Restorative Justice Pelaku Dewasa Sebagai Momentum Pembaharuan Hukum Pidana

Restorative Justice Pelaku Dewasa Sebagai Momentum Pembaharuan Hukum Pidana

Akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan beberapa kasus tindak pidana, terutama jenis tindak pidana ringan (tipiring) diselesaikan melalui pendekatan Restorative Justice (RJ). Kasus yang cukup menyita perhatian masyarakat adalah kasus pencurian yang dilakukan oleh IE, seorang pria di Riau dengan latar belakang memenuhi kebutuhan susu anaknya. Menariknya lagi, korban dalam tindak pidana pencurian adalah ayah IE sendiri. Kasus ini kemudian oleh Kejaksaan Negeri Rokan Hilir diselesaikan melalui pendekatan RJ.

Tidak banyak masyarakat, bahkan cenderung tidak ada yang mempertanyakan kenapa pelaku tindak pidana tidak diproses lebih lanjut dalam tindak pidana pencurian yang dilakukan. Muncul pertanyaan, apakah masyarakat kita memang sudah mulai menerima konsep RJ atau karena alasan tindak pidana pencurian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang membuat masyarakat merasa iba sehingga secara tidak langsung menyetujui langkah yang diambil oleh pihak Kejaksaan? Bagaimana nantinya jika seseorang melakukan tindak pidana yang sama, namun latar belakang pencurian berbeda atau tidak sedramatis alasan IE? Harapan penulis, masyarakat sudah seharusnya mulai memahami dan menerima konsep RJ dalam menyelesaikan perkara tindak pidana, terutama tipiring.

Sebagai informasi, RJ sudah diterapkan terlebih dahulu terhadap perkara yang melibatkan Anak sebagai pelaku tindak pidana dengan diberlakukan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.  Dalam penanganan perkara dewasa, tidak ada informasi pasti kapan RJ mulai diterapkan, namun pihak kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan telah mengeluarkan pedomannya masing-masing untuk mengakomodir penerapan RJ.

Di kepolisian, ada Surat Edaran (SE) Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Dalam SE ini, kepolisian menetapkan batasan tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui pendekatan RJ, seperti tingkat kesalahan pelaku bukan merupakan residivis, bahkan diakomodirnya aspirasi masyarakat dengan disertakannya syarat tidak adanya penolakan dari masyarakat yang menurut penulis bisa menjadi bumerang dalam penerapannya seperti yang sudah penulis sampaikan di atas terkait respon masyarakat terhadap kasus IE. Kepolisian sendiri mengklaim telah menyelesaikan 11.811 kasus melalui pendekatan RJ pada tahun 2021 (sumber: CNN Indonesia). 

Kejaksaan juga tidak ketinggalan mengatur tentang RJ di mana Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif di mana dalam regulasi tersebut mensyaratkan ancaman pidana denda atau ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun, bukan residivis, dan juga nilai kerugian tidak lebih dari Rp2.500.000,-. Lembaga peradilan sendiri telah mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif yang memungkinkan penerapan RJ bagi pelaku tindak pidana narkotika, namun dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Gerak cepat yang dilakukan tentunya harus diapresiasi dikarenakan hal ini menandakan urgensi akan perubahan paradigma pemidanaan sangat dibutuhkan. Pemidanaan yang selama ini berorientasi pada pembalasan dan lebih fokus pada perbuatan sudah seharusnya mulai ditinggalkan dan dialihkan kepada pemidanaan yang bersifat pemulihan, terutama pemulihan terhadap korban. Dalam konsep retributif, korban tindak pidana tidak hanya menjadi korban akibat dari perbuatan pelaku, namun juga menjadi korban dari sistem peradilan pidana kita yang kaku di mana tidak mengikutsertakan korban dalam menentukan bagaimana muara dari perbuatan pidana yang telah dilakukan terhadap dirinya. Sudah seharusnya korban diberikan kesempatan untuk terlibat, terutama berkaitan dengan pemulihan terhadap kondisinya pasca terjadinya tindak pidana.

Hal ini juga berkaitan erat dengan manfaat dari pemidanaan di mana menurut Bentham tiga manfaat dari pemidanaan, yaitu :

  1. Pemidanaan akan sangat bermanfaat apabila dapat meningkatkan perbaikan diri pada pelaku kejahatan;
  2. Pemidanaan harus menghilangkan kemampuan pelaku untuk melakukan kejahatan;
  3. Pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.

