Langkah Progresif Pemasyarakatan Cegah COVID-19

Stabilitas dan instabilitas. Kedua fenomena yang sewajarnya dikalkulasi dengan basis epistemologi yang berbeda. Pada kluster stabilitas, landasan aksiologi yang dominan menjadi orientasi nilai adalah ideontologis, perkara benar atau salah. Namun pada kluster instabilitas, landasan aksiologi cenderung ke arah teleologis, perkara baik atau buruk. Oleh karena itu, dalam Islam kita mengenal istilah “dhoruroh.” Sebuah kaidah fikih yang membolehkan menerjang yang haram saat kondisi darurat.
Penetapan Coronavirus Disease (COVID-19) sebagai pandemi oleh WHO telah cukup memberi centang bahwa kondisi saat ini sedang dalam kluster instabilitas. Untuk itu, tarik ulur orientasi nilai dalam merumuskan sebuah kebijakan adalah perkara baik atau buruk dengan landasan salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.
Sebagai organisasi birokratis, lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam menahan laju pertumbuhan populasi Warga Binaan Pemasyarakatan dan tahanan. Kondisi ini menciptakan overcrowded yang kemudian berimplikasi tidak terpenuhinya hak-hak dasar para penghuni sesuai standar internasional maupun instrumen hukum nasional.
Penetapan COVID-19 sebagai pandemi oleh WHO lantaran tingkat penyebaran yang signifikan menjadi ancaman serius bagi kondisi kepadatan tersebut. Realita sistem pemenjaraan saat ini, para penghuni tidak memiliki ruang minimum sebagaimana yang disyaratkan. Dalam beberapa kasus, para penghuni bahkan tidur bergiliran, tidur saling tindih, berbagi tempat tidur, bahkan ada yang mengikat diri ke jeruji jendela sehingga dapat terlelap sambil berdiri. Kurangnya ruang yang memadai dan kondisi hunian yang sempit dan sesak menjadi lahan potensial bagi tumbuh kembang berbagai penyakit menular.
Adalah Tuberkulosis (TBC), penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium Tuberculosis ini menular dari manusia ke manusia melalui percikan dahak. Pada tahun 2019, Kementerian Kesehatan merilis Indonesia adalah negara ketiga terbanyak kasus TBC dengan jumlah 842 ribu kasus. Secara khusus, di lapas dan rutan telah terdapat 1.224 narapidana yang terdeteksi mengidap penyakit dimaksud. Kondisi ventilasi udara dan sanitasi yang tidak optimal serta asupan gizi dan nutrisi yang kurang memadai menjadi komponen penyokong penularan penyakit.
Langkah Progresif
Bahaya laten kepadatan penghuni lapas/rutan di tengah wabah pandemi COVID-19 disikapi secara responsif oleh institusi Pemasyarakatan. Selain penyediaan bilik sterilisasi di tiap satuan kerja, pengadaan blok khusus isolasi, dan pembatasan layanan kunjungan, Pemasyarakatan juga melakukan percepatan pengeluaran dan pembebasan para narapidana.
Dasar kebijakan tersebut adalah Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 serta Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19.
Esensi dari norma tersebut ialah melakukan upaya penyelamatan terhadap narapidana dan Anak dari bencana non-alam melalui pengeluaran dan pembebasan. Pengeluaran dalam terminologi regulasi tersebut diistilahkan Asimilasi dan pembebasan diistilahkan dengan Integrasi (Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas).
Prasyarat asimilasi dalam ketentuan tersebut adalah narapidana yang 2/3dan Anak yang ½ masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020. Namun, kebijakan asimilasi dikecualikan bagi narapidana dan Anak yang terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) 99 Tahun 2012, sedang menjalani subsidaer, dan warga negara asing. Sedangkan prasyarat integrasi adalah nNarapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana dan Anak yang telah menjalani ½ masa pidana dengan pengecualian narapidana dan Anak yang terkait dengan PP 99 Tahun 2012, sedang menjalani subsidaer, dan warga negara asing.
Direktur Bimbingan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi, Yunaedi, dalam salah satu rubrik diskusi yang diadakan The Asia Foundation, Selasa (14/4) menaksir sebanyak 37.000 lebih narapidana dan Anak yang telah memperoleh fasilitas kebijakan tersebut. Akan tetapi, Pemasyarakatan tidak serta-merta mengeluarkan dan membebaskan tanpa adanya jaminan perubahan sikap. Maka, balai pemasyarakatan (bapas) sebagai pranata yang menghimpun jabatan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) mengemban tugas untuk melaksanakan pengawasan dan pembimbingan selama narapidana dan Anak dikembalikan ke masyarakat.
