Narapidana Asimilasi Berulah Kembali, Ini Penjelasan Ditjen PAS & FPP
Jakarta, INFO_PAS – Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) bersama Forum Pemerhati Pemasyarakatan (FPP) menggelar diskusi virtual, Rabu (20/5). Dipandu Dindin Sudirman sebagai moderator, diskusi ini menghadirkan Direktur Perawatan Kesehatan dan Rehabilitasi Ditjen PAS, A. Yusphruddin, serta Hasanuddin Massaile dari FPP sebagai narasumber.
Topik yang dibahas adalah fenomena yang berkembang akhir-akhir ini dimana narapidana asimilasi di rumah berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. 10 Tahun 2020 melakukan pelanggaran hukum lagi serta penundaan sementara penerimaan tahanan baru selama pandemi Coronavirus disease (COVID-19) sebagaimana surat Menteri Hukum dan HAM RI kepada Kepala Kepolisian RI dan Jaksa Agung RI tanggal 24 Maret 2020.
Hasanuddin Massaile menguraikan tiga aspek terkait berulahnya narapidana asimilasi dan integrasi, yakni aspek narapidana, informasi kepada masyarakat, serta bagaimana mencegah agar tidak berulah kembali. Pada aspek pertama, narapidana yang mendapat asimilasi dan integrasi sejatinya sudah menjalani pembinaan sesuai standar, namun kadang sulit mengetahui hal-hal yang disembunyikan narapidana.
“Penilaian bisa jadi belum cermat karena masalah overcrowded sehingga pembinaan tidak bisa berjalan maksimal dan menimbulkan multimasalah. Bila masyarakat melihatnya gagal, wajar saja karena mereka berhak menilai sebagai pembayar pajak, tapi persentasenya kecil,” terangnya.
Pada aspek informasi kepada masyarakat, Hasanuddin menilai sudah dilakukan dengan baik, namun masih bisa lebih intensif dan komprehensif. Informasi harus bisa menjawab pertanyaan masyarakat, seperti dasar hukum kebijakan, kenapa dan apa yang ingin dicapai, kenapa namanya pengeluaran, kenapa pengeluarannya banyak, dan kenapa tidak semua tindak pidana. "Koordinasi dengan stakeholder harus satu bahasa dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), terutama yang terlibat dalam criminal justice system, demi kepentingan bersama hadapi COVID-19,” lanjut Hasanuddin.
Pada aspek bagaimana mencegah agar titdak berulah lagi, ia mengapresiasi petugas di lapangan dalam pelaksanaan program asimilasi dan integrasi. Namun, Hasanuddin menekankan tidak adanya syarat dan sanksi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang tertera pada Surat Keputusan asimilasi dan integrasi agar masyarakat bisa melihat.
“Pengawasan bapas, bagaimana pengawasan WBP lapor diri? Masyarakat harus didorong untuk percaya langkah-langkah Kemenkumham. Karena pengeluarannya sangat banyak, Aparat Penegak Hukum (APH) lainnya ajak kerja sama awasi WBP. Pengawasannya akan lebih efektif. Semua perangkat harus dilibatkan. Kepala Lapas dan Rutan juga harus proaktif dengan kepolisian terkait pengawasan narapidana asimilasi dan integrasi,” tegas Hasanuddin.
Ia juga mengapresiasi Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang sudah mengeluarkan aturan secara cepat terkait penerimaan tahanan yang sudah inkracht dengan syarat surat bebas COVID-19 hasil rapid test, menjalankan protokol kesehatan, mengukur suhu tubuh, perilaku hidup bersih dan sehat, tetap menjalankan aturan physical distancing, serta dilakukan isolasi mandiri bagi tahanan yang baru masuk. “Siapkan ruangan. Bila tidak ada ruangan, cari jalan keluar bersama APH lain karena APH punya peran masing-masing. Koordinasi juga dengan dinas kesehatan karena tidak semua Unit Pelaksana Teknis punya peralatan dan pemahaman memadai. Bila ada yang terpapar, bawa ke rumah sakit,” pesan Hasanuddin.
Selanjutnya, Direktur Perawatan Kesehatan dan Rehabilitasi Ditjen PAS, A.Yusphruddin, mengatakan bila virus sudah masuk, kita tidak bisa mengelak. Saat negara lain mengeluarkan narapidana, Indonesia, khususnya Pemasyarakatan, juga mulai memikirkan hal yang sama. Sebelumnya, Pemasyarakatan telah mendapat kucuran dana sebesar Rp. 54 miliar untuk pencegahan penyakit menular. Dana inilah yang kemudian di-refocusing untuk pencegahan COVID-19.
Hingga kini, jumlah WBP asimilasi di rumah berjumlah 37.382 orang dan integrasi sebanyak 2.401 orang, namun jumlah WBP yang melakukan pelanggaran hanya 126 orang. “Lapas kita over kapasitas luar biasa. Di dalam tidak bisa physical distancing. Kami coba selamatkan kehidupan, cari jalan kurangi isi dengan diskusi. Munculah asimilasi dan integrasi. Setelah kebijakan asimilasi dan integrasi, ada space untuk kamar isolasi sesuai standar WHO dan ICRC,” tuturnya.
Seluruh petugas juga diingatkan untuk tidak mudah membuka pintu kamar, dll, sesuai protokol kesehatan. "Dengan adanya aturan penerimaan tahanan baru yang sudah inkracht, lapas dan rutan diharapkan bersiap untuk melakukan hal tersebut sehingga tidak ada hal yang merugikan," tambah Yuspahruddin.
Ia berharap COVID-19 tidak masuk ke dalam lapas/rutan. Bila terjadi, harus dilakukan rapid test keseluruhan. “Di daerah belum tentu ada alatnya. Yang penting lakukan protokol kesehatan sebaik-baiknya,” pesan Yuspahruddin.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Ditjen PAS, Yunaedi, memaparkan dasar hukum, implementasi, serta pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan dan evaluasi program asimilasi dan integrasi. "Sebelum adanya COVID-19, kami sudah diskusi dengan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan. Kami berusaha melindungi, memberikan hak asimilasi dan integrasi sesuai tata cara pelaksanannya," tuturnya.
Terkait tidak semua narapidana diberikan hak ini, Yunaedi menjelaskan ada beberapa persyaratan yang sulit untuk dibuat crash program sehingga narapidana yang diberikan asimilasi dan integrasi adalah yang sudah mendapat crash program. "Statusnya masih narapidana sehingga istilahnya pengeluaran demi hukum," tegasnya. (IR/Adt)