RJ sendiri merupakan sebuah konsep yang relatif baru dalam hukum pidana di mana pertama kali diperkenalkan oleh Albert Eglash pada tahun 1977 ketika mencoba membedakan tiga bentuk peradilan pidana, yaitu retributive justice, distributive justice, dan restorative justice. Konsep ini kemudian berkembang di beberapa negara dan di negara kita dikenal sebagai salah satu bentuk alternatif penyelesaian perkara di luar peradilan formal dengan melibatkan pihak yang bertikai (victim-offender mediation).

Beberapa pendapat juga sempat menggaungkan agar RJ diberlakukan guna menekan overcrowded di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Permasalahan ini sudah lama terjadi, bahkan terkesan “dibiarkan” dikarenakan regulasi yang diberlakukan tidak mendukung penyelesaian overcrowded di Lapas. Sederhananya, permasalahan overcrowded dapat terselesaikan dengan dua syarat, yaitu berkurangnya jumlah penghuni yang ada dan berkurangnya jumlah penghuni baru.

Terkait syarat pertama, negara melalui Sistem Pemasyarakatan memberikan hak kepada narapidana yang telah memenuhi syarat berupa program Integrasi (Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas) yang sering disalahartikan sebagai “dibebaskan”. Pelaksanaan program Integrasi merupakan proses di mana narapidana menjalani sisa pidananya di luar Lapas dengan tujuan mencoba membaurkan narapidana dengan masyarakat dan tidak boleh dilupakan bahwa narapidana yang menjalani program Integrasi masih dalam pembimbingan dan pengawasan Balai Pemasyarakatan hingga narapidana selesai secara penuh menjalani sisa pidananya. Namun, faktanya dengan pemberian program Integrasi saja tidak dapat mengatasi permasalahan overcrowded di Lapas dikarenakan perbandingan antara jumlah penghuni yang keluar dari Lapas tidak sebanding dengan jumlah penghuni baru yang masuk ke Lapas.     

Dalam konteks permasalahan overcrowded, penulis lebih cenderung memilih perubahan pada paradigma pemidanaan yang dituangkan dalam hukum materiil pemidanaan dalam KUHP dan hukum formal dalam KUHP. Adanya pidana sosial merupakan kebutuhan yang sangat mendesak dalam sistem pemidanaan di negara kita. Selain itu, dimaksimalkannya rehabilitasi pada tersangka pengguna narkotika sehingga hanya pengedar yang dikirim ke Lapas tentunya akan membantu menyelesaikan permasalahan Lapas yang saat ini dihuni ±60% tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

Penulis tetap meyakini pelaku pidana tertentu tetap perlu diberikan intervensi dalam bentuk pembinaan oleh Sistem Pemasyarakatan. Perubahan KUHP dengan otomatis mengubah paradigma kita terkait konsep pemidanaan. Konsep pemidanaan retributif memang sudah seharusnya ditinggalkan, malah terkesan negara kita terlambat dalam mengimplementasikan pemidanaan yang berorientasi pada rehabilitasi dan restorasi. Pemidanaan sudah seharusnya tidak menyamping kepada tujuan memperbaiki pelaku tindak pidana dengan menghilangkan faktor-faktor kriminogenik (faktor-faktor seseorang melakukan tindak pidana). Jika hanya penyelesaian atau perdamaian yang dikejar dalam tindak pidana, maka hal ini tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan tersebut sehingga berakibat seseorang kemungkinan besar akan kembali melakukan tindak pidana.

Penerapan RJ dalam konteks pemidanaan merupakan pintu masuk bagi pembaruan hukum pidana di mana ketika para Aparat Penegak Hukum dan masyarakat mulai terbiasa keluar dari konsep pemidanaan yang kaku. Maka, saat itulah merupakan waktu yang tepat untuk melakukan pembaruan hukum pidana yang termuat dalam hukum materiil dan formil yang terjewantahkan dalam wujud sistem peradilan pidana kita.

 

Penulis: La Ode Rinaldi Muchlis (PK Pertama Bapas Ambon)

What's Your Reaction?

like
11
dislike
0
love
4
funny
1
angry
0
sad
0
wow
0