Pembinaan dan Pembimbingan Narapidana/Klien Tipikor

White Collar Crime merupakan istilah yang disematkan untuk orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi dan melakukan tindak pidana korupsi. Seperti yang telah kita ketahui bersama, korupsi adalah suatu kejahatan yang luar biasa. Bukan hanya karena merugikan uang negara, tetapi memberikan dampak pada seluruh program pembangunan, rendahnya kualitas dan mutu pendidikan, rendahnya kualitas sarana, prasarana, dan infrastruktur, serta permasalahan kemiskinan yang tak kunjung tertangani. Koruptor telah merampas hak rakyat, hak asasi manusia, dan melawan kemanusiaan.Prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi transparasi, akuntabilitas dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia terancam karena adanya kejahatan korupsi.
Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 mendefinisikan korupsi adalah setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pemberantasan korupsi harus diprioritaskan, namun realitanya korupsi adalah jenis perkara yang sulit penanggulangan dan pemberantasannya, terutama dalam proses pembuktiannya. Korupsi sebagai extraordinary crime sehingga untuk memberantasnya membutuhkan extraordinary measure. Pemberantasan korupsi membutuhkan political will pemerintah yang sangat tinggi. Hal ini berarti pemerintah harus menginvestasikan dana untuk program pemberantasan korupsi dan memiliki komitmen tinggi dengan menjadikan program pemberantasan korupsi tersebut sebagai prioritas utama kebijakan pemerintah.
Adanya kepercayaan negara-negara donor terhadap komitmen dan keseriusan pemerintah untuk memberantas korupsi sangat penting sehingga meningkatkan bantuan luar negeri, khususnya negara-negara donor dalam program pemberantasan korupsi. Aparat Penegak Hukum (APH) juga harus memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam memberantas korupsi. Insentif dan gaji para pejabat publik perlu diperhatikan karena bisa memengaruhi profesionalisme, kapabilitas, dan independensi hakim maupun APH lainnya dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, harus ada kejelasan mengenai pejabat negara yang korup, apakah dapat digugat secara hukum, baik perdata, pidana, atau administrasi sehingga solusi efektif bagi pemberantasan korupsi di Indonesia dapat tercipta.
Undang-Undang RI No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 mengatur sanksi bagi para pelaku tindak pidana korupsi, yakni pidana penjara. Eva Achjani Zulfa (2011) menjelaskan tujuan pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah melindungi kepentingan masyarakat, mencegah pelaku mengulangi tindak pidana, dan memasyarakatkan pelaku hingga menjadi anggota masyarakat yang baik. Di Lapas, Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) tindak pidana korupsi tetap mendapatkan haknya sesuai Pasal 14 Undang-Undang RI No. 12 Tahun 1995. Pembinaan dan pembimbingan WBP secara umum sesuai Peraturan Pemerintah RI No.31 Tahun 1999 tidak semuanya dapat diterapkan pada WBP tindak pidana korupsi. Jika menilik pada Pasal 3, pembinaan kepribadian dan kemandirian yang sesuai untuk diterapkan bagi WBP tindak pidana korupsi adalah ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kesehatan jasmani dan rohani, serta kesadaran hukum, sedangkan pembinaan kemandirian untuk WBP tindak pidana korupsi adalah pengembangan keterampilan sesuai bakatnya.
F. H. Edy Nugroho (2015) mengungkapkan faktor-faktor yang perlu dipahami dari WBP tindak pidana korupsi adalah kondisi fisik dan psikologis, latar belakang pribadi (pendidikan, status keluarga, tingkat sosial, dan status sosial), serta bakat dan kegemaran sehingga faktor penghambat pembinaan dapat dieliminir. Pelaksanaan pidana penjara di Lapas memiliki keterbatasan anggaran, keterbatasan daya tampung WBP, belum diberikanya hak-hak WBP secara penuh, fasilitas yang minim, dan program pembinaan belum diberikan sebagaimana mestinya. Program pembinaan memerhatikan latar belakang WBP dan tindak pidana yang dilakukan serta pelaksanaan pidananya diawasi hakim pengawas dan pengamat, Balai Pertimbangan Pemasyarakatan, dan Tim Pengamat Pemasyarakatan belum dilaksanakan secara optimal.
