Jalangkote, Perundungan, PK, dan Filantropis Spontan

Jalangkote, Perundungan, PK, dan Filantropis Spontan

Mungkin sebagian kita belum tahu apa itu jalangkote. Jalangkote adalah pangan khas Sulawesi Selatan, bentuknya seperti pastel. Pangan ini sangat mudah diperoleh setiap saat apabila kita berwisata di Sulawesi Selatan. Pada setiap kota dan kabupaten dapat kita menemukannya.

 

Jalangkote sebenarnya berbeda dengan pastel yang sebagian orang ingin mempersamakannya karena berisi wortel, kentang, telur, dan bihun. Ada dua perbedaan paling mendasar, yaitu jalangkote kulitnya renyah serta dimakan bersama lombok cair yang diberi garam dan cuka, sedangkan pastel kulitnya lebih tebal dan empuk serta dimakan bersama cabai rawit (Wikipedia, 2020)

 

Jalangkote sering dijadikan pangan yang dapat membantu ekonomi keluarga yang berada pada taraf bawah. Biasanya pangan ini dijajakan anak-anak sebelum ke sekolah atau pulang dari sekolah. Harganya pun sangat terjangkau mulai dari Rp. 1.000 – 3.000/buah sehingga terbilang mudah untuk menjadi bisnis yang membantu ekonomi keluarga.

 

Namun, baru-baru ini jalangkote punya cerita viral. Seorang anak korban inisial RZ (12) penjual jalangkote yang berdomisili di Kelurahan Bonto-bonto Kecamatan Ma’rang Kabupaten Pangkep tersebar videonya mengalami perundungan sekelompok pemuda yang mengakibatkan RZ mengalami luka lecet dan trauma psikologis yang mungkin berefek parah bagi anak tersebut sehingga mengundang banyak komentar dan simpati netizen yang menontonnya di jagad maya. (Minggu, 17-5-2020).

 

Perundungan (bullying)

Perundungan (bullying) didefiniskan sebagai perilaku berulang untuk melukai seseorang, baik secara emosional maupun fisik. Perundungan (bullying) sering ditujukan pada orang tertentu karena ras, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, penampilan, hingga kondisi fisik seseorang.

 

Mutia (Artikel Dokter Sehat, 2020) mengulas terjadinya perundungan dilihat dari sisi korban disebabkan oleh:

  1. Penampilan fisik

Ketika serang anak memiliki penampilan fisik yang dianggap berbeda dengan anak lain pada umumnya, para pelaku perundungan menjadikan bahan untuk mengintimidasi anak tersebut. Penampilan fisik berbeda dapat meliputi kelebihan berat badan, menggunakan kaca mata, menggunakan behel (kawat gigi), atau menggunakan pakaian yang dianggap tidak keren seperti anak-anak lainnya.

  1. Ras

Perbedaan ras juga sering kali menyebabkan seorang anak terkena perundungan. Hal ini umumnya terjadi ketika seorang anak dengan ras berbeda memasuki satu lingkungan dan dianggap sebagai minoritas. Beberapa survei dan penelitian juga telah menunjukkan perundungan akibat ras yang berbeda cukup sering terjadi.

  1. Orientasi seksual

Orientasi seksual seseorang berbeda-beda dan umumnya seorang anak baru menyadari orientasi seksual yang berbeda memasuki usia remaja. Bahkan, di beberapa negara yang sudah tidak asing dengan isu LGBT, seseorang yang teridentifikasi sebagai lesbian, gay, biseksual, dan transgender seringkali mendapatkan perilaku perundungan. Hal ini yang membuat seseorang cenderung menyembunyikan orientasi seksualnya.

  1. Terlihat lemah

Penyebab perundungan lainnya adalah ketika seorang anak dianggap lebih lemah dan terlihat tidak suka melawan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, perundungan melibatkan ketidak seimbangan kekuatan antara pelaku dan juga korban. Pelaku tentunya merasa sebagai pihak yang lebih kuat dan dapat mendominasi korban yang lebih lemah.

  1. Terlihat tidak mudah bergaul

Selain karena lemah, terlihat tidak mudah bergaul dan memiliki sedikit teman juga menjadi salah satu penyebab menjadi korban perundungan. Individu seperti ini dilihat lemah dam membuat pelaku perundungan berpikir dapat mendominasinya.

 

Kemudian, perundungan terjadi dilihat dari sisi pelaku disebabkan oleh:

  1. Memiliki masalah pribadi

Salah satu pemicu menjadi pelaku perundungan, antara lain konflik yang berlebihan di rumah, perceraian orangtua, atau adanya anggota keluarga yang menjadi pecandu narkoba dan minuman keras. Pemicu sepeti ini membuat individu merasa tidak berdaya dan melakukan perundungan untuk menunjukkan dirinya terlihat memiliki kekuatan untuk menutupi perasaan tidak berdaya pada dirinya.

