Mengupayakan Perlindungan dan Kepentingan Terbaik bagi ABH

Mengupayakan Perlindungan dan Kepentingan Terbaik bagi ABH

Anak sebagai pelaku pidana mendapat perhatian khusus dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mulai dari tahap penyelidikan hingga pembimbingan setelah menjalani pidana. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA dijelaskan bahwa tujuan SPPA adalah mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik bagi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) sebagai penerus bangsa.

Undang-Undang SPPA menghendaki, bahkan mewajibkan diupayakannya Diversi. Dalam Pasal 1 ayat (7) dijelaskan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Artinya, Diversi dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap ABH dan diharapkan Anak dapat kembali ke lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam mewujudkan hal tersebut.

Dalam menunjang pelaksanaan Diversi dalam Undang-Undang SPPA, diterbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Proses Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 Tahun. Dalam Pasal 2 menyebutkan Diversi bertujuan mencapai perdamaian antara korban dan Anak; menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan Anak diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (vide: Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 65 Tahun 2015).

Aparat Penegak Hukum dalam memeriksa Anak wajib mengupayakan Diversi dan sudah menjadi kewajiban imperatif bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk melaksanakan Diversi dalam mewujudkan Keadilan Restoratif bagi Anak. Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang SPPA memberikan ancaman pidana kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan Diversi. Namun, penjatuhan sanksi pidana dalam undang-undang tersebut dinyatakan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 110/PUU-X/2012 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Walaupun demikian, penyidik, penuntut umum, dan hakim tetap saja mempunyai kewajiban hukum dan moral untuk mengupayakan Diversi dan Keadilan Restoratif bagi Anak.

 

Peran Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan

Balai Pemasyarakatan (Bapas) sebagai pranata dalam melaksanakan bimbingan kemasyarakatan yang terlibat selama proses peradilan ABH dimulai dari tahap pra-adjudikasi (penyidikan), adjudikasi (pengadilan), dan post-adjudikasi (menjalani hukuman). Dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan (PK) adalah petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan (litmas), pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Klien, baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana.

Tugas PK lebih rinci diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang SPPA, yaitu PK membuat laporan litmas untuk kepentingan Diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan; membuat laporan litmas untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS).

Litnas yang dibuat PK menjadi bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara ABH. Apabila hakim tidak menjadikan litmas tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam putusan, maka putusan batal demi hukum. (vide: Pasal 60 ayat (4) Undang-Undang SPPA).

 

LPAS dan LPKA

Mengenai penempatan, selama proses peradilan berlangsung Anak ditempatkan di LPAS, sedangkan LPKA diperuntukkan bagi Anak Binaan menjalani masa pidananya. Untuk meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian, diberikan pembinaan kepada Anak Binaan berupa pendidikan (formal dan/atau informal), pembinaan kepribadian (mental dan spritual), dan pembinaan kemandirian (pelatihan keterampilan). Pembinaan yang diberikan haruslah mengutamakan kepentingan terbaik bagi Anak Binaan (vide: Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang SPPA).

 

 

Penulis: Insanul Hakim Ifra (Rutan Kelas I Depok)

 

 

What's Your Reaction?

like
4
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
1
wow
0