Kecakapan Hukum dan Kebebasan Tahanan dalam Membuat Perikatan

Pada dasarnya, negara memberikan dan menjamin hak-hak setiap orang sebagai warga negara. Hak tersebut merupakan bagian integral dari Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan, seorang Tahanan yang ditahan di sel tahanan atau Rumah Tahanan Negara (Rutan) pun diberikan hak-hak sesuai koridor hukum dalam peraturan perundang-undangan selama menjalani proses peradilan.
Berkaitan dengan hak seorang Tahanan, dalam Pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan mengatur secara gamblang dan eksplisit jaminan hak yang diberikan oleh UU Pemasyarakatan, yaitu:
“Tahanan berhak:
a) menjalankan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b) mendapatkan perawatan, baik jasmani maupun rohani;
c) mendapatkan pendidikan, pengajaran, dan kegiatan rekreasional, serta kesempatan mengembangkan potensi;
d) mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak sesuai dengan kebutuhan gizi;
e) mendapatkan layanan informasi;
f) mendapatkan penyuluhan hukum dan bantuan hukum;
g) menyampaikan pengaduan dan/atau keluhan;
h) mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak dilarang;
i) mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dilindungi dari tindakan penyiksaan, eksploitasi, pembiaran, kekerasan, dan segala tindakan yang membahayakan fisik dan mental;
j) mendapatkan pelayanan sosial; dan
k) menerima atau menolak kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat.”
Hak di atas merupakan hak yang sangat fundamental yang dijamin oleh negara yang tidak boleh direduksi sedikitpun. Begitu pula hak yang sifatnya keperdataan, seperti mengadakan perikatan dalam membuat dan menandatangani kesepakatan, melakukan perjanjian jual-beli, perjanjian hutang piutang, dan lain sebagainya.
Mengenai hak keperdataan ini, lebih jelasnya diatur dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan, yakni: “Tahanan tetap mempunyai hak-hak politik dan hak-hak keperdataan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Kendati Tahanan mempunyai hak-hak keperdataan yang dijamin dalam PP 58/1999 tersebut di atas, perlu dicermati frasa “hak-hak keperdataan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” sehingga kiranya kita bisa mengetahui apakah secara hukum perdata, dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), seorang Tahahan memilki kualifikasi kecakapan hukum dalam mengadakan perikatan ataukah sebaliknya.
Kecakapan seseorang sebagai subjek hukum, yaitu kemampuan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum serta mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan akibat hukumnya. Pada dasarnya tiap orang berwenang untuk membuat perikatan (vide: Pasal 1329 KUHPerdata), kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu. Adapun yang dinyatakan tidak cakap membuat perikatan dijelaskan dalam Pasal 1330 KUHPedata, yaitu sebagai berikut:
“Yang tak cakap untuk membuat perikatan adalah:
a. anak yang belum dewasa;
b. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang dtentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang leh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.” (ketentuan ini sudah dihapus oleh Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pokoknya menyatakan perempuan yang terikat perkawinan berhak melakukan perbuatan hukum).
Merujuk pada Pasal 1330 KUHPerdata tersebut di atas, maka seorang Tahanan tidak termasuk kualifikasi subjek hukum yang tak cakap membuat suatu perikatan atau perjanjian. Jadi, dapat dipahami dan disimpulkan bahwa seorang Tahanan mempunyai kecakapan untuk mengadakan suatu perikatan dalam hal membuat dan menandatangani kesepakatan, melakukan perjanjian jual-beli, hutang piutang, dan lain sebagainya.
Lantas yang menjadi persoalan berikutnya adalah status keadaan fisik seorang Tahanan yang berada di sel tahanan atau Rutan serta keadaan psikisnya yang cenderung panik, sedih, kesulitan berpikir sehingga rawan dan berisiko terjadinya Misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan keadaan) oleh pihak lain yang mengadakan dan membuat perjanjian maaupun persetujuan dengan Tahanan.
