Refleksi Petugas Lapas Cipinang atas Pembangunan Kota Jakarta dari Balik Tembok Pemasyarakatan

Dari Trotoar yang Sepi hingga Flyover yang Menjepit
Dua puluh tiga tahun lalu, setiap pagi saya menumpang angkutan kota dari arah Jatinegara menuju Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Cipinang. Saat hari masih terang, angkot menjadi pilihan utama kami para pegawai. Namun ketika malam menjelang dan angkot tak lagi beroperasi, kami harus berjuang menggunakan apa saja yang bisa lewat, termasuk mobil bak terbuka yang biasanya mengangkut sayuran atau barang. Kami naik bersama, duduk berdempetan tanpa pelindung. Demi satu hal: mengabdi.
Kala itu, suasana Jakarta berbeda. Jalanan masih lapang, lalu lintas belum semrawut, dan rel kereta api di depan Lapas masih terbuka. Kami bisa menyeberang langsung ke gerbang kantor tanpa was-was. Tak ada flyover, tak ada deru kendaraan tak putus. Hari-hari berjalan perlahan dan kota ini masih memberi ruang untuk pejalan kaki dan pejuang upah harian seperti kami.
Kini, flyover menjulang tepat di atas rel yang dulu kami lintasi. Zebra cross dan jembatan penyeberangan tidak tersedia. Pejalan kaki harus bertaruh nyawa menyeberangi arus kendaraan yang deras. Bahkan, kendaraan pribadi dari arah Jatinegara harus memutar jauh. Jakarta memang tumbuh, tapi tak semua tumbuh bersama.
Jakarta dan Lapas Cipinang: Dua Lembaga, Satu Riwayat Kota
Lapas Cipinang bukan sekadar bangunan tua di sisi timur Jakarta. Ia adalah saksi hidup yang merekam dinamika hukum, politik, dan perjuangan bangsa Indonesia. Didirikan pada masa kolonial Belanda sebagai penjara pusat, Lapas Cipinang sejak awal berdiri tidak hanya menjadi tempat pelaksanaan hukuman, tapi juga ruang diam yang menyimpan gejolak perubahan. Di balik dindingnya yang tebal, banyak pemimpin bangsa pernah menjalani hari-hari sunyi. Bukan karena kriminalitas, tapi karena perlawanan mereka terhadap ketidakadilan.
Nama-nama besar, seperti Mohammad Hatta dan Bung Sjahrir pernah ditahan di sini karena menuntut kemerdekaan. Tokoh perlawanan Timor Leste, Xanana Gusmao, juga pernah merasakan jeruji Cipinang, membuktikan penjara ini memiliki resonansi internasional dalam sejarah perjuangan. Sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer menulis sebagian karya terkenalnya di dalam sel Cipinang. Di era Reformasi, ativis-aktivis seperti Sri Bintang Pamungkas dan Budiman Sudjatmiko turut melanjutkan tradisi perlawanan intelektual dari dalam ruang tahanan.
Di antara dinding lembab dan sel sempit itu, lahir pemikiran besar, catatan sejarah, dan renungan tentang arah bangsa. Bagi mereka, penjara bukan akhir, melainkan ruang penempaan.
Sementara itu, Jakarta terus menjelma menjadi kota megapolitan: membangun pusat bisnis, jalur rel kereta cepat, jalan layang, dan kawasan komersial modern. Namun ironisnya, di tengah gegap gempita kemajuan, ruang-ruang seperti Lapas Cipinang tetap tersembunyi di balik pagar tinggi dan stigma masyarakat.
Seperti dikatakan Michel Foucault dalam karyanya Discipline and Punish (1977), penjara adalah cermin dari masyarakatnya. Artinya, kondisi Lapas mencerminkan kualitas moral, keadilan, dan kemanusiaan dalam sistem sosial kita. Jika Jakarta ingin benar-benar menjadi kota dunia yang beradab, maka ia tidak bisa mengabaikan bagian penting dari dirinya: institusi yang menjalankan fungsi keadilan dan perbaikan manusia.
