Asimilasi di Era Pandemi

Asimilasi di Era Pandemi

Coronavirus disesase (COVID-19) telah ditetapkan sebagai bencana nasional oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden RI Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran COVID-19. Semua instrumen negara mulai dari kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah diminta bekerja maksimal, mengerahkan segala upaya dan sumber daya yang dimiliki untuk menyelamatkan rakyat dari penyebaran COVID-19.

Sudah hampir empat bulan, Aparatur Sipil Negara (PNS), pengusaha, karyawan, pelajar/mahasiswa, dan seluruh masyarakat tanpa terkecuali melakukan isolasi mandiri dan melakukan segala aktivitasnya di rumah (Work From Home) sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Di saat perkembangan atau penyebaran COVID-19 sedang mengalami kenaikan dan masyarakat masih gagap terhadap pandemi, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM RI melakukan kebijakan untuk mengeluarkan narapidana dan Anak menjalani asimilasi di rumah agar mereka tidak tertular virus COVID-19 saat berada di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) / rumah tahanan negara / Lembaga Pembinana Khusus Anak. Kebijakan itu dianggap sebagian kalangan bisa menimbulkan persoalan baru, yakni meningkatnya angka kriminalitas. Narapidana dan Anak yang mendadak (bebas) itu tak ada jaminan bahwa mereka tak mengulangi tindak kejahatan lagi.

Hal inilah kemudian yang menjadi poin kekhawatiran masyarakat pasca narapidana dan Anak itu bebas. Tapi tahukah kita bahwa kebijakan asimilasi di tengah pandemi COVID-19 ini diambil bukan tanpa pertimbangan yang matang karena sebelumnya banyak diberitakan di media sosial terkait kondisi sel tahanan yang penuh sesak, sempit, dan sangat tidak layak. Dalam satu sel diisi puluhan orang dan posisinya berimpitan satu dengan yang lainnya. Pada saat mewabahnya pandemi COVID-19, hal ini menjadi momok menakutkan bagi para narapidana karena peluang menular menjadi sangat mudah dan luas.

Jika sebelumnya kondisi para tahanan tidak terlalu begitu dilirik dan penjara dianggap sebagai tempat yang cukup pantas bagi mereka yang bersalah agar mendapatkan efek jera, namun sekarang hal tersebut menjadi persoalan karena kondisi yang berdesakan tersebut tentu saja akan sangat memudahkan bagi narapidana menjadi sasaran virus mematikan. Apalagi banyak di antara mereka yang sudah berusia di atas 60 tahun dan sudah menjalani masa hukuman ½ masa pidana.

Pada dasarnya asimilasi berasal dari bahasa latin, yakni asimilare yang memiliki arti “menjadi sama.” Penjelasan asimilasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penyesuaian “peleburan” sifat asli yang dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar. Biasanya ditandai dengan upaya-upaya guna mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam hal ini narapidana. Antara individu maupun kelompok melebur satu sama lain dalam proses “peleburan” ini terjadi pertukaran unsur budaya.

Secara normatif asimilasi dalam pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang Permasyarakatan ialah proses pembinaan narapidana dan Anak yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan Anak dalam kehidupan masyarakat. Asimilasi diberikan untuk narapidana yang melakukan tindak pidana selain tindak pidana terorisme, narkotika psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia, serta kejahatan transnasional terorganisasi, warga negara asing.

Ketentuan mengenai asimilasi dan syaratnya tertuang dalam pasal dua Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. 10 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran di Tengah Wabah COVID-19: (1) Asimilasi narapidana dilaksanakan di rumah dengan pembimbingan dan pengawasan balai pemasyarakatan, (2) narapidana yang dapat diberikan asimilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

  1. Berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir;
  2. Aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan
  3. Telah menjalani ½ (satu per dua) masa pidana.

Narapidana yang mendapatkan asimilasi ini seharusnya disosialisasikan kepada masyarakat supaya masyarakat juga mengerti tentang asimilasi tersebut bahwa setelah mereka dibina di lapas mereka akan reintegrasi dengan masyarakat tempat mereka hidup dan bekerja. Pada umumnya, masyarakat tidak mau menerima kehadiran mantan narapidana kembali ke lingkungannya penyebabnya adalah:

  1. Kurangnya kesiapan dan kesadaran masyarakat
  2. Masih hidupnya pandangan yang berbeda di beberapa daerah terhadap latar belakang yang pernah dibuat oleh narapidana
  3. Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap proses pembinaan narapidana dalam Lapas. Hal ini sangat terkait dengan mutu narapidana setelah menjalani pembinaan di lapas.
  4. Masyarakat masih diliputi rasa curiga bahwa narapidana akan mengulangi perbuatannya
  5. Masyarakat menginginkan rasa aman dan tidak ada jaminan bahwa mantan narapidana tersebut akan berlakuan baik secara terus menerus.

Tujuan dari pemidanaan pada hakikatnya untuk membangun dan memperkuat nilai moral masyarakat Pancasila. Mengacu pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana tujuan negara, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan pancasila.

Mengacu pada kedua kata kunci di atas identik dengan istilah yang dikenal dalam dunia keilmuan dengan sebutan “social defence” dan “social welfare” yang memperlihatkan keseimbangan pembangunan nasional untuk membangun sikap yang patut terhadap aturan hidup bermasyarakat “to develop an appropriate attitude towards rules of social cohabitation” (untuk mengembangkan sikap yang tepat terhadap aturan hidup bersama masyarakat) atau poin pentingnya mengembalikan narapidana ke kehidupan bermasyarakat yang patuh.

 

 

Penulis: Milza Titaley (PK Pertama Bapas Ambon)

 

 

 

 

What's Your Reaction?

like
8
dislike
0
love
3
funny
0
angry
1
sad
1
wow
1