Dalam beberapa putusan pengadilan, Misbruik van omstandigheden telah digunakan hakim sebagai ratio decidendi dan doktrin untuk memutus pembatalan suatu perikatan atau perjanjian karena merupakan cacat kehendak. Misbruik van omstandigheden ini kadangkala terjadi pada diri seorang yang statusnya sebagai seorang Tahanan yang berada dalam sel tahanan atau Rutan. Misbruik van omstandigheden terjadi apabila salah satu pihak -alih-alih tahanan- yang merasa dirinya di bawah pengaruh paksaan, tekanan, ketidakberdayaan ataupun ancaman oleh pihak lainnya sehingga mempengaruhi suasana batin salah satu pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian yang berdampak dan berpengaruh terhadap kebebasan dalam membuat dan mendandatangani suatu perjanjian.
Penyalahgunaan keadaan sangat mungkin bisa terjadi oleh Tahanan di Rutan, sebagai contoh dalam kasus penipuan/penggelepan. Pihak korban dari si pelaku (yang sekarang Tahanan) meminta untuk membuat kesepakatan atau perjanjian jual-beli dan sebagian hasil uangnya ia janjikan untuk bayar jaminan penangguhan penahanan maupun pembebasan si Tahanan di mana pihak korban mengetahui tahanan itu tidak punya kuasa dan berada dalam keterbatasannya, baik dari segi fisik, psikis, maupun kelas ekonomi. Contoh lain misalnya, ada orang atau pihak yang menginginkan si Tahanan membuat kesepakatan atau perjanjian untuk mengalihkan ataupun menjual objek perjanjian dengan memanfaatkan situasi dan keadaannya yang berada di sel tahanan atau Rutan.
Apabila hal demikian terjadi, langkah hukum yang bisa dilakukan adalah melayangkan gugatan perdata atas dasar Perbuatan Melawan Hukum ke pengadilan negeri tempat tinggal Tergugat atau sesuai dengan kompetensi/kewenangan relatif pengadilan. Gugatan tersebut menguraikan posita dan petitum yang relevan untuk meminta hakim menyatakan telah terjadinya Misbruik van omstandigheden.
Penerapan Misbruik van omstandigheden telah digunakan oleh Hakim dan menjadi yurisprudensi sebagai dasar dalam penyelesaian persoalan Perbuatan Melawan Hukum yang mengandung cacat kehendak. Dalam bukunya Fredrik J. Pinankunary yang berjudul “Kompilasi 100 Kaidah Hukum dan Yurisprudensi” hal. 7-8 poin 8 tentang Perjanjian Jual-Beli Dapat Dibatalkan karena Dibuat dalam Keadaan Terpaksa dan di Bawah Tekanan, memuat contoh kasus yang dinyatakan oleh Mahkamah Agung telah terjadinya Misbruik van omstandigheden, seperti Putusan Mahkamah Agung RI No. 2356/K/Pdt/2008 tanggal 28 Februari 2009. Dalam putusan tersebut, menurut Mahkamah Agung, ketika itu Penggugat sedang ditahan oleh Polisi karena laporan dari Para Tergugat untuk menakan Penggugat agar mau membuat atau menyetujui perjanjian jual-beli tersebut. Hal ini merupakan “Misbruik van omstandigheden” yang dapat mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu tidak ada kehendak yang bebas dari pihak Penggugat.
Jadi, seorang Tahanan yang berada dalam sel tahanan atau Rutan sah-sah saja mengadakan suatu perikatan asalkan Tahanan tersebut tidak dalam keadaan terpaksa, di bawah tekanan, dan mempunyai kehendak yang bebas (tidak cacat kehendak) sehingga unsur-unsur dalam Pasal 1320 KUHPerdata bisa terpenuhi oleh kedua belah pihak.
Penulis: Insanul Hakim Ifra (Rutan Depok)
What's Your Reaction?