Mengantisipasi Bahaya Laten
Pandemi COVID-19 di Indonesia kini berdampak multi-sektoral dari kesehatan hingga sosial-ekonomi kehidupan masyarakat. Benturan terhadap aspek kesejahteraan berimplikasi terhadap kondisi kerentanan sosial (social vulnerability). Fenomena kerentanan sosial seringkali bermuara kepada tiga klasifikasi, yakni tindakan apatis, tindakan irasional, dan tindakan kriminal.
Pengeluaran dan pembebasan 37 ribu narapidana dan anak tentunya kontekstual bila dikaitkan dengan potensi tindakan kriminal. Kondisi ini membutuhkan langkah taktis Pemasyarakatan untuk mengantisipasi tindak residivisme. Menyikapi hal tersebut, Bapas sebagai institusi yang melaksanakan fungsi pembimbingan dan pengawasan, akan melaksanakan asssmen risiko (risk assessment) dan asesmen kebutuhan (needs assessment) yang kemudian dapat dituangkan dalam Penelitian Kemasyarakatan Pembimbingan.
Penelitian ini bertujuan menganalisa latar belakang permasalahan kehidupan narapidana dan menyusun case plan kebutuhan bimbingan selama menjalani kehidupan di masyarakat. Rekomendasi ini kemudian akan diawasi secara berkala oleh PK melalui sistem dalam jaringan sebagai upaya meminimalisir laju residivis.
Namun, peran vital tersebut tentu tidak akan efektif tanpa adanya partisipasi masyarakat dan jaminan akses pemenuhan kebutuhan dasar. Irwin dalam karyanya Thieves, Convicts, and Inmate Culture (1970:135) menuturkan “setelah dibebaskan oleh lembaga koreksi, seringkali para mantan narapidana memiliki kehidupan yang terbatas dalam kelompoknya. Pelaku yang sebelumnya hidup dalam kelompok patuh hukum terkadang perlahan diasingkan, sedangkan mereka yang bermukim di kelompok kriminal mungkin akan mendapat status yang lebih kuat dalam kelompok tersebut.”
Hal ini sejalan dengan ungkapan Ketua Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, dalam salah satu sesi diskusi yang diadakan Ikatan Alumni Universitas Indonesia, Rabu (15/4) bahwa similasi dan reintegrasi bagi narapidana dan Anak telah sejalan dengan filosofi Pemasyarakatan. Namun, fenomena ini ditentukan oleh dua parameter. Pertama, kuantitas dan kualitas PK dalam melaksanakan tugas dan fungsi. Kedua, kompetensi dan kapabilitas masyarakat dalam merangkul mantan narapidana.
Selain itu, berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar diungkapkan Robert King Merton dalam karyanya Social Theory and Social Structure (1949) bahwa “kesulitan ekonomi yang dialami oleh kalangan lower class dapat mengakibatkan jenis adaptasi tertentu. Contohnya adaptasi inovasi dimana mereka berkeinginan untuk mendapatkan kebutuhan ekonominya, namun dengan cara yang menyimpang atau tidak sesuai dengan cara-cara legal yang ditetapkan oleh masyarakat.”
Maka, jaminan ketahanan dari pemerintah dan partispasi sosial masyarakat merupakan hal yang esensial bagi pemulihan para konsumen layanan fasilitas pembebasan dan pengeluaran, khususnya dalam kondisi rentan saat ini. Pun dapat memenuhi kaidah dari konsep pembinaan ekstra-mural yang digiatkan oleh bapas.
Hal ini dapat ditinjau dari akar historis konsep Pembebasan Bersyarat atau dalam istilah universal dikenal dengan parole. Inisiasi parole berangkat dari antusiasme lembaga filantropi Amerika pada tahun 1776 untuk membantu mantan narapidana yang kemudian mencapai klimaksnya pada tahun 1845 di Massachussets. Pada saat itu, pemerintah negara bagian mengangkat beberapa agen negara untuk menangani para mantan narapidana dengan memberi kewenangan kepada agen tersebut menggunakan dana publik guna membantu mereka mendapatkan pekerjaan, peralatan, sandang, dan transportasi ke tempat kerja.
Secara faktual, konsepsi ini telah digagas oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melalui Pembentukan Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (Pokmas Lipas) dengan dasar hukum Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS-06.OT.02.02 TAHUN 2020 yang merupakan derivasi dari Resolusi Pemasyarakatan Tahun 2020. Peran Pokmas Lipas sebagai mitra kerja bapas tersebut tentunya menjadi hal yang vital sebagai langkah preventif mengantisipasi segala bahaya laten terkait pembebasan dan pengeluaran saat ini.
Maka, turut serta masyarakat dalam merangkul dan tanggung jawab pemerintah dalam menjamin akses pemenuhan kebutuhan dasar dapat menjadi pelampung bagi para mantan narapidana menghadapi derasnya arus kerentanan sosial.
Penulis: Moch. Fauzan Zarkasi (PK Bapas Makassar)
What's Your Reaction?






