Ditjenpas Luncurkan 10 Kota Piloting Project Restorative Justice Pelaku Pidana Dewasa

Jakarta, INFO_PAS – Pemerintah Indonesia kian serius menuju penegakan hukum dengan pendekatan restorative justice (keadilan restoratif), yang menekankan pemulihan hubungan antarpihak yang terlibat dalam suatu perkara pidana. Untuk itu di 2022 ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) meluncurkan program piloting penerapan restorative justice bagi pelaku pidana dewasa di 10 kota, yaitu Banda Aceh, Tanjung Pinang, Palembang, Yogyakarta, Tarakan, Kupang, Gorontalo, Palu, Ternate, dan Jayapura.
Hal ini diungkap pada kegiatan Peningkatan Kapasitas Petugas dalam Pelaksanaan Alternatif Pemidanaan Bagi Pelaku Dewasa, di Jakarta, Rabu (16/2). Kegiatan ini dilaksanakan bekerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung RI, dan Mahkamah Agung RI.
Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Liberti Sitinjak mengatakan, pendekatan retributif yang menitikberatkan pada pemenjaraan, dinilai menjadi penyebab utama overcrowded yang terjadi di sebagian besar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) di Indonesia. Saat ini, Lapas dan Rutan yang memiliki kapasitas 132.107 orang diisi oleh 271.512 orang. Artinya, terjadi kelebihan penghuni 105,5% dari kapasitas seharusnya. Bahkan, sebagai contoh, Lapas Kelas IIA Bagansiapiapi mengalami kelebihan penghuni hingga 900%.
Ia menerangkan, kondisi ini juga telah menyebabkan berbagai masalah lainnya. Salah satunya yaitu tingginya kebutuhan anggaran untuk belanja bahan makanan narapidana dan pembangunan Lapas/Rutan baru. “Tahun 2021 lalu, anggaran bahan makanan mencapai Rp1,5 triliun. Sedangkan anggaran pembangunan Lapas selama lima tahun tidak kurang dari Rp5 triliun,” jelasnya.
Isu-isu gangguan keamanan dan ketertiban seperti pelarian, kerusuhan, penyalahgunaan narkoba, dan pungutan liar juga kerap terjadi akibat sulitnya melakukan pengawasan. “Pemenuhan layanan kesehatan dan program pembinaan kepribadian dan kemandirian juga tidak dapat berjalan optimal, karena sumber daya yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah penghuni. Akibatnya, risiko residivis pun meningkat,” tambahnya.
Guna mengurai persoalan ini, Ditjenpas telah melakukan berbagai langkah progresif melalui percepatan dan kemudahan layanan Asimilasi dan Integrasi narapidana. Namun, langkah ini perlu didukung dengan perubahan paradigma menuju restorative justice. “Kami meyakini, restorative justice dapat menjadi solusi untuk masalah overcrowded yang menjadi masalah utama Lapas dan Rutan di Indonesia,” ucapnya.
Liberti menjelaskan, penerapan restorative justice di institusi Pemasyarakatan, sebenarnya bukanlah hal yang baru. “Kita memiliki success story penerapan restorative justice melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan adanya undang-undang ini, terbukti telah berhasil mengakselerasi penerapan penyelesaian perkara pidana dengan putusan non pemenjaraan melalui diversi dan alternatif pemidanaan,” tutur Liberti.
Alternatif pemidanaan dimaksud di antaranya mengembalikan pelaku tindak pidana Anak ke orang tuanya, masyarakat, lembaga pelatihan, lembaga kesejahteraan sosial, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Data menunjukan, telah terjadi penurunan putusan pidana penjara dari semula 75% pada tahun 2012 menjadi hanya 25% pada akhir tahun 2020.
“Dengan kisah sukses ini dan melalui dukungan Program Prioritas Bappenas dalam RPJMN 2020-2024, Ditjenpas semakin yakin melakukan langkah-langkah konkrit penerapan restorative justice, tidak hanya bagi pelaku anak namun juga bagi pelaku dewasa,” tegas Liberti.
Penerapan restorative justice bagi pelaku pidana dewasa ini akan melibatkan Balai Pemasyarakatan, Kepolisian Resor, Kejaksaan Negeri, dan Pengadilan Negeri di masing-masing wilayah. Tak lupa dengan dukungan 180 Kelompok Masyarakat Peduli Kemasyarakatan yang telah dibentuk Ditjenpas sejak 2020 lalu. (afn/prv)
What's Your Reaction?






