Renjana di Penjara

 Renjana di Penjara

“Mereka Bukanlah Penjahat, Namun Hanya Orang Tersesat Yang Belum Terlambat Untuk Bertaubat”

Mataku secara tidak sengaja menangkap suatu pesan yang terpatri pada sudut dinding, membuat pikiranku melayang pada apa yang dulu pernah diceritakan nenek tentang sebuah kisah pada epic Ramayana dimana ternyata yang hitam tak sepenuhnya pekat dan sesuatu yang putih tak sebegitu murninya kesucian. Di dalam suatu kebaikan terdapat suatu yang ternyata buruk dan dibalik suatu keburukan tersimpan kebaikan. Tokoh besar dan ternama seperti Wibisana merupakan tokoh yang digambarkan baik dengan prinsipnya yang membela kebenaran dan memihak Sang Rama akan tetapi dari sudut lain ia justru dianggap sebagai pengecut dan pengkhianat yang bersembunyi di kubu lawan yang berperang dengan kaum dan tanah kelahirannya sendiri. Sebaliknya Kumbhakarna yang membela tanah air dan negaranya untuk berperang dianggap hal yang buruk, sejatinya beliau juga tahu ada dipihak yang salah akan tetapi bukankah prinsip dan ego harus dikesampingkan sejenak dalam situasi seperti itu demi rasa cinta pada tanah air dan bela negara. Lantas siapa yang benar dan mana yang salah?! Bukankah tidak seorang manusiapun yang dapat dan berhak menghakimi makhluk lainnya, karena sesungguhnya kita semua sedang menjalani takdir dan karma yang ditentukan oleh-Nya di kehidupan ini.

“Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku...” lamunanku samar sejenak mendengar raungan bunyi sirene dan suara aubade yang sedang berkumandang di lapangan upacara, membuatku teringat untuk berdiri dan mematung sejenak mengenang jasa pahlawan yang telah memerdekakan bangsa ini. Bukannya rasa nasionalismeku pudar akan tetapi aku tetap harus menjaga dan menggendong anakku sambil mengintip dan menguping dari sela-sela jeruji besi.

Jeruji besi?? Ornamen yang tak lazim memang, karena aku tidak sedang mengikuti Upacara secara online di rumah karena pandemi ataupun di sekitar alun-alun kota. Keadaannya aku dan anakku kini sedang menikmati Upacara Kemerdekaan Negeri ini di balik jeruji besi. Saat sorak sorai 17 Agustus banyak orang yang memekik “MERDEKA!!” terdengar dimana-mana aku telah merenggut kemerdekaanku sendiri dan anak ini karena kebodohan dan kecerobohanku.

Namaku Suci, mungkin akan membuat senyum orang yang mendengarnya tersungging sinis di bibir mereka. Untunglah, karena beberapa dari mereka mungkin akan menghujat dan melemparkan beberapa sumpah serapahnya pada diriku. Namaku tak seindah perbuatanku, memang aku sadar, bukan ingin mencari pembenaran akan tetapi percayalah sedikitpun tak ada niatanku untuk menghancurkan hati banyak wanita dan seorang ibu seperti itu. Aku pun kini seorang ibu dan begitupula saat itu. Aku hanyalah orang kecil, gadis bodoh berusia 19 tahun yang menganggap dunia ini hitam dan putih, melihat segalanya dengan cinta, kiranya jauh dari narasi orang-orang besar yang mungkin dapat menarik perhatian kalian, tapi mungkin ada beberapa orang mengalami hal yang sama dan semoga tidak ada yang mengalaminya lagi setelah ini karena lagi-lagi wanita yang akan dihujat dan diuji.

“Suci Ramayani”

Ku dekatkan telinga lebih ke arah terdekat pada sumber suara yang bergema di lapangan upacara...

“Besarnya remisi... 1 Bulan” terdengar kembali dari pengeras suara tersebut.

Air mataku menetes, 1 bulan dari 7 tahun bukanlah hal yang besar namun bersama bayiku di dalam sini itu menjadi sangat berarti. Kembali ku teringat pada ketuk palu hakim di persidangan yang terdengar seakan bagai gemuruh langit yang runtuh, sejenak pandanganku kosong, kakiku lemas tak menapak tanah. Suara-suara memekik dan memaki penuh hujat dilontarkan di belakangku. Aku dijerat pasal 82 UURI no 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.

