Sudah Saatnya Kebijakan Lapas Ramah Perempuan

Sudah Saatnya Kebijakan Lapas Ramah Perempuan

Pada suatu sesi konseling di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan, saya pernah kewalahan dalam mengelola jalannya konseling. Konseling kelompok ini diikuti enam orang narapidana perempuan. Awalnya, konseling berjalan lancar dengan susana yang hangat dan cair. Kemudian, setelah memasuki sesi curhat, satu persatu dari mereka benar-benar memuntahkan perasaaannya. Ada yang menangis tanpa henti, ada yang terus sesegukan, dan ada yang tertunduk lesu. Tentu ini bukan situasi yang saya harapkan.

 

Bu Ani menceritakan keluarganya saat ini tinggal di luar pulau sehingga tidak pernah mengunjunginya. Setiap hari selalu memikirkan buah hatinya yang baru berusia empat tahun.

 

“Bagaimana tidak kepikiran, mas. Anak saya baru empat tahun dan suami saya sedang sakit,” tutur Bu Ani sambil mengusap air matanya.

 

“Mas, anak saya belum genap dua tahun. Sekarang tinggal dengan neneneknya. Suami saya entah di mana sekarang saya tidak tahu,” ungkap Bu Rita.

 

Bu Susi pun menambahi, walau keluarganya selalu menjenguknya setiap minggu, namun itu belum cukup baginya untuk mengobati kerinduan dengan keluarganya. “Saya merasa ada yang hilang dalam hidup saya, mas. Itu berat bagi saya,” ucapnya.

 

Saya kemudian sadar selama ini mereka memendam sesuatu yang sangat berat. Sepertinya banyak permasalahan yang selama ini disimpan. Ketika ada kesempatan untuk meluapkan perasaanya, maka meluaplah seketika emosinya.

 

Lima dari enam orang peserta konseling berstatus sebagai ibu. Tentu setiap ibu mempunyai peran yang sangat penting dalam keluarga. Saya pernah merasakan bagaimana bedanya sehari tanpa ibu di rumah dan sehari tanpa bapak di rumah. Bapak pergi dalam sehari tidak membuat ritme di dalam keluarga berubah. Namun, jika ibu yang sedang pergi, ada hal-hal yang tidak dapat dimengerti dengan baik oleh bapak.

 

Ibu saya waktu itu sedang ada kegiatan pelatihan selama seminggu. Setiap hari selalu menelepon saya, menanyakan keadaan rumah. Sudah ada makanan belum untuk sarapan, baju-baju sudah dicuci belum, dan pertanyaan tentang kondisi rumah lainnya.

 

Bukannya saya anti kesetaraan gender, namun itulah realitas yang terjadi di keluarga saya. Mungkin kondisi seperti itu juga dialami mayoritas keluaraga di Indonesia dimana seorang ibu masih mempunyai peran yang besar dalam urusan domestik rumah tangga.

 

Persis apa yang dirasakan para narapidana perempuan dalam sesi konseling, hampir sebagian besar mempunyai keluhan yang sama. Kangen keluarga. Ibu saya yang hanya pergi seminggu untuk pelatihan dan masih satu kota, pikirannya selalu saja tentang rumah. Ini mereka harus meninggalkan rumah dalam waktu lama dan akses komunikasi dibatasi. Bisa dibayangkan betapa gelisah dan gundah perasaan mereka.

 

Narapidana perempuan yang sudah berkeluarga akan merasakan beban mental yang lebih berat. Muncul perasan bersalah saat tidak melakukan tugas dan peran sebagai istri atau ibu. Hal ini akan membuat mereka rentan mengalami stres.

 

Peran mereka sebagai seorang ibu rumah tangga yang bisa melakukan banyak aktivitas tiba-tiba berubah segalanya serba terbatas. Mereka tidak bisa lagi bangun pagi, menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anak dan suami. Ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan mereka. Mungkin mereka merasakan semacam post power syndrome.

 

Bukan bermaksud merendahkan, namun saya kok berpikir para narapidana perempuan rentan mengalami konflik sesama narapidana. Kadang ada kondisi dan situasi di mana perempuan menjadi lebih sensitif dan emosial. Misalnya, pada saat datang bulan, tentu gesekan-gesekan sedikit dengan sesama narapidana bisa berakibat lebih besar.

 

“Konflik kecil ya ada, kayak jadwal piket. Ada yang rajin, ada juga yang malas-malasan. Kadang membuat saya emosi dan ngomel-ngomel,” ucap Bu Ani.

 

“Kalau saya paling tidak suka kalau ada yang bicara-bicara di belakang. Saya pasti langsung sikat dia,” tegas Bu Reni menambahi.

 

Narapidanai laki-laki melakukan kerusuhan bersama-sama memang menakutkan, namun juga tidak kalah menakutkan jika para narapidana perempuan ngambek bersama-sama.

 

Jumlah narapidana perempuan di Indonesia memang lebih sedikit daripada narapidana laki-laki. Menurut data smslap.ditjenpas.go.id, ada 9.718 narapidana perempuan, sedangkan narapidana dewasa sebanyak 167.207. Bisa dilihat, perbandingan jumlah narapidana laki-laki dan perempuan sangat mencolok. Terdapat 32 lapas perempuan di seluruh Indonesia. Di beberapa daerah, narapidana perempuan masih dititipkan di lapas dewasa (laki-laki).

 

Melihat realitas yang ada, lapas perempuan belum sepenuhnya ramah perempuan. Belum ada payung hukum yang secara tegas membela hak-hak perempuan dalam sistem pemidanaan kita. Mungkin, negara kita masih terlalu fokus terhadap narapidana laki-laki yang jumlahnya jauh lebih banyak.

 

Kegiatan di dalam lapas yang monoton dan minim aktivitas produktif semakin menambah beban narapidana perempuan. Tidak banyak pilihan untuk mengalihkan rasa sedih yang mereka rasakan.

 

Di lapas, kegiatan pembinaan yang diberikan kepada narapidana perempuan belum menyentuh aspek psikologis. Menurut saya, bimbingan konseling merupakan kebutuhan urgent bagi para narapidana perempuan. Memberikan kesempatan mereka untuk mencurahkan perasaannya secara berkala. Ini sangat penting mengingat banyak beban mental yang mereka rasakan. Pikiran dan perasaan yang terus-menerus dipendam narapidana perempuan nantinya bisa menumpuk seperti gunungan sampah, suatu saat bisa meledak.

 

Memang secara kebijakan sudah ada pembinaan kepribadian melalui bimbingan konseling. Pada realitasnya program ini belum menjadi prioritas utama hampir di seluruh lapas. Kebanyakan lapas fokus pada kegiatan yang dapat dilihat hasilnya, seperti keterampilan menjahit, membuat rajutan, dan ketrampilan tangan lainnya. Mungkin sudah saatnya pihak lapas mengakomodir kebutuhan-kebutuhan narapidana perempuan yang bersifat afektif.

 

“Apa yang selalu menguatkan ibu untuk tetap tabah menjalani hukuman ini?” tanyaku kepada semua peserta konseling.

 

“Keluarga!” jawab mereka kompak.

 

 

 

Penulis: Panggih P. Subagyo (Bapas Manokwari)

What's Your Reaction?

like
3
dislike
1
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0