Sebuah Gagasan, Interaksi Media Massa Dalam Kerangka Litmas

Sebuah Gagasan, Interaksi Media Massa Dalam Kerangka Litmas

Keep calm and give me torture.” Sekilas kutipan yang tertera dalam buku catatan NF (15), gadis yang terlibat kasus pembunuhan seorang bocah di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat, Kamis (5/3). Selain gambar dan petikan kalimat dalam buku catatan, beberapa curahan hati pelaku juga turut dituangkan pada papan tulis. “Total ada 13 gambar dan catatan,” ungkap Wakik Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat, AKBP Susatyo Purnomo Condro.

Seiring waktu, penyidikan digiatkan. Pelbagai pengakuan pun terkuak. Salah satunya perihal kegemaran NF menonton film bergenre horor dan kekerasan.

Keterkaitan tindak kriminal dan media massa bukanlah fenomena baru. Pada tahun 2014, AW (16) seorang gadis asal Wisconsin, Amerika Serikat, menusuk teman sekelasnya, Payton Leutner (16), dengan 19 tusukan di hutan Kota Waukesha. Dilansir Chicago Tribune, aksi keji tersebut nekat dilakukan lantaran terinspirasi tokoh film Slender Man.

Game kontroversial sejenis Grand Theft Auto (GTA) juga turut menjadi kambing hitam atas beberapa tindak kriminalitas. Pada September 2008, seorang remaja berusia 13 tahun asal Perancis membakar tiga buah mobil dengan bensin. Mengutip juru bicara Kepolisian Lyon dalam konferensi pers dengan Dailymail, “pelaku mengaku bermain game GTA 4: Liberty City selama beberapa jam, kemudian keluar rumah dan membakar mobil.”

 

Perkembangan Diskursus Kriminologi

Demonologis, klasik, dan positivis adalah rentetan checkpoint dalam khazanah kriminologi, sebuah ilmu yang berupaya menelisik sebab-sebab terjadinya suatu kejahatan. Penjelasan demonologis atau supranatural kriminalitas mendominasi pemikiran kriminologi awal. Struktur masyarakat yang identik dengan nonliterate (buta huruf) sehingga konklusi terhadap kejahatan cenderung pragmatis. Penjahat seringkali dipandang sebagai pendosa yang dirasuki roh jahat. Dengan asumsi setiap pendosa layak untuk disiksa, maka reaksi kejahatan cenderung bersifat kejam, seperti pembakaran hidup-hidup, penggantungan, atau dilempar ke air dalam keadaan terikat.  

Teori klasik sebagai bagian perkembangan demonologis merujuk pada sebuah pendekatan kriminologi yang menekankan kehendak bebas (free will) dan rasionalitas pada aktor kriminal. Dengan premis memandang setiap individu bertindak atas dasar “hedonism,” sebuah prinsip yang berupaya memaksimalkan kesenangan seraya meminimalkan penderitaan, fase ini cenderung mendominasi revolusi substansi hukum. Salah satu prinsip yang ditawarkan Cesare Beccaria dalam esai nya On Crimes and Punishments (1764) bahwa undang-undang harus dibuat badan legislatif dan sifatnya harus spesifik.

Nilai dari ikhtisar Beccaria tersebut dijabarkan Jeremy Bentham dengan kaidah “kalkulus kebahagiaan” bahwa setiap manusia bertindak untuk menghasilkan rasio sebesar mungkin kebaikan dibanding keburukan. Melalui regulasi yang pasti, setiap individu akan lebih rasional dalam menetapkan keputusan melakukan tindak kejahatan (Barry, 1983).

Positivis adalah perkembangan mutakhir dalam diskursus kriminologi. Taylor, Walton, dan Young dalam karyanya The New Criminology: For A Social Theory of Deviance (1973) menunjukkan premis dasar positivisme adalah pengukuran (kuantifikasi), objektivitas (netralitas), dan kausalitas (determinisme). Kaum positivis kriminologis menekankan fokus utama kepada aktor kriminal daripada perbuatan kriminal. Mereka memandang di balik setiap tindak kejahatan terdapat faktor determinan yang mempengaruhi seorang aktor, baik berupa determinasi psikologis, biologis, maupun sosisologis.

