Melihat Ke(b)utuhan Seorang Anak

Setelah tidak lagi menjadi seorang pengajar, perhatian saya pada anak tidak kemudian surut atau bahkan berhenti. Dunia anak yang penuh dengan keunikan membuat saya selalu merasa takjub karena di sana saya seolah melihat banyak sekali nilai-nilai kehidupan. Dulu ketika masih menjadi seorang pengajar di Yogyakarta, saya sangat menikmati kebersamaan dengan mereka. Apalagi hal-hal yang menurut saya sangat spontan yang biasanya dilontarkan oleh seorang anak, terutama anak-anak pada usia TK yang tidak jarang saya juga ikut masuk menggantikan pengajar lain yang berhalangan. Di sekolah kami terdapat beberapa jenjang sehingga saat istirahat anak-anak dengan berbagai usia dan tahapan perkembangannya berkumpul di sana. Kadang-kadang ada orang tua yang mengantarkan anaknya dan bercerita atau curhat pada saya atau pengajar lain. Biasanya seputar anaknya di rumah, bagaimana susahnya mengajak ke sekolah. Begitu juga sebaliknya, ada orang tua yang kemudian heran mengapa hingga di rumah anaknya s

Melihat Ke(b)utuhan Seorang Anak
Setelah tidak lagi menjadi seorang pengajar, perhatian saya pada anak tidak kemudian surut atau bahkan berhenti. Dunia anak yang penuh dengan keunikan membuat saya selalu merasa takjub karena di sana saya seolah melihat banyak sekali nilai-nilai kehidupan. Dulu ketika masih menjadi seorang pengajar di Yogyakarta, saya sangat menikmati kebersamaan dengan mereka. Apalagi hal-hal yang menurut saya sangat spontan yang biasanya dilontarkan oleh seorang anak, terutama anak-anak pada usia TK yang tidak jarang saya juga ikut masuk menggantikan pengajar lain yang berhalangan. Di sekolah kami terdapat beberapa jenjang sehingga saat istirahat anak-anak dengan berbagai usia dan tahapan perkembangannya berkumpul di sana. Kadang-kadang ada orang tua yang mengantarkan anaknya dan bercerita atau curhat pada saya atau pengajar lain. Biasanya seputar anaknya di rumah, bagaimana susahnya mengajak ke sekolah. Begitu juga sebaliknya, ada orang tua yang kemudian heran mengapa hingga di rumah anaknya selalu menceritakan kesenangannya di sekolah. Sistem yang sengaja dikembangkan oleh sekolah kami, yaitu mewajibkan orang tua untuk mengantar jemput dan berinteraksi dengan pengajar membuat hubungan tersendiri. Ada keakraban antara orang tua dan pengajar, termasuk kepercayaan anak yang lebih besar pada pengajar. Di satu sisi, saya juga melihat kedekatan anak dengan orang tua yang semakin terjalin. Itu berbeda jika dibandingkan dengan sekolah lain yang tidak melakukan sistem yang sama. Ada jarak, antara guru-murid-orang tua. Begitu juga adanya ketidakpercayaan, sehingga saling menyalahkan. Anak juga merasa kurang menjadi bagian dari keluarga, karena minimnya penghargaan.   Perkembangan Anak Tentu berbeda, bagaimana cara mendidik anak di rumah maupun di sekolah pada zaman sekarang karena setiap zaman memang ada tugas perkembangan lain yang membuat seorang anak menjadi berbeda dengan generasi terdahulunya seperti halnya dalam teori antar generasi yang sudah sering kita dengar dalam seminar-seminar atau pembahasan para ahli. Generasi X atau generasi yang lahir pada tahun 1965-1980 adalah masa yang sulit, jarang sekali TV, kendaraan, maupun kebutuhan lain. Baru saja memasuki peralihan dari penggunaan mesin ketik menuju PC. Internet belum berkembang di zaman itu sehingga orang-orang generasi X lebih matang dalam mengambil keputusan karena terbiasa sulit. Generasi setelahnya yang lebih dikenal sebagai Generasi Milenial berbeda lagi. Genarasi Y ini yang lahir pada tahun 1981-1994 sudah mulai mencicipi komputer yang lebih canggih. Bahkan, internet sudah bisa dinikmati. Bahan-bahan pengajaran di sekolah bisa diakses menggunakan internet. Tidak jarang sekolah yang juga sudah menggunakan power point yang artinya sudah mulai meninggalkan kapur tulis dan mengurangi penggunaan spidol. Tahun 1995 adalah masa akhir dari generasi Milenial dan menandakan lahirnya generasi baru, yaitu Generasi Z. Lahir antara tahun 1995-2010. Generasi ini lahir di tengah gempuran teknologi dan interaksi virtual melalui gawai. Bahkan, beberapa kegiatan seperti rapat wawancara kerja dan lainnya dapat dilakukan tanpa harus bertatap muka secara langsung. Tak ayal jika generasi ini lebih menyukai cara-cara instan. Jika dulu di tahun 90-an seorang siswa begitu takut dan hormatnya pada seorang guru, sekarang justru sebaliknya. Maka, sebenarnya ini adalah tantangan yang dihadapi bersama. Bahkan, bukan hanya di Indonesia melainkan di berbagai belahan dunia lain. Jadi, jika hanya menyalahkan seorang anak saja tanpa menelusuri apa penyebabnya dan bagaimana cara mengantisipasinya adalah kekeliruan.   