Pentingnya Pelatihan Life Skill bagi Narapidana

Pentingnya Pelatihan Life Skill bagi Narapidana

Indonesia adalah negara hukum sebagaiman tertuang dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan Pasal 1 butir ke (3) yang menyatakan “Indonesia adalah negara hukum”. Setiap masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum.

Hal tersebut tercermin dalam sistem hukum di Indonesia, yaitu apabila seseorang yang berbuat kejahatan yang merugikan dan merupakan tindakan yang melanggar hukum serta norma-norma yang berlaku dan mengikat di dalam masyarakat yang kemudian disahkan dan menjadi hukum tertulis di Indonesia, maka dapat ditindak dalam hukum pidana. Selanjutnya, apabila orang tersebut telah dijatuhi hukuman kurungan penjara oleh hakim di pengadilan, maka orang tersebut statusnya menjadi terpidana dan akan menjadi narapidana saat ia telah memasuki Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Narapidana yang berada di Lapas memerlukan adaptasi dalam waktu yang cukup lama agar dapat mendapatkan kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Seperti yang dijelaskan dalam hadis riwayat Imam al-Bayhaqi dan Ibnu Mubarok, Nabi Muhammad SAW menyuruh kita menggunakan kesempatan untuk melakukan kebaikan, ightanim khamsan qabla khamsin (manfaatkanlah lima kesempatan sebelum datang lima kesempitan).

Seperti halnya dalam perspektif hak asasi manusia, adanya kesempatan bagi narapidana untuk mengembangkan dirinya merupakan implementasi hak asasi manusia karena setiap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang dirampas hak kemerdekaannya berhak untuk hidup, mengembangkan diri dan tidak dapat dikurangi, dan harus dipenuhi oleh negara.  Narapidana merupakan salah satu warga negara yang mempunyai hak, salah satunya memperoleh pembimbingan dan pelatihan sesuai bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Narapidana selayaknya harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah untuk mewujudkan sumber daya manusia berkualitas dan berkarakter.

Secara umum, narapidana merupakan manusia biasa yang sama dengan kita dan tidak terlepas dari hakikatnya sebagai manusia yang harus memenuhi tuntutan hidup dan penghidupanya. Maka, narapidana di Lapas perlu adanya pelatihan dalam menggali potensi dan keterampilan narapidana yang diharapkan dapat dikembangkan setelah keluar dari Lapas.

Pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup (life skills) berupa pemberian pelatihan keterampilan menjadi salah satu upaya pemberian bekal pengetahuan dan ketarampilan bagi narapidana. Melalui pendidikan kecakapan hidup, mereka dibimbing agar berguna, aktif, dan produktif dalam kehidupan masyarakat. Narapidana di Lapas dibina agar menjadi anggota masyarakat yang tidak melanggar aturan hukum lagi.

Dalam buku yang ditulis Mustofa Kamil dengan judul Pendidikan Nonformal (2007:4) dijelaskan pelatihan merupakan serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman, ataupun perubahan sikap seorang individu. Sementara itu, pendapat lain menyatakan pelatihan merupakan peningkatan keterampilan di luar sistem pengembangan sumber daya manusia yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang lebih mengutamakan praktik daripada teori.

Untuk mengantarkan narapidana ke jalan yang benar, maka pembekalan keterampilan merupakan unsur yang memegang peranan penting dan menentukan agar terbentuknya pribadi yang mampu mengembangkan kecakapan hidup sebagai modal dalam upaya mengawali hidup baru di tengah masyarakat. Pengembangan pendidikan kecakapan hidup merupakan tugas dan wewenang pendidikan luar sekolah sebagai upaya pengembangan sumber daya manusia yang didasarkan kepada keterampilan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Hasan Basri dalam buku yang berjudul Manajemen Pendidikan dan Pelatihan, Tujuan dan Pentingnya Pelatihan membagi dalam tiga kategori pokok, yaitu cognitive domain bertujuan pelatihan yang berkaitan dengan meningkatkan pengetahuan peserta, affective domain, yaitu tujuan pelatihan yang berkaitan dengan sikap dan tingkah laku, serta psycomotor domain, yaitu tujuan pelatihan yang berkaitan dengan keterampilan peserta.

Tujuan pelatihan tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga untuk mengembangkan bakat. Kamil dalam bukunya yang berjudul Model Pendidikan dan Pelatihan mengatakan pelatihan yang dikenakan pada manusia mempunyai tujuan mengembangkan keahlian sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif serta mengembangkan pengetahuan sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional dan mengembangkan sikap sehingga dapat menimbulkan kemauan untuk bekerja sama.

Hasil dari penelitian yang dilakukan Daniel Galse yang tertuang dalam jurnal Pelaksanaan Pembinaan Narapidana sebagai Upaya Mengatasi Timbulnya Residivis menjelaskan pelatihan dapat  memotivasi narapidana untuk mempersiapkan dirinya kelak saat berbaur di masyarakat Penyebabnya adalah penjara kesulitan memperoleh pekerjaan yang cukup untuk semua penghuni penjara, pekerjaan insentif sering tidak optimal dilakukan untuk memotivasi narapidana dalam melaksanakan tugas-tugasnya di penjara yang dapat berguna bagi mereka setelah bebas nanti, penilaian terhadap pekerjaan para narapidana sangat rendah, dan relatif kecilnya kesempatan bagi narapidana yang telah bebas untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pelatihan yang diberikan di penjara.

Balai Pemasyarakatan (Bapas) mempunyai peran yang tidak kalah penting dalam pembentukan life skill narapidana, seperti pelatihan kecakapan hidup pembuatan hindroponik merupakan teknik budidaya tanaman tanpa menggunakan media tanah, melainkan menggunakan air sebagai media tanamnya, sehingga sistem bercocok tanam secara hidroponik dapat memanfaatkan lahan sempit sebagai contoh pekarangan rumah, atap rumah, maupun lahan lainnya. Dengan adanya pelatihan life skill terkait pembudidayaan tanaman hidroponik ini diharapkan berguna bagi narapidana agar memiliki keterampilan dalam hal budidaya tanaman hidroponik, seperti sayur-sayuran yang mudah untuk dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang juga bisa memberikan penghasilan setelah mereka bebas nantinya.

Beban psikologis dan stigma dari masyarakat yang akan diterima setelah narapidana terbebas dari Lapas akan menghambat mereka untuk berbaur dan bersosialisasi dalam masyarakat. Apabila hal ini terjadi, maka peluang untuk melakukan kejahatan kembali akan semakin besar. Dalam kondisi ini penting adanya pelatihan life skill bagi narapidana yang apabila telah bebas dari Lapas telah siap berbaur dengan masyarakat sekitar, bahkan dengan masyarakat luas yang didukung pengetahuan dan keterampilan dalam bekerja.  Setidaknya dari pelatihan kecakapan hidup yang telah dilaksanakan di Lapas maupun Bapas dapat menjadi modal WBP ketika kembali ke masyarakat. Pada akhirnya narapidana yang telah menghirup udara bebas dan telah menerima pelatihan life skill diharapkan dapat menjalankan kehidupannya dengan lebih baik lagi.

 

Penulis: Chaerul Amri (PK Bapas Kelas II Baubau)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
1
funny
0
angry
1
sad
0
wow
0