Upaya Diversi Kasus Anak dari Kacamata Hukum Indonesia-Belanda
Anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak memerlukan perlindungan dari banyak faktor yang membahayakan masa depannya, salah satunya saat anak menghadapi permasalahan hukum. Pendampingan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) tidak bisa dilakukan dengan cara yang serampangan, perlu memperhatikan kondisi anak yang jauh berbeda dari kondisi psikologis manusia dewasa. Pada dasarnya, anak masih memerlukan peran lingkungan sekitarnya, terlebih ketika ia menginjak usia remaja.
Bayangkan saja apabila ada seorang anak yang sedang bermain dengan teman-temannya, lantaran dirinya pernah terjerumus permasalahan hukum, ia mendapatkan label sosial yang tidak mengenakan berupa penghindaran atau verbal bullying sehingga kemungkinan untuk melakukan pengulangan tindak pidana akan semakin tinggi. Maka, perlu adanya perlindungan terhadap ABH.
Hal ini juga didukung dengan buku yang ditulis DS. Dewi berjudul ‘Media Penal Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia’ (2011:60) bahwa terdapat beberapa dampak negatif kepada anak yang sedang menjalani proses peradilan pidana, yakni trauma terhadap perlakuan aparat hukum, stigma yang dikhawatirkan bahwa anak tersebut akan selalu berbuat jahat, dan dikeluarkan dari sekolah.
Perlindungan terhadap ABH layak mendapat tempat khusus di mata hukum. Menurut Arif Gosita dalam jurnal yang ditulis oleh Nevey Varida pada tahun 2014 dengan judul ‘Implementasi Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dalam Upaya Melindungi Kepentingan Anak, perlindungan anak merupakan upaya-upaya yang mendukung terlaksananya hak-hak dan kewajiban anak itu sendiri. Oleh karena itu, seorang anak berhak memperoleh dan mempertahankan hak untuk tumbuh dan berkembang dalam hidup secara berimbang.
Mengingat anak adalah generasi penerus bangsa dan rentan mendapatkan perilaku negatif dari lingkungannya, maka perlakuan secara adil dalam penegakan hukum harus diutamakan sehingga anak terhindar dari ancaman yang dapat merugikan. Usaha-usaha perlindungan anak dapat merupakan bagian dari tindakan hukum yang mempunyai akibat hukum.
Kondisi psikologis anak yang berbeda dari manusia dewasa memunculkan satu solusi hukum, yaitu dengan cara mengalihkan perkara anak sebagai pelaku tindak pidana keluar dari sistem peradilan. Artinya, tidak semua perkara anak harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, melainkan ada alternatif pilihan yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang dihadapi anak demi kepentingan terbaik anak.
Pemahaman terkait alternatif penyelesaian demi kepentingan terbaik bagi anak dijelaskan oleh Randy Pradityo (2016) dalam jurnal Restorative Justice dalam SPPA bahwa tercantum dalam konvensi hak anak yang memberikan peluang untuk dilakukannya pengalihan proses perkara yang dilakukan oleh polisi, penuntut umum, dan pejabat lain yang berwenang menjauhkan anak dari proses peradilan.
Setya Wahyudi dalam bukunya yang berujudul ‘Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan SPPA di Indonesia’ menjelaskan Diversi merupakan bentuk pengalihan atau penyampingan penanganan perkara kenakalan anak dari proses peradilan anak konvensional ke arah penanganan anak yang bersifat pelayanan kemasyarakatan serta dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari dampak negatif penyelenggaraan peradilan anak.
Upaya Diversi di Indonesia
Peraturan yang berlaku di Indoesia dalam menyelesaikan kasus anak menggunakan Diversi telah termaktub pada Undang-Undang RI No 11 Tahun 2012 tentang SPPA. Pada peraturan tersebut diatur khusus terkait Diversi dalam penyelesaian perkara anak agar hak-hak anak dalam hal ini terlindungi dan terjamin di mana pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan Diversi.
Namun, terdapat batasan terkait saat pelaksanaan Diversi, yakni terkait ancaman hukuman pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Selain itu, penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, usia anak, hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas), sertadukungan lingkungan, keluarga, dan masyarakat. Ketentuan ini merupakan indikator makin rendahnya ancaman pidana, maka makin tinggi prioritas anak untuk dilakukan Diversi.
Diversi dapat dilakukan sejak awal perkara anak pada tahap penyidikan oleh Kepolisian bersama-sama dengan Bapas, pihak korban, orangtua pelaku, dan Lembaga Swadaya Masyarakat duduk bersama melakukan musyawarah untuk menentukan apakah dilakukan Diversi atau tidak. Hasil kesepakatan Diversi dalam SPPA di Indonesia terbentuk, antara lain perdamaian dengan/atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orangtua atau wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan paling lama tiga bulan, dan pelayanan masyarakat. Beberapa tawaran dari peraturan tersebut merupakan bagian dari upaya penyelesaian perakara anak.
Penyelesaian perkara melalui Diversi ini bertujuan menyadarkan pelaku anak bahwa tindak pidana yang dilakukan tidak dapat dibenarkan sebab salah satu syarat penting dalam pelaksanaan Diversi adalah adanya pengakuan bersalah dari pelaku anak. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang SPPA bahwa tujuan Diversi adalah menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Apabila tidak ada pernyataan bersalah dari anak pelaku tindak pidana, maka akan mendorong dilakukannya proses hukum peradilan pidana secara formal.
Upaya Diversi di Belanda
Dalam SPPA di Belanda, terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan Diversi, yakni pada pasal 74c ayat (1) (2) dan (3) WvS (Wetbok van Strafrecht), yaitu tindak pidana dalam hal tertentu dapat diselesaikan dengan bijaksana oleh penyidik. Kewenangan itu diperuntukkan bagi pelaku tindak pidana yang berumur 12 tahun dan di bawah 18 tahun.
Pada pasal 77e ayat (1) dan (2) WvS (Wetbok van Strafrecht) melihat pelaku anak merupakan residivis atau bukan, sedangkan pada pasal 77b penuntut umum memiliki kewenangan untuk menyelesaikan dengan kebijakan sendiri terkait tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana penjara enam tahun dan kasus kasus pelanggaran.
Penuntut umum lebih mengarahkan kepentingan terdakwa anak daripada kepentingan penyelenggara persidangan anak dengan cara merumuskan satu atau lebih persyaratan guna mencegah terjadinya penuntutan pidana (Setya Wahyudi, 2011). Terdapat tiga jenis sanksi alternatif dalam SPPA di Belanda, yakni pelayanan masyarakat, pemulihan kerugian, dan ikut serta dalam pelatihan (Setya Wahyudi, 2011).
Dalam mewujudkan suatu SPPA yang ideal dibutuhkan perubahan pandangan bahwa anak yang bermasalah dengan hukum itu harus dipenjara. Pertimbangan dalam penjatuhan hukuman pada anak juga harus berorientasi pada aspek sosial, budaya dan moral, serta tidak ada pembenaran penjatuhan hukuman, melainkan mencari alternatif penyelesaian perkara lain dan menempatkan pemidanaan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium) terhadap anak selama ada cara lain yang dapat dipergunakan.
Jejak sejarah mencatat peraturan yang berlaku di Indonesia merupakan salah satu dari produk Belanda dan bisa dilihat upaya melakukan Diversi antara Indonesia dengan Belanda mempunyai kesamaan. Namun, dalam penerapannya upaya Diversi di Indonesia memerlukan kerja keras dari semua pihak berwenang mulai dari hulu hingga hilir.
Penulis: Chaerul Amri (PK Bapas Kelas II Baubau)