Keunikan Seorang Anak Seorang anak, kembar identik sekalipun, tentu mempunyai keunikannya tersendiri. Mempunyai bakat dalam bidang tertentu dan tidak bisa dalam bidang tertentu. Misalkan, anak yang menguasai ilmu eksak tapi lemah dalam ilmu sosial, anak yang pandai dalam bahasa tapi sulit memahami matematika. Itu adalah keunikan-keunikan anak yang harus dipahami oleh orang tua maupun guru di sekolah. Tapi bagaimana jika kita tidak menyadari keunikan-keunikan ini? Beberapa waktu yang lalu, saat penulis mengisi pelatihan guru-guru di sebuah sekolah. Banyak sekali laporan terkait tipe kenakalan siswa yang pada umumnya menyatakan bahwa anak-anak sekarang (Generasi Z) begitu sulit untuk diatur dan tidak jarang yang melawan gurunya. Sebuah tindakan yang barangkali tidak pernah terpikirkan akan dilakukan oleh seorang murid kepada guru. Ada banyak sekali teori mengapa anak-anak Generasi Z bisa berperilaku sedemikian rupa, tapi di sini kita akan persempit menjadi dua pembahasan. Pertama, anak pembuat masalah tapi pintar. Dari pelbagai macam kasus anak yang pernah penulis tangani, ada kasus-kasus yang terbilang menarik, contohnya saat masih bergabung dengan sebuah biro psikologi di Yogyakarta. Suatu kali seorang anak dibawa oleh guru BK untuk diberikan tes psikologi. Anak tersebut adalah anak yang sering membuat keributan di sekolah, mengganggu teman-temannya saat pelajaran, maupun mengeluarkan suara-suara ribut dengan memukul meja. Pihak sekolah sudah bosan mendengar teguran orang tua agar anak tersebut diberikan tindakan. Maka, kemudian dibawalah anak ini menuju biro psikologi tempat penulis bekerja. Setelah diberikan asesmen psikologi, ternyata hasilnya cukup mengagetkan. Kemampuannya di atas rata-rata anak seusianya. Begitu pun setelah diberikan pendalaman oleh psikolog. Maka, kesimpulan yang kemudian muncul adalah karena anak ini merasa bosan dengan pembelajaran dan pelajaran yang begitu mudah ia kuasai. Karena tidak ada hal lain yang membuatnya menarik, ia kemudian berbuat sesuka hati. Yang selanjutnya, anak yang memang tidak bisa mengikuti pembelajaran dan pelajaran tapi tetap dipaksakan. Bisa oleh orang tua maupun sistem itu sendiri sehingga rasa lelahnya terhadap tekanan-tekanan yang ada membuatnya kemudian meledak, dan bertindak yang tidak sesuai dengan norma di sekitarnya. Artinya, ada dua faktor di sini, baik itu kemampuan anak sendiri dalam menangkap pelajaran maupun metode yang digunakan guru dalam mengajar, yang tentu juga harus disesuaikan dengan kemampuan anak. Maka, menjadi logis jika kepada anak sebelum memasuki sekolah harus diberikan pengukuran terlebih dahulu. Pengukuran di sini adalah pemeriksaan psikologis yang akan memetakan kemampuan dan minat bakatnya. Itu bisa dilakukan oleh sekolah sebagai sebuah instansi maupun orang tua secara mandiri jika memang sekolah belum memfasilitasi pemeriksaan tersebut. Selanjutnya adalah metode pengajaran. Generasi Z yang sudah begitu terikat dengan teknologi harus bisa dimaksimalkan oleh pengajar. Artinya, materi-materi yang diberikan dapat melalui aplikasi-aplikasi yang memudahkan siswa dalam belajar. Tentunya, dengan menggunakan gawai. Di sisi lain, sekolah juga dituntut untuk terus bisa mengembangkan pendidikan yang di dalamnya terdapat empat dimensi pendidikan karakter yang meliputi: olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olahraga. Olah hati berkaitan dengan kerohanian, olah pikir berkaitan dengan literasi, olah rasa berkaitan dengan seni dan kebudayaan, sedangkan olahraga berkaitan dengan kinestetik. Semuanya memang bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Tapi, jika memang ingin bisa mengubah dan memberikan fondasi karakter, setidaknya bukan hanya menuntut anak untuk bisa melakukan ini dan itu karena yang jauh lebih penting adalah bagaimana memberikan keutuhan dan memenuhi kebutuhan sebagai seorang individu. Selamat Hari Anak Nasional!!!     Penulis: Wahyu Saefudin (Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas Pontianak)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0