Ini berawal dari aku yang usai lulus SMA tak melanjutkan pendidikan akan tetapi memilih untuk menjadi penjaga toko di kota, disana aku bertemu Dimas pegawai toko bangunan sebelah hingga kami pun menjalin cinta. 6 bulan berpacaran kami telah sebagai layaknya suami istri yang tinggal bersama tentunya ini tanpa sepengetahuan orang tuaku. Aku hamil, hal itu baru kami sadari di bulan ketiga berbagai upaya kami lakukan setelahnya, tapi rasa takut dan malu membuat kami menyembunyikannya dan berusaha menyelesaikannya sendiri, bimbang dan ragu setiap kali hingga tak terasa janin ini semakin tumbuh dan berkembang di rahimku, layaknya seperti sedang menggenggam kupu-kupu aku terkadang merasakan kepakan sayap kecilnya yang kerap aku abaikan karena rasa takut mulai menyeruap.

Setelah 9 bulan berlalu aku melahirkan anak itu dibantu dengan Dimas di Kos. Bingung resah bercampur rasa takut dan entah terilhami dari sinetron mana. Kami kemudian berpikir untuk membuang anak itu di dekat rumah orang kaya agar ia bisa hidup layak dan bahagia. Namun kenyataan tak seindah harapan kami, setelah kami letakan di rumah mewah yang kami kira rumah orang kaya ternyata merupakan gudang kosong yang tak ditempati. Hingga anak itu ditemukan warga telah tak bernyawa. Hatiku hancur membaca berita tersebut di media sosial, sedikitpun tak ada maksud dan terbesit dipikiran ibu untuk memperlakukanmu seperti itu. Akhirnya Aku dan Dimas dijemput polisi setelah mereka mengecek data Rumah Sakit karena beberapa harinya aku mengalami pendarahan.

Hancur hati ini setelah apa yang terjadi pada anak itu aku memikirkannya berulang-ulang kali, dan saat menjalani persidangan hingga harus dibawa ke Rutan aku melihat tangis pilu, sedih, dan tak berdaya dari orang tuaku, itulah yang ku takutkan tapi justru kini keadaan semakin buruk. Seandainya saja.... ah, sudahlah nasi telah menjadi bubur. Saat akan masuk ke Rutan aku kembali membuat kejutan yang sedikitpun tak menyenangkan, saat pemeriksaan kesehatan ternyata aku hamil lagi. Saat akan masuk kami sempat bertemu dan melakukannya lagi tapi setelah apa yang terjadi dengan kondisiku ku pikir tak akan hamil lagi. Jalannya takdir sungguh tak terduga seluruh fase penting dalam kehidupanku sebagai wanita ku lalui dari balik jeruji besi mulai dari menikah, mengandung, melahirkan hingga merawat dan membesarkan anakku. Sebuah kodrat yang berat terlebih harus dijalani ditempat yang menurut sebagian orang justru tak akan mungkin pernah di jamah.

Seorang petugas wanita pernah berkata padaku “Penjara itu mbak bagaikan semak belukar, tak akan ada yang melihatnya kecuali tersandung atau tertusuk durinya”. Tak akan ada orang yang melihat tempat ini dan kami para napi jika tak pernah merasakan pahitnya berurusan atau mendekam dibalik jeruji besi. Anakku lahir disini dalam suasana pandemi, tak ditemani suami saat sedang menahan sakit dan rintih tapi ada puluhan napi wanita yang ikut kebingungan membantuku. Orang yang menurut orang-orang diluar sana penjahat namun masih memiliki sisi hati malaikat untuk membantu seorang bayi melihat cahaya negeri ini. Satu diantaranya memencet bel memanggil petugas jaga, yang lain berteriak meminta pertolongan, beberapa memegangiku membaca doa dan menyiapkan barang-barang kami.

Anakku lahir di dalam penjara, dibantu oleh perawat dan dokter pada sebuah ruangan yang disebut poliklinik di dalam Rutan. Malaikat cantik nan munggil tersebut kami beri nama Renjana, karena meski di dalam penjara namun asa itu tetap ada, ia menjaring banyak makna, ialah kumpulan beribu asa dan hasrat kemerdekaan yang terbelenggu. Disini ia banyak memiliki ibu, rasa rindu mereka untuk memangku dan berlagu pada putra putrinya di rumah yang terhalang kokoh dan dinginnya penjara ini ditampung dengan baik oleh Renjana. Tapi tetap saja, ini penjara suatu dilema untuk membiarkan ia tumbuh disini di tempat kami menebus dosa dan merenungi karma, beberapa bulan atau tahun lagi mungkin kami tak akan bisa bersama. Saat itu ku titip asa padanya, bahwa kita akan segera berkumpul dan menatap langit yang sama!

“Meski engkau lahir di masa pandemi di dalam bui saat kami merayakan hari kemerdekaan bangsa ini semoga merupakan arti bahwa nanti kamu memiliki arti untuk negeri ini”

Pesan kami untuk renjana-renjana lain yang mungkin nanti memahami cerita ini.

 

 

Penulis: Luh Putu Pertamawati Armony

Juara III Lomba Cerpen Piala Menteri Hukum dan HAM RI dalam rangka HUT Ke-75 RI (Kategori Masyarakat)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0