  1. Pernah menjadi korban perundungan

Beberapa kasus menunjukkan pelaku sebenarnya merupakan korban. Contohnya, anak yang merasa dirundung saudaranya di rumah, kemudian anak tersebut membalas dengan cara merundung temannya di sekolah yang ia anggap lebih lemah dari dirinya. Contoh lainnya adalah orang yang tertekan akibat perundungan di kehidupan nyata dan menggunakan internet serta dunia maya untuk menunjukkan dirinya juga memiliki kekuatan dengan cara menyerang orang lain.

  1. Rasa iri pada korban

Penyebab perundungan selanjutnya adalah rasa iri pelaku pada korban. Rasa iri ini bisa muncul akibat korban memiliki hal yang sebenarnya sama dengan pelaku. Pelaku mengintimidasi korban agar korban tidak akan lebih menonjol dari dirinya.

  1. Kurangnya pemahaman

Kurangnya pemahaman dan empati dapat juga menimbulkan perilaku perundungan. Ketika seorang anak melihat anak lain berbeda dalam hal ras, agama, dan orientasi seksual, karena kurangnya pemahaman, mereka beranggapan perbedaan tersebut adalah hal yang salah. Mereka beranggapan menjadikan anak yang berbeda tersebut sebagai sasaran intimidasi adalah hal yang benar.

  1. Mencari perhatian

Terkadang pelaku tidak menyadari yang dilakukannya termasuk penindasan karena sebenarnya apa yang dilakukannya adalah untuk mencari perhatian.

  1. Kesulitan mengendalikan emosi

Anak yang kesulitan untuk mengatur emosi dapat berpotensi menjadi pelaku. Ketika seorang individu merasa marah dan frustrasi, perbuatan yang menyakiti dan mengintimidasi orang lain bisa saja dilakukan jika sulit mengendalikan emosi. Maka, masalah kecil saja dapat membuat seseorang terprovokasi dan meluapkan emosinya secara berlebihan.

  1. Berasal dari keluarga yang disfungsional

Tidak semua anak dari keluarga yang disfungsional otomatis menjadi pelaku perundungan, namun hal ini kerap terjadi. Sebagian besar pelaku adalah anak yang merasa kurang kasih sayang dan keterbukaan dalam keluarganya. Mereka kemungkinan juga sering melihat orangtuanya bersikap agresif terhadap orang di sekitarnya.

  1. Merasa bahwa perundungan menguntungkan

Pelaku perundungan akan tanpa sengaja bisa melanjutkan aksinya karena merasa perbuatannya menguntungkan. Hal ini bisa terjadi pada anak yang mendapatkan uang atau makanan dengan cara meminta secara paksa pada temannya. Contoh lain adalah ketika pelaku merasa popularitas dan perhatian dari setiap orang padanya naik berkat tindakannya tersebut.

  1. Kurangnya empati

Pelaku perundungan kurang memiliki rasa empati, bahkan perasaan senang yang timbul saat melihat korbannya merasakan kesakitan. Semakin mendapatkan reaksi yang diinginkan, semakin pelaku perundungan merasa senang dalam melakukan aksinya.

 

Ulasan di atas sebenarnya dapat menjadi haluan walaupun hanya gambaran umum saja, tetapi bagi penulis dapatlah menjadi peta dalam membuat strategi pencegahan perundungan bagi anak yang bisa dimulai dari sektor terkecil dulu seperti wilayah RT/RW dan lingkungan sekolah.

 

Bentuk upaya yang dapat dilakukan seperti:

  1. Penanaman nilai-nilai atau norma-norma oleh orangtua mengingat orangtua adalah guru dan contoh yang paling mudah direplikasi anak sehingga penting menanamkan nilai-nilai ketuhanan / agama serta nilai-nilai moral berbasis keteladanan. Kemudian, masyarakat sebagai kumpulan manusia yang berinteraksi dengan anak di lingkungan sosialnya dapat memengaruhi perkembangan mental anak sehingga masyarakat diharapkan memiliki kemampuan untuk menjalankan fungsi kontrol sosial dengan baik (Preemtif). Hal ini sejalan dengan thesis Robert Owen (1844) bahwa lingkungan yang tidak baik membuat kelakuan seseorang menjadi jahat dan lingkungan yang baik sebaliknya.
  2. Memberikan kesibukan pada anak untuk belajar, baik di sekolah ataupun di luar sekolah. Pelibatan anak dalam kegiatan sosial dengan pendampingan orangtua atau masyarakat terhadap anak yang rentan mengalami perundungan (preventif).
  3. Memaksimalkan peran pemerintah (Ketua RT/RW), tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat Pembinaan Masyarakat (TNI/POLRI) (preemtif dan preventif).
  4. Penegakan hukum berdasarkan prinsip kepentingan terbaik anak bahwa kenakalan dan kejahatan yang dilakukan anak dalam proses hukumnya menggunakan pendekatan Restoratif Justice. Adapun aktornya adalah Pembimbing Kemasyarakatan (PK), penyidik, jaksa, dan hakim (represif persuasif).