 

Penelitan Kemasyarakatan

Melalui penerapan yang bersifat ilmiah, kaum positivis berusaha mengungkap sebab dasar kejahatan dan selanjutnya menawarkan tindakan tepat untuk menyembuhkan penyimpangan individual. Menggunakan terminologi “penyembuhan” tentu memiliki korelasi dengan sistem medis, yakni setiap penjahat dan delinkuen diasumsikan menderita beberapa gangguan atau penyakit. Dengan demikian, diagnosisnya selaras dengan diagnosis medis untuk pelbagai penyakit dan rekomendasi perawatan selaras dengan resep untuk perawatan klinis.

Pada sistem koreksi, diagnosis dan rekomendasi perawatan tertuang dalam sebuah laporan, baik untuk kepentingan pra adjudikasi, adjudikasi, maupun post adjudikasi. Dalam tren universal, untuk tahap pra adjudikasi dan adjudikasi terdapat laporan yang disebut laporan probation atau hukuman percobaan atau dalam beberapa literatur disebut pula hukuman alternatif.

Menilik sistem koreksi di Indonesia, program diversi dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan penjabaran dari probation yang dimaksud. Laporannya menggunakan nomenklatur Penelitian Kemasyarakatan (Litmas).

Dalam kerangka laporan Litmas berdasarkan Surat Keputusan Dirjenpas No. PAS-219.PK.01.04.03 Tahun 2019 terdapat bagian riwayat hidup dan perkembangan klien yang menganalisa determinasi psikologis dan biologis pada diri klien. Selanjutnya, terdapat bagian kondisi lingkungan sosial budaya tempat tinggal klien yang menganalisa determinasi sosiologis pada diri klien. Komponen ini tentunya telah komperehensif dalam merumuskan diagnosa terhadap para pelaku kejahatan. Namun, dunia kriminalitas bergerak secara dinamis. Pelbagai motif baru kini berkontribusi dalam tindak kejahatan di era kontemporer.

 

Interaksi Media Massa

Sejak tahun 1902, Enrico Ferri, seorang kriminolog Italia, telah membahas apa yang dia namakan “efek tak diinginkan” dari media massa. Kini, sejak televisi dan smartphone dikomersialkan, keduanya menjadi bagian dari kehidupan setiap orang dan seiring berjalannya waktu kontennya penuh dengan tayangan kekerasan.

Setidaknya, terdapat dua hipotesis yang berkaitan dengan media dan kekerasan, yakni hipotesis katarsis dan hipotesis pendorong. Yang pertama menyatakan bahwa terbiasa dengan tayangan kekerasan memungkinkan pelepasan imajinasi yang dapat memberikan efek menenangkan. Adapun yang kedua mengasumsikan bahwa terbiasa dengan tayangan kekerasan akan memproduksi kecenderungan lebih besar bagi agresi dan kekerasan.

Penelitian yang dilakukan American Psychological Association’s selama dua dekade terhadap interaksi anak dengan video game dengan konten kekerasan menyimpulkan bahwa terbiasa dengan media kekerasan meningkatkan agresi pada anak-anak dan pemuda (Carll, 2007). Begitupun National Institute of Mental Health dalam tinjauan literaturnya menyimpulkan kekerasan di televisi adalah salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam agresivitas anak-anak (1983).

Akan tetapi, beberapa teori juga menyimpulkan sifat determinasi kekerasan terhadap individu tidak bersifat absolut mengingat masing-masing individu memiliki tingkat kerentanan berbeda-beda. Namun, pelbagai bukti menunjukkan individu dengan kondisi kesehatan psikologis dan sosial yang buruk cenderung lebih rentan terhadap bahaya laten setelah mengonsumsi tayangan yang bersifat agresi.

Sebagai unsur yang terbukti memiliki pengaruh terhadap pelbagai tindak kriminalitas, penulis merekomendasikan agar interaksi dengan media massa dituangkan dalam kerangka Litmas yang terbaru.

 

 

Penulis: Moch. Fauzan Zarkasi (PK Bapas Kelas I Makassar) 

 

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0