Ahli Nilai Larangan Mantan Terpidana Nyalon Pilkada Bertentangan dengan Tujuan Pemasyarakatan
JAKARTAÂ - Pakar hukum berpandangan pelarangan mantan terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah dianggap sama dengan menghukum orang dua kali atas kesalahan yang sama. Sebab setelah dihukum melalui pidana penjara, yang bersangkutan harus mendapatkan pencabutan atas haknya dengan tidak boleh ikut serta dalam pilkada dan mendapatkan labeling buruk sebagai orang yang pernah mendapatkan hukuman pidana.
Hal ini dinilai bertentangan dengan tujuan pemasyarakatan yang ingin merehabilitasi tiap terpidana untuk kembali ke masyarakat. Pandangan ini disampaikan sejumlah ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Uji materi ini diajukan Pemohon perorangan Jumato dan Fathor Rasyid, yang pernah dijatuhi pidana. Mereka menggugat Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada.
Pasal tersebut berisi ketentuan calon kepala daerah yang ikut dalam pilkada wajib memenuhi syarat tidak per
JAKARTAÂ - Pakar hukum berpandangan pelarangan mantan terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah dianggap sama dengan menghukum orang dua kali atas kesalahan yang sama. Sebab setelah dihukum melalui pidana penjara, yang bersangkutan harus mendapatkan pencabutan atas haknya dengan tidak boleh ikut serta dalam pilkada dan mendapatkan labeling buruk sebagai orang yang pernah mendapatkan hukuman pidana.
Hal ini dinilai bertentangan dengan tujuan pemasyarakatan yang ingin merehabilitasi tiap terpidana untuk kembali ke masyarakat. Pandangan ini disampaikan sejumlah ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Uji materi ini diajukan Pemohon perorangan Jumato dan Fathor Rasyid, yang pernah dijatuhi pidana. Mereka menggugat Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada.
Pasal tersebut berisi ketentuan calon kepala daerah yang ikut dalam pilkada wajib memenuhi syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Dalam agenda keterangan ahli pemohon, Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda berpendapat pasal yang digugat merupakan pembatasan kebebasan individu yang dilakukan pembentuk undang-undang (UU). Padahal pembentuk UU hanya boleh membatasi hak seseorang untuk menjamin hak atas kebebasan orang lainnya.
"Tidak ada seorang pun yang haknya terhalangi karena ada narapidana yang menjadi calon kepala daerah. Sehingga pembatasan tersebut merupakan ketentuan yang berlebihan dan tidak perlu," ujar Chairul dalam sidang uji materi UU Pilkada di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (4/6).
Ia melanjutkan sikap pembentuk UU dalam UU Pilkada juga bisa dikatakan sebagai bentuk labeling terhadap seseorang dari waktu ke waktu yang sebenarnya ingin dihilangkan. Sebab tujuan pemasyarakatan dan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan. Tapi digunakan untuk merehabilitasi terpidana agar bisa kembali ke masyarakat. Sehingga pasal yang digugat justru telah mengamputasi tujuan dari pemasyarakatan dan pemidanaan yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurutnya, pasal yang digugat telah memperlakukan orang tidak manusiawi dan memandang rendah orang yang pernah menjadi terpidana. Padahal seseorang yang melakukan kesalahan pasti bisa berubah. Apalagi terpidana yang berkelakuan baik juga akan mendapatkan hukuman yang lebih ringan dari vonis pidananya misalnya melalui remisi.
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis juga sependapat pembentuk UU dalam membuat UU Pilkada tidak mengacu pada putusan MK Nomor 011-017/PUU-I/2003 dan nomor 4/PUU-VII/2009. Dua putusan MK tersebut telah mengatur bahwa pembatasan hak pilih seseorang diperbolehkan ketika telah dicabut oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan bersifat individual. Tidak disamaratakan, setiap mantan terpidana yang telah dihukum lima tahun atau lebih secara otomatis tidak berhak mencalonkan diri, seperti ketentuan Pasal 17 Huruf g UU Pilkada.
"Bukankah putusan MK ini memiliki sifat norma konstitusi? Apalagi tidak ada keadaan yang secara logis sebagai keadaan hukum baru menjadi dasar untuk menghidupkan kembali norma yang diujikan. Menghidupkan norma yang inkonstitusional akan menimbulkan masalah," ujar Margarito pada kesempatan yang sama.
Menurutnya, menghukum terpidana ditujukan bukan untuk merendahkan orang yang melanggar hukum. Tapi justru hukuman dipilih masyarakat beradab untuk mengajak terpidana kembali ke kehidupan yang dimuliakan. Sehingga pasal ini menurutnya sama dengan menghukum orang dua kali dalam kesalahan yang sama. Hal ini jelas merupakan hal yang inkonstitusional.
Reporter : Lilis Khalisotussurur
Redaktur : Ramidi
sumber:Â http://www.gresnews.com/