Lapas Cipinang dan Jakarta bukan dua entitas yang terpisah. Keduanya tumbuh bersama, saling mencerminkan. Maka, Pemasyarakatan harus diakui sebagai bagian dari wajah kota. Bukan yang disembunyikan, tapi yang diberdayakan.
Transformasi: Dari Manual ke Digital, dari Satu ke Empat Satuan Kerja
Saya menyaksikan sendiri saat seluruh area Lapas Cipinang masih dikelola sebagai satu Unit Pelaksana Teknis. Seluruh jenis Tahanan dan Narapidana, baik pidana umum, narkotika, tahanan pengadilan, hingga Warga Binaan yang membutuhkan perawatan medis ditangani dalam satu sistem kerja, satu kantor, satu gerbang. Kala itu, segalanya serba manual: pencatatan menggunakan buku besar, antrean pengunjung ditulis tangan, dan arsip menumpuk di map lusuh dan rak besi.
Di masa itu pula, praktik pungutan liar (pungli) bukanlah hal yang asing. Masyarakat menganggapnya sebagai risiko administratif yang lumrah. Bahkan, sebagian pegawai menganggapnya sebagai 'penghasilan tambahan‘ tidak tertulis. Budaya semacam itu mengakar karena sistem tidak transparan, kontrol lemah, dan pelayanan belum berorientasi publik.
Namun, perubahan mulai digulirkan pada akhir tahun 2003 saat pembangunan dan restrukturisasi besar dimulai. Lapas Cipinang kemudian bertransformasi menjadi empat satuan kerja: Lapas Kelas I Cipinang, Rumah Tahanan Negara Kelas I Cipinang, Lapas Narkotika Kelas IIA Jakarta, dan Rumah Sakit Pengayoman. Proses pemisahan ini tidak hanya membagi beban kerja, tapi juga mempertegas spesialisasi fungsi, mempercepat pelayanan, dan membuka ruang pembaruan.
Digitalisasi menyentuh sistem registrasi, layanan kunjungan daring, hingga sistem pelaporan dan pengaduan masyarakat. Birokrasi menjadi lebih cepat dan transparan. Reformasi ini menghidupkan semangat pelayanan publik seperti yang diharapkan Dwiyanto (2006): pemerintahan yang baik adalah yang bersih, transparan, dan melibatkan warga sebagai mitra.
Kini, pungli bukan hanya dianggap buruk, tetapi menjadi musuh bersama yang diberantas secara sistemik. Pengawasan internal diperketat, pelayanan dibuat berbasis digital, dan edukasi integritas terus digalakkan. Ini membuktikan perubahan budaya bisa terjadi ketika sistem diperbaiki dan kepemimpinan berjalan dengan keteladanan.
Namun, perubahan sistem belum selalu diikuti dengan kesadaran penuh. Adaptasi bukan hal mudah. Sebagian pegawai merasa gagap, sebagian lainnya tertinggal. Tapi perlahan, melalui pelatihan, monitoring, dan semangat kolektif, perubahan itu hidup dan terus tumbuh.
Tantangan Hari Ini: Overcrowding dan Ketimpangan Akses
Meski struktur membaik, tantangan klasik tetap ada: overcrowding. Kapasitas Lapas Cipinang hanya untuk sekitar 880 orang, namun pernah menampung lebih dari 3.500 Narapidana. Ruang pembinaan menjadi sempit, potensi konflik meningkat, dan kualitas pelayanan menurun. John Howard (1777) pernah berkata, kondisi penjara mencerminkan moralitas bangsa. Maka, bagaimana mungkin Jakarta membanggakan MRT dan gedung tinggi jika warganya yang sedang dibina hidup dalam desakan dan keterbatasan?
