Diskursus Pemasyarakatan, Redesain Pemasyarakatan Kontemporer
Pemasyarakatan secara filosofis bertujuan pulihnya hidup, kehidupan, dan penghidupannya bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Hal ini dipertegas pada pasal 1 angka 2 bahwa Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan WBP berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas WBP agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Hal ini adalah nilai-nilai dasar (basic values) Pemasyarakatan, namun nilai-nilai ini publik wajib mengujinya untuk mengukur seberapa efektif, penting, atau masih relevankah basic values ini untuk diterapkan dalam kondisi kontemporer hari ini? Nilai tersebut diuji agar tahan uji (testable) atau diharapkan ada penemuan nilai baru yang lebih baik seiring tuntutan publik di era disruption kepada institusi Pemasyarakatan untuk berinovasi, melakukan perubahan yang lebih baik secara cepat dan radikal.
Gagasan-gagasan terhadap nilai dasar ini sebenarnya harus selalu diurai dengan cara banyaknya sivitas Pemasyarakatan yang berliterasi tentang nilai-nilai Pemasyarakatan. Mengapa? Agar makna nilai-nilai yang dimaksud tidak hanya berada pada tataran ide saja, namun lebih dipahami dan dirasakan manfaatnya bagi narapidana dan masyarakat. Dr. Sahardjo, Bahrudin Suryobroto, hingga Dr. Sri Puguh Budi Utami, mereka menantang semua civitas Pemasyarakatan untuk lebih kreatif dan inovatif.
Setidaknya, para leading sektor secara hierarkis, berani gila (penulis menggunkan istilah gila sebagai metafora bahwa wajib menjadi trigger yang out of the box menerjemahkan dan mewujudkan tujuan Pemasyarakatan tidak hanya berpatokan berdasarkan norma hukum yang sangat tekstualis dan restriktuf, kaku, dan sempit, namun secara kontekstual, sistematis, ekstensif, dan mengedepankan prinsip utilitas sehingga mampu menampilkan Pemasyarakatan sebagai instrumen negara yang hendak merekonstruksi moral dan sosial orang atau individu yang dicap telah melawan hukum (wederrechtelijk) sehingga harus mendekam di lembaga pemasyarakatan (lapas).
Akhir-akhir ini atau beberapa tahun terakhir publik sering mendengarkan tentang Lapas Produksi yang diharapkan untuk melaksanakan Sistem Pemasyarakatan yang memiliki output berorientasi keuntungan (profit oriented) ditandai dengan outcome berupa Pendapatan Negara Bukan Pajak. Penulis mengulas kembali bahwa era tahun 90-an, DR. A. Hasanuddin saat menjabat Kepala Lapas Kelas I Makassar telah menyulap lapas menjadi pabrik pengolahan rotan yang sangat produktif. Begitu pula Lapas Sukamiskin yang memproduksi sepatu dan percetakan buku-buku register lapas dan rumah tahanan negara (rutan) yang semuanya masih menggunakan teknologi sederhana.
Pertanyaannya adalah mengapa hal yang dulunya sudah ada, kemudian hilang, lalu muncul lagi? Analisis penulis bahwa terobosan dari leading sector, yakni para Kepala Lapas dan Kepala Rutan sejak dahulu telah ada, namun mungkin tidak didukung secara totalitas, baik secara anggaran dan pemasaran, sehingga inovasi seorang Kalapas atau Karutan terbilang parsial, temporer, bahkan musiman. Publik cuma mendengar lapas menghasilkan sayur mayur, cabai, roti, meubelair, carwash yang terbilang parsial yang menurut penulis itu sangat klise.
Jika dilihat sumber daya manusia secara kuantitas di dalam lapas dan rutan selalu tersedia, baik dari unsur WBP ataupun petugas. Hal ini adalah potensi besar apabila dikelola baik untuk memperoleh pendapatan negara. Namun, publik ter-framing dalam ulasan berita media tentang biaya yang cukup besar memberi makan narapidana yang berakibat menguras banyak kas negara, masalah overcrowded, overstay, dan paling seksi diviralkan oleh media adalah peredaran narkoba yang dikendalikan di dalam lapas/rutan.
Memang butuh kerja keras membangun citra dan prestasi yang bisa diapresiasi oleh publik. Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Dr. Sri Puguh Budi Utami, telah mencanangkan Resolusi Pemasyarakatan Tahun 2020, sebuah peta kerja Pemasyarakatan yang wajib menjadi fokus bagi seluruh sivitas Pemasyarakatan. Resolusi ini sangat jelas, praksis yang outcome-nya adalah produk. Tentu ini adalah wujud nyata eksaminasi terhadap nilai-nilai dasar Pemasyarakatan untuk menampilkan Pemasyarakatan Kontemporer sebagaimana mukadimah tulisan ini agar lebih nyata, implementatif, memiliki utilitas, serta pragmatis (bertujuan yang jelas).
Mengutip salah satu Resolusi Pemasyarakatan, yakni sertifikasi bagi WBP melalui pelatihan keterampilan, diharapkan akan membangun persepsi publik untuk meyakini dan tidak lagi memandang WBP sebagai orang jahat, namun memandang WBP telah kembali kepada fitrahnya sebagai manusia yang utuh, menyadari kesalahan, serta telah siap berkontribusi di masyarakat. Melalui pendidikan dan kursus selama di lapas/rutan membekali WBP untuk memiliki kualifikasi yang kompetitif agar berpenghasilan nantinya. Inilah wujud nyata dari Pemasyarakatan kontemporer yang mengandung nilai utilitas dan diharapkan didukung penuh para stakeholder, utamanya dalam hal penganggaran dari tahun ke tahun mengingat Pemasyarakatan sebagai a tool of social engineering tidak bisa berjalan sendiri. Perlu kolaborasi yang integratif dengan lementerian dan lembaga negara lainnya.
Demikian maksud sebenarnya dari basic values yang diterjemahkan kembali sebagai sebuah pendekatan melalui diskursus Pemasyarakatan agar publik paham dan mengetahui bahwa bisnis Pemasyarakatan (baca: tugas dan fungsi) yang dijalankan oleh seluruh aparat Pemasyarakatan selalu berkembang dan tumbuh lebih baik dari tahun ke tahun. Mengutip nilai kontemporer yang menjadi spirit booster di tahun 2020 “Speed Up Berprestasi, Pemasyarakatan PASTI Bersih Melayani,” semoga kita selalu sehat, tulus melayani, serta bersemangat dalam berkarya karena pekerjaan sebagai petugas Pemasyarakatan sangatlah mulia.
Penulis: Andi Moh Hamka (PK Bapas Makasar)