Perlindungan HAM WBP melalui Revitalisasi Pemasyarakatan

Perlindungan HAM WBP melalui Revitalisasi Pemasyarakatan

Sejak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mendorong implementasi Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan, seluruh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan berbenah diri. Mekanisme kerja pada seluruh UPT Pemasyarakatan harus korelatif dengan aturan perundang-undangan sebagai substansi hukum agar Pemasyarakatan mampu bekerja optimal dan efektif dalam merekayasa kultur hukum Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Penataan dan pembaruan manajemen Pemasyarakatan diperlukan untuk mengikuti dinamika perkembangan kehidupan manusia sehingga tujuan pembinaan, yaitu narapidana tidak mengulang perbuatan hukum serta mendidik mereka agar memiliki keterampilan sosial dan berwirausaha dapat tercapai.

Dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia, setiap WBP yang sedang menjalani sanksi pidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Negara (Rutan) tetap dilindungi hak asasinya. Pelayanan dengan pendekatan penegakan HAM dalam pembinaan di Rutan dan Lapas menjadi sesuatu yang sangat penting karena negara berkewajiban melindungi dan menegakkan hak-hak asasi para WBP. WBP merupakan individu yang sebagian haknya dibatasi, khususnya hak mendapatkan kebebasan sebagai bentuk sanksi pidana bagi mereka. Namun, mereka tetap dapat memiliki hak-hak lainnya tanpa diskriminasi. 

Salah satu prinsip fundamental HAM adalah kesetaraan dan persamaan hak atau prinsip nondiskriminasi yang dijamin negara dan menempel di semua dimensi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Dalam filosofi Pemasyarakatan, tujuan pemidanaan tidak hanya melindungi masyarakat, melainkan pula melindungi pelanggar hukum.

Pasal 14 Undang-Undang RI No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan berisi tentang hak-hak narapidana, yaitu melakukan ibadah sesuai agama atau kepercayaannya; mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; mendapatkan pendidikan dan pengajaran; mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; menyampaikan keluhan; mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; mendapatkan pengurangan masa pidana (Remisi); mendapatkan kesempatan berasimilasi, termasuk Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas; dan mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peran Pemasyarakatan sangat esensial dalam membangun mekanisme kontrol sosial dan  rekayasa sosial karena kehidupan sosial WBP di Lapas dan Rutan diatur oleh norma-norma atau aturan-aturan yang ada dalam jangka waktu tertentu serta diawasi oleh sistem atau organisasi sehingga kebiasaan mereka yang bersifat negatif dapat berubah. Setiap WBP diharapkan menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, aktif berperan dalam pembangunan, serta hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan mengakomodir nilai-nilai HAM milik WBP dengan mengklasifikasikan mereka berdasarkan karakteristik dan perubahan perilaku. Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan adalah upaya mengoptimalkan penyelenggaraan Pemasyarakatan sebagai bentuk perlakuan terhadap tahanan, narapidana, dan Klien serta perlindungan atas hak kepemilikan terhadap barang bukti. 

 

Peran Litmas pada Revitalisasi Pemasyarakatan
Berlakunya Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memuat peran penting Penelitian Kemasyarakatan (Litmas), yaitu digunakan dalam proses peradilan pidana serta pelaksanaan proses dan tahap pembinaan Pemasyarakatan. Berdasarkan Surat Edaran Nomor: PAS6.PK.01.05.02- 572 Tahun 2014 tentang Petunjuk Penyusunan Litmas menjelaskan Litmas dilakukan dalam upaya mengungkapkan latar belakang terjadinya tindak pidana untuk mengetahui tingkat risiko dan kebutuhan pelanggar hukum, menentukan program pelayanan tahanan, proses dan tahap pembinaan WBP, evaluasi pelaksanaan program pembinaan, serta menentukan keberhasilan penanganan terhadap WBP. 

Adanya Revitalisasi Pemasyarakatan makin menguatkan peran Litmas dalam menjalankan tugas dan fungsi Pemasyarakatan karena revitalisasi mengelompokkan Lapas berdasarkan tingkat risiko, yaitu Lapas Super Maximum Security, Lapas Maximum Security, Lapas Medium Security, dan Lapas Minimum Security. Setiap WBP mulai dari tahanan, narapidana, dan Klien Pemasyarakatan akan dibuatkan Litmas sebagai bahan evaluasi pelaksanaan program pelayanan, pembinaan, dan pembimbingan dan perubahan perilaku WBP. 

Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan meliputi Pelayanan Tahanan, Pembinaan Narapidana, Pembimbingan Klien, serta Pengelolaan Basan dan Baran. Setiap tahanan yang telah ditetapkan menjadi terpidana wajib dilakukan Litmas untuk mengukur tingkat risiko terpidana. Mereka akan di-skrining menggunakan Instrumen Skrining Penempatan Narapidana (ISPN) untuk menempatkan mereka pada tingkat klasifikasi Lapas, yaitu Lapas Super Maximum Security, Lapas Maximum Security, dan Lapas Medium Security. Penggunaan ISPN dilakukan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) atas dasar permohonan yang dikirimkan pihak Rutan kepada Balai Pemasyarakatan di mana skrining yang dilakukan dituangkan dalam bentuk Litmas Penempatan. 

Narapidana yang berada di Lapas akan mendapatkan pembinaan untuk perubahan perilaku dan  penurunan tingkat risiko narapidana. Program pembinaan kepribadian dalam Lapas meliputi pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kesadaran hukum, pembinaan kemampuan intelektual, konseling psikologi, serta rehabilitasi. Pada Lapas Medium Security, narapidana dapat diberikan pembinaan pendidikan dan pelatihan keterampilan. Sikap dan perilaku narapidana dicatat oleh Wali Pemasyarakatan dalam laporan harian sikap dan perilaku narapidana. Laporan tersebut digunakan sebagai sumber data bagi PK dalam penilaian dan penyusunan Litmas. Pemindahan narapidana dapat dilakukan berdasarkan hasil Litmas dan rekomendasi sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan.

Revitalisasi Pemasyarakatan diharapkan menumbuhkan kesadaran pelanggar hukum atas kesalahannya, adanya perubahan perilaku dari pelanggar hukum, dan menurunnya residivis pelanggar hukum. Oleh karena itu, seluruh petugas Pemasyarakatan harus memahami tugas dan fungsinya masing-masing dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama. WBP ketika bebas dapat berdaya kembali, memiliki karakter dan kompetensi untuk bertahan dalam kondisi apapun, serta tidak mengulangi tindak pidana, bahkan mereka bisa turut membangun negara.

 

Penulis: Tyas Nisa Utami (PK Pertama Bapas Tangerang)

What's Your Reaction?

like
1
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0