Upaya ini apabila dijalankan dengan baik yang dimulai dari sektor wilayah terkecil RT/RW dan lingkungan sekolah mungkin tidak hanya perundungan anak dapat direduksi. Bahkan, mengawal proses tumbuh kembang anak pun dapat dimaksimalkan menjadi lebih baik demi masa depan mereka.

 

PK adalah Problem Solver

Ada delapan orang yang terjerat dalam kasus perundungan ini. Salah satunya anak perempuan N (14) pelaku yang merekam video peristiwa perundungan tersebut. Dalam pengakuannya, anak ini tidak menyangka akan viralnya video perundungan tersebut. Dalam proses hukumnya diselesaikan dengan pendekatan Restoratif Justice sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang  No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

 

Nawir, PK Muda Balai Pemasyarakatan Kelas I Makassar yang melakukan pendampingan terhadap Anak pelaku inisial N, menerangkan penyelesaian hukumnya diupayakan diversi berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU SPPA, yakni pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pada proses ini dihadirkan pemerintah setempat, penyidik, PK, orangtua pelaku, orangtua korban, anak korban, serta Anak pelaku. Penyidik berperan sebagai fasilitator dan PK adalah wakil fasilitor. PK secara direktif mengawal proses damai untuk membuahkan solusi terbaik dalam penyelesaian hukum Anak. Mekanisme diversi dilakukan, seperti pelaksanaan musyawarah secara kekeluargaan untuk mufakat.

 

Alhasil, kepiawaian PK sebagai problem solver menggunakan bahasa persuasif yang apresiatif mampu menggugah dan memahamkan orangtua korban serta mengantarkan Anak pelaku untuk menyadari kesalahannya dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya sekaligus memberi imbauan kepada orangtua pelaku untuk lebih mengawasi dan membimbing anaknya agar perilaku Anak pelaku dapat lebih baik ke depannya. Selain itu, mengimbau pemerintah setempat ikut mengawasi Anak dalam setiap aktivitas mereka kembali di dunia sosial secara normal. Dari pertemuan tersebut, kedua belah pihak akhirnya berdamai. Anak pelaku mengucap maaf kepada korban dan korban pun memaafkan Anak pelaku tanpa ada ganti kerugian yang ditandai dengan berita acara damai yang ditandatangani anak korban, Anak pelaku, penyidik, PK, dan pemerintah setempat.

 

PK yang merekomendasikan penyelesaian perkara Anak Berhadapan Hukum melalui diversi memberikan manfaat yang banyak. Selain persoalan konflik antar Anak telah selesai dan tidak berujung penjara, proses hukum yang panjang tidak terjadi, serta mafhum bagi kita proses hukum yang panjang akan banyak menyita waktu dan biaya sehingga dapat menambah beban keuangan negara. Proses ini sangat menguntungkan bagi tumbuh kembang Anak pelaku dan memulihkan kehidupan anak agar lebih tanggung jawab dan menyadari kesalahannya.

 

“Filantropis spontan”

Viralnya video RZ membuat reaksi netizen memberi dukungan dan simpati. Dalam video tersebut, RZ mengalami pemukulan hingga tubuhnya terjungkal membuat hati pilu bagi orang yang menyaksikannya. Berdatangan simpati dari masyarakat lokal dan nasional. Tidak sedikit pejabat dan tokoh publik langsung menghubungi keluarga RZ, bahkan menyambangi rumah RZ membawa sepeda, uang tunai, dan komitmen pemberian beasiswa hingga menengah atas. Semua itu seperti keberkahan Ramadan seribu bulan. Betapa tidak, hadiah, uang saku, sepeda, dll berdatangan seperti rezeki yang tak disangka-sangka.

 

Tetiba bermunculan Filantropis Spontan.” Apakah karena video itu membuat mereka bersimpati ataukah ada alasan yang lain?

 

Banyak Anak yang senasib dengan RZ, bahkan mungkin tetangga sendiri, namun kepekaan kita tidak semassif saat melihat video RZ kembali mempertanyakan apakah harus ada video perundungannya untuk buat kita peduli? Biarlah kita membatin menjawabnya.

 

Sebagai penutup, poin penting yang menjadi pelajaran dari peristiwa RZ adalah seyogyanya tidak boleh lagi anak dilibatkan dalam mencari nafkah. Pun kalau itu sebagai edukasi, wajiblah orangtuanya mendampinginya dengan tidak melepaskan begitu saja. Kemudian, pemerintah setempat perlu mengedukasi dan mengintervensi pola asuh yang dilakukan setiap orangtua yang dianggap rentan melanggar hak-hak anak.

 

Anak, walaupun hidup dalam taraf ekonomi rendah, haknya tetap sama dengan anak yang orangtuanya secara ekonomi mampu. Pemerintah setempat dan masyarakat harus hadir mengawal anak agar hak atas rasa aman dan hak-haknya yang lain tidak kurang walau seujung kuku.

 

 

 

Penulis: Andi Moh. Hamka (PK Pertama Bapas Makassar)

What's Your Reaction?

like
1
dislike
0
love
0
funny
0
angry
1
sad
1
wow
0