Adanya Lapas khusus bagi narapidana tindak pidana korupsi bertujuan mengoptimalkan pengawasan dan manajemen Lapas, baik pembinaan, pengawasan, standar pengamanan yang baik, memerhatikan latar belakang WBP, serta tindak pidana yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan keberhasilan pembinaan dan Pemasyarakatan. Namun, hal ini ada kekurangannya karena narapidana tindak pidana korupsi yang biasanya memiliki kemampuan dan keahlian tidak dapat diberdayakan untuk kemanfaatan bagi narapidana lain, misalnya narapidana tindak pidana korupsi yang bisa berbahasa Inggris dapat diminta Lapas untuk menjadi guru pengajar bahasa Inggris bagi narapidana lain. Dilema yang terjadi dengan adanya Lapas khusus bisa menjadi bom waktu bagi petugas atau pimpinan Lapas karena menunggu waktu berurusan dengan hukum karena rentan terjadinya suap atau gratifikasi dari penghuninya untuk mendapatkan berbagai fasilitas.
Arma Yunita (2021) memaparkan menurut Peraturan Pemerintah RI No. 99 Tahun 2012, seorang narapidana tindak pidana korupsi mendapatkan Remisi apabila memenuhi persyaratan tambahan, yaitu bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya serta membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. Sesuai aturan perundang-undangan, narapidana tindak pidana korupsi juga mendapatkan hak Integrasi, yaitu Cuti Bersyarat (CB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), dan Pembebasan Bersyarat (PB) jika telah memenuhi persyaratan dan rekomendasi Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan (Bapas), serta diberikan layanan bimbingan oleh Bapas.
Narapidana tindak pidana korupsi di Bapas yang telah mendapatkan hak Integrasi merupakan Klien Pemasyarakatan sehingga mempunyai kewajiban melapor pada Bapas dengan periode waktu tertentu. Di Bapas Kelas I Tangerang, jika Klien mendapatkan program CB harus melapor ke Bapas satu pekan sekali, jika mendapatkan program CMB harus melapor ke Bapas dua pekan sekali, dan jika mendapatkan program PB harus melapor satu bulan sekali. Karakteristik Klien tindak pidana korupsi yang memiliki intelektualitas yang rata-rata tinggi sehingga kesadaran Klien untuk melakukan kewajiban melapor di Bapas juga tinggi. Hal ini selaras dengan hasil wawancara penulis dengan dua PK Madya Bapas Kelas I Tangerang.
Klien tindak pidana korupsi yang dibimbing oleh PK Madya Yusmarni dan PK Madya Rita sangat kooperatif dan disiplin saat melakukan wajib lapor. PK Madya Yusmarni mengungkapkan rata-rata Klien tindak pidana korupsi merupakan Klien yang telah stabil secara finansial, bahkan memiliki bisnis atau yayasan. Pada saat bimbingan, PK cenderung menjadi partner dalam berkomunikasi dengan Klien untuk membahas kegiatan sehari-hari dan permasalahan yang dihadapi Klien.
PK Rita juga mengungkapkan hal senada bahwa kebanyakan Klien tindak pidana korupsi adalah orang yang telah memiliki nama, kemapanan finansial, dan lingkungan yang baik sehingga Klien memiliki support system yang baik. Menurut PK Rita, Klien tindak pidana korupsi rata-rata adalah orang dewasa yang telah memiliki background keagamaan yang baik sehingga saat pembimbingan cenderung seperti konseling mengenai kegiatan diri dan keluarga Klien, kesehatan, serta permasalahan yang dialami Klien.
Penulis: Dwi Ervina Astuti (PK Bapas Tangerang)
What's Your Reaction?






