatan pertama kali dikemukakan oleh Saharjo yang memberikan rumusan bahwa selain menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, Pemasyaraktan juga membimbing terpidana agar bertobat dan kembali kepada jalan yang benar.
PB adalah peroses pembinaan narapidana dan anak pidana di luar Lapas setelah menjalani 2/3 dari masa pidana minimal sembilan bulan. PB bisa diberikan setiap saat bagi yang sudah memenuhi persyaratan, baik substantif maupun administratif. Dalam pasal 15 ayat (1) KUHP mengatakan bahwa “jika terpidana telah menjalani 2/3 dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka kepadanya dapat diberikan PB. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana”.
Pembinaan terhadap Klien, yaitu memperlakukan sesorang yang semula berstatus narapidana untuk dibangun jiwa dan rohaninya agar bangkit menjadi orang yang baik. Klien diupayakan dapat berintegrasi serta dapat diterima seutuhnya sebagai masyarakat yang berperan aktif dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan sebagaimana masyarakat pada umumnya. Peran Pembimbing Kemasyarakatan (PK) sesudah PB, yaitu penanganan Klien yang berada di luar Lapas. PK berperan sebagai pengubah tingkah laku, sebagai konselor, advokat, broker, fasilitator, edukator, protektor. Parameter keberhasilan PK dinilai berhasil apabila Klien tidak melakukan pelanggaran hukum lagi dan mampu bersosialisasi dengan baik di dalam masyarakat.
Peran PK belum maksimal dalam mengikuti aturan, salah satunya adalah pelaksanaan Tim Pengamat Pemasyarakatan. Teknik bimbingan yang dilakukan oleh PK, yaitu teknik memanggil Klien untuk datang ke Balai Pemasyarakatan (Bapas), dipanggil juga orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan pembinaan Klien tersebut, lingkungan, dan kehidupan Klien tersebut, serta mengadakan komunikasi dengan Klien. Berbagai teknik bimbingan dilakukan PK, yaitu mengunjungi Klien di tempat tinggalnya, sedangkan teknik bimbingan pemanggilan Klien dan teknik komunikasi, yaitu melalui surat, telepon, dan menulis surat.
Namun, Klien yang dibantu kemungkinan tidak mempunyai motivasi dalam menerima bantuan dari PK, bahkan adanya suatu pemberontakan dari dalam diri klien. Selain itu, Klien memiliki keharusan menjalani pembinaan berdasarkan ketetapan yang harus dilaksanakan sehingga Klien akan mudah memanipulasi keadaannya jika bimbingan dilakukan dengan telepon dan menulis surat sehingga tidak menutup kemungkinan Klien melakukan pelanggaran hukum lagi.
Dalam rangka mewujudkan sistem pembinaan Pemasyarakatan, upaya yang ditempuh adalah pelaksanaan PB, Cuti Menjelang Bebas (CMB), dan Cuti Bersyarat (CB) yang merupakan bagian dari hak- hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Pelaksanaan hak-hak WBP diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 tahun 2022 perubahan dari Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, PB, CMB, dan CB.
Ada unsur-unsur pokok dalam menunjang tujuan pembinaan dalam Sistem Pemasyarakatan, antara lain narapidana itu sendiri, para petugas Lapas, dan masyarakat, dalam hal ini meliputi instansi-instansi pemerintah dan swasta, organisasi sosial kemasyarakatan, dan keluarga dari narapidana itu sendiri. Mengenai hak dan kewajiban dari para narapidana dimulai sejak narapidana tersebut masuk atau diterima di Lapas,
Pertama sekali narapidana yang masuk atau diterima di Lapas terlebih dahulu dilakukan pengecekan terhadap vonis hakim. Hal tersebut bertujuan mengetahui berapa lama narapidana tersebut akan menjalani hukuman di Lapas serta menentukan hak-hak narapidana untuk mendapat Asimilasi, PB, CMB, dan CB.
Dalam Pasal 48 Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak WBP menyebutkan bahwa pelaksanaan pembimbingan terhadap narapidana yang telah memperoleh PB dilakukan oleh Bapas berkoordinasi bersama instansi kejaksaan, pengadilan negeri, kepolisian, pemerintah daerah, dan pemuka daerah setempat. Terkait dengan pembinaan narapidana sebagai sebuah proses, harus dipahami bahwa reintegrasi dengan masyarakat ataupun program lanjutan setelah bebas ke masyarakat harus melalui sebuah perencanaan sejak seseorang dijatuhi (vonis) hukuman.
Di sinilah seharusnya Bapas sudah berperan untuk membuat rencana berkelanjutan dengan bekerja sama dengan Lapas sehingga Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan sejak masa hukuman dijalankan sudah dapat digunakan untuk menentukan program pembinaan yang tepat. PK dapat berperan menjelaskan tahap demi tahap yang akan dilalui saat menjalani hukuman di Lapas dan hak-hak yang dimiliki dalam pembinaan, seperti PB, CMB, dan Asimilasi hingga pada tahap akhir pada pembimbingan dan program perlakuan berkelanjutan setelah bebas.
Penulis: Khaerudin (PK Pertama Bapas Kelas I Tangerang)