Indonesia-Amerika Serikat Berkolaborasi Tangani Transnational Organized Crime dan Deradikalisasi WBP Terorisme
Jakarta, INFO_PAS – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), terima kunjungan Pemerintah Amerika Serikat melalui Bureau of Counterterrorism, U.S. Departement of State, Senin (3/10). Hal ini dilaksanakan sebagai kolaborasi penanganan transnational organized crime dan deradikalisasi bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) tindak pidana terorisme. Sebelumnya, kolaborasi dan kerja sama antara kedua negara, khususnya dalam penanganan terorisme, telah dilaksanakan sejak tahun 2012 melalui Letter of Intent dengan International Criminal Investigative Training Assistance Program melalui capacity building dan manajemen risiko terkait pengelolaan WBP risiko tinggi.
Pada kunjungan tersebut, Acting Coordinator for the Bureau of Counterterrorism, Timothy Betts, beserta delegasi lakukan courtesy call bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) yang diwakilkan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas), Reynhard Silitonga, didampingi Staf Khusus Menkumham Bagian Hubungan Luar Negeri, Linggawati Hakim. Hadir pula jajaran Direktur di lingkungan Ditjenpas serta Direktur Pengawasan dan Penindakan Ditjen Imigrasi dan tim. Adapun dari delegasi Amerika Serikat hadir jajaran Bureau of Counterterrorism, yakni Political Officer-Counterterrorism Seth Ayarza, Policy Advisor Cody Zoschak, Policy Advisor Andrew Buhler, International Affairs Officer Eric Moran, dan Analyst Korey McLeod.
Pada kesempatan itu, Dirjenpas memaparkan beberapa poin penting terkait statistik narapidana terorisme (napiter) di Indonesia, penanganan napiter, dan indikator asesmen penempatan napiter di Indonesia. “Saat ini ada 427 napiter dari total 276.172 narapidana yang tersebar di seluruh Indonesia. Khusus untuk Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) wilayah Nusakambangan, ada beberapa Lapas yang sudah memiliki kualifikasi khusus, yakni Super Maximum, Maximum, Medium, dan Minimum Security. Semuanya memiliki tingkat keamanan yang berbeda-beda,” ungkap Reynhard.
Ia juga memaparkan keberhasilan pembinaan Lapas khusus terorisme di Indonesia yang melaksanakan program deradikalisasi. “Terbukti hingga tahun 2022, ada 111 napiter yang telah menyatakan ikrar setia NKRI,” tambah Reynhard.
Lebih lanjut, Dirjenpas juga mengundang delegasi Amerika Serikat untuk melihat secara langsung proses pembinaan napiter di Nusakambangan sekaligus mekanisme proses deradikalisasi lebih detail di beberapa Lapas khusus napiter. “Kami mengundang delegasi berkunjung ke Nusakambangan untuk melihat secara langsung proses pembinaan napiter,” ucap Reynhard.
Sejalan dengan hal tersebut, Staf Khusus Menkumham. Linggawati Hakim, menambahkan pelaksanaan pembinaan deradikalisasi bagi napiter di Lapas melibatkan stakeholder terkait. Mereka adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Detasemen Khusus 88, Badan Intelijen Negara, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), pemuka agama, rohaniawan, psikiatri, bebarapa Lembaga Swadaya Masyarakat, dan akademisi.
“Kami juga mengusulkan kerja sama sharing intelijen, funding, serta pengembalian warga negara yang terlibat tindak pidana teroris kepada Kemenlu dan instansi terkait,” usul Lingga.
Di sisi lain, Acting Coordinator of Counterterrorism, Timothy Betts, mendorong kolaborasi dan kerja sama dengan Pemerintah Indonesia, khususnya pencegahan teroris yang melintasi perbatasan negara, penanganan terorisme antara kedua negara, serta pengendalian situasi di Suriah yang melibatkan Warga Negara Indonesia dan proses reintegrasi ke Indonesia. “Kami ingin mengajak bekerja sama, membantu memfasilitasi kembalinya mereka. Tidak hanya membantu mengembalikan ke masyarakat, tetapi juga membantu mengusut kasusnya jika ada yang terbukti melanggar hukum,” terang Betts.
Lebih jauh, Betts juga sangat mengapresiasi usaha Indonesia dalam penanganan terorisme dan bangga dapat membantu Indonesia dalam bidang ini. (O2).