Di sisi lain, Lapas Cipinang kini terjepit. Di sekelilingnya berdiri padat pemukiman warga. Lalu lintas padat, flyover menutup akses depan, dan pembangunan terus menggempur ruang gerak. Ironisnya, akses ke lembaga hukum dan pembinaan justru kian sulit.
Pemerintah tengah merencanakan ruislag sebagian lahan Lapas untuk program tiga juta rumah. Sebuah langkah strategis, tapi juga menyimpan risiko: akankah warisan sejarah Lapas Cipinang dilupakan demi beton dan nilai ekonomis?
Gagasan dan Harapan: Lapas sebagai Bagian dari Kota yang Beradab
Saya percaya, Jakarta bisa tumbuh tanpa mengorbankan ingatan kolektifnya. Lapas Cipinang seharusnya tidak terpinggirkan dalam arus pembangunan kota, melainkan tampil sebagai simbol integrasi antara keadilan, pembinaan, dan sejarah perkotaan yang humanis.
Beberapa gagasan yang dapat dikembangkan dan diimplementasikan secara konkret:
- Pendirian Museum Pemasyarakatan Nasional di area kompleks Lapas Cipinang. Museum ini dapat menampilkan sejarah tokoh-tokoh besar bangsa yang pernah menjadi bagian dari Lapas Cipinang, evolusi sistem pemidanaan Indonesia, serta narasi tentang pembinaan dan reformasi. Selain sebagai tempat edukasi hukum, museum ini juga dapat menjadi destinasi wisata sejarah dan budaya hukum di Jakarta Timur;
- Revitalisasi akses publik ke kawasan Lapas Cipinang, khususnya dengan:
- Pembangunan zebra cross yang aman dan jelas di depan gerbang utama;
- Pembuatan jembatan penyeberangan orang yang terintegrasi dengan halte Transjakarta atau moda transportasi umum lainnya;
- Penataan ulang drop zone dan area parkir agar memudahkan masyarakat, keluarga Narapidana, dan petugas.
- Penataan ulang tata ruang pemasyarakatan dengan pendekatan ramah lingkungan dan manusiawi mencakup:
- Pemisahan zona layanan publik dan zona keamanan tinggi;
- Penambahan ruang terbuka hijau di dalam kompleks Lapas untuk mendukung pembinaan psikososial;
- Penggunaan arsitektur terbuka yang mendukung pengawasan, kenyamanan, dan transparansi kerja petugas.
Dengan langkah-langkah tersebut, Lapas Cipinang bukan hanya tempat menjalani hukuman, tetapi juga ruang pembelajaran publik dan simbol kota yang menghargai masa lalu sekaligus membuka jalan bagi pemulihan masa depan. Sebagaimana dikatakan Amartya Sen (1999), pembangunan adalah perluasan kebebasan. Maka, pembangunan Jakarta tidak boleh meminggirkan hak-hak dasar Warga Binaan, pegawai, maupun masyarakat sekitar Lapas. Sebaliknya, Jakarta harus menjadi kota yang tumbuh bersama keadilan, bukan melaju meninggalkannya.
Pesan dari Balik Tembok
Di usia ke-496, Jakarta makin bersinar. Tapi dari balik tembok Lapas Cipinang, kami juga punya mimpi bahwa kota ini tak hanya membangun jalan dan gedung, tetapi juga membangun harapan, ruang pembinaan, dan akses yang adil bagi semua.
Jakarta bukan hanya milik pusat perbelanjaan atau jalan tol. Ia milik semua yang tinggal dan berharap di dalamnya, termasuk mereka yang sedang belajar menjadi lebih baik.
Selamat ulang tahun, Jakarta. Teruslah tumbuh, tapi jangan lupakan yang sedang berproses. Jadilah kota yang tak hanya maju, tapi juga memanusiakan.
Penulis: Septiyawan (Lapas Cipinang)
What's Your Reaction?






