VOC || Center for Detention Studies (CDS) dan Napi Teroris di Indonesia

VOC || Center for Detention Studies (CDS) dan Napi Teroris di Indonesia

Sahabat Pemasyarakatan,

Voice of Correction atau VOC merupakan salah satu program PASTV berbentuk siniar (podcast). Mengundang pakar dan eksper di bidangnya masing-masing, VOC diharapkan dapat memberikan pemahaman komprehensif dan holistik atas suatu isu terkait pemasyarakatan.

Dalam episode kali ini, VOC mengangkat tema "Center for Detention Studies (CDS) dan Napi Teroris di Indonesia". Selain itu, siniar kali ini juga membahas Wali Pemasyarakatan sebagai petugas pemasyarakatan yang melakukan pendampingan terhadap Warga Binaan selama mereka menjalani pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Nah, bagaimana kalau wali tersebut harus menghadapi warga binaan kasus terorisme?

Simak VOC episode "Center for Detention Studies (CDS) dan Napi Teroris di Indonesia" melalui video berikut


FENOMENA JUMLAH NAPITER DI INDONESIA

Deddy Eduar Eka Saputra (Humas Ditjenpas): Halo sahabat masyarakat apa kabar? Bertemu kembali dalam podcast "Voice of Corrections: Let's talk about Corrections". Dalam podcast kali ini kita akan banyak ngobrol, banyak diskusi terkait manajemen penanganan narapidang terorisme di Indonesia dan kali ini telah hadir bersama kita tamu kita sahabat kita Mas Gatot Goy dari CDS Apa kabar Mas?

Gatot Goei (Deputy Director of Center for Detention Studies): Baik, Alhamdulillah Mas Edward, apa kabarnya Mas?

Deddy Eduar Eka Saputra: Terima kasih ya Mas sudah menghadiri undangan kami untuk ngobrol-ngobrol terkait kiprah CDS (Center for Detention Studies) dalam manajemen penanganan terorisme di Indonesia, terutama kerjasama dengan Direktur Janda Pemasyarakatan. Oke, mas kita mulai sekarang misalnya dengan data, bahwa tren sekarang ini kalau bicara penangkapan, itu ada tren menurun. Tapi hari ini saya juga coba collect data dari teman-teman di Direkturat Pembinaan Narapidana dan Anak Binaan. Bahwa ternyata angka di kita, di fase pemasrakan, cukup tinggi. Masih Masih cukup tinggi, yaitu sekitar 409 orang, 10 diantaranya adalah napiter perempuan. Nah bagaimana menurut Mas Gatot perspektif CDS melihat kondisi ini? Satu sisi masih turun angka penangkapannya, tapi di sisi lain, di Pemasarakatan itu masih cukup tinggi.

Gatot Goei: Sebetulnya tidak salah ya dari data yang tadi disampaikan ya, kalau kita melihat 1-2 tahun terakhir. Jadi memang ada kecenderungan menurun nih dari tahun 2022-2023 dibandingkan 2021. Nah tetapi kalau misalnya kita bandingkan periodisasi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, itu justru ada kecenderungan menanjak data penangkapan tindak pidana teroris.

Nah mengapa ada peningkatan yang begitu tajam pasca Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 disahkan karena ada pasal yang ditambahkan terkait dengan orang-orang yang memang baru merencanakan atau terlibat dalam beberapa kegiatan di forum-forum komunitas kelompok teror itu langsung teridentifikasi, lalu kemudian dilakukan penangkapan. Jadi, belum ada aksinya, tetapi aparat penegak hukum itu boleh melakukan tindakan penangkapan dan penahanan, termasuk juga proses ya, sampai ke peradilan.

Jadi kalau misalnya dilihat dari 2018 sampai 2023, itu ada 1.678 kasus penangkapan. Ya secara total, itu pasca undang-undang 2018 ya. Nah dibandingkan misalnya dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, tentu ini sebaliknya. Kalau misalnya kita bandingkan 2003 sampai dengan 2018, itu datanya cenderung di bawah data 2018 sampai 2023. Jadi, betul ada penurunan di 2 tahun terakhir, tetapi kalau misalnya kita bandingkan, justru cenderung lebih tinggi. Karena tadi ya ada... faktor undang-undang. Kalau ini berdampak pada isi di dalam itu meningkat, kasus-kasus yang memang ada di kisaran 2018 sampai 2023 gitu yang masih ada di dalam Lapas/Rutan

Nah harapannya ke depan dengan adanya Undang-Undang baru lalu kemudian petugas yang responsif diberikan kewenangan, maka tindakan teror ini harusnya semakin turun. Orang-orang yang memang berpikir untuk melakukan teror semakin tidak ada di Indonesia gitu


TANTANGAN PEMASYARAKATAN DALAM PENANGANAN NAPITER

Deddy Eduar Eka Saputra: Oke menarik sekali mas penjelasannya, tapi dari sisi kita di Pemasyarakatan sepertinya akan berat ya tantangannya. Karena tadi bicara regulasi bahwa orang yang terindikasi itu bisa ditangkap. Artinya bisa dipidana, kemudian masuk ke fase pemasarakan. Artinya memang betul tadi kalau kita bicara angka akan tinggi di pemasarakatan. Di sisi lain, challenge untuk melakukan pembinaan pun jadi makin berat. Nah bagaimana mas Gatot dari sisi CDS melihat kondisi seperti ini karena tadi artinya kategorisasi merah kuning hijau itu akan makin variatif jadi tantangannya akan seperti apa mas menurut CDS?

Gatot Goei: Ya ini memang menjadi tantangan tersendiri buat teman-teman Ditjenpas yang punya kewenangan untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana teroris (Napiter). Nah, sebelumnya kan memang sudah ada tantangan besar sebelum ada undang-undang baru. Lalu kemudian, terakhir ada keterlibatan perempuan ya di dalam tindak pidana teroris termasuk anak-anak. Jadi ternyata setelah kita lihat gitu kebijakan-kebijakan penanganan narapidana teroris itu cenderung kepada kelompok-kelompok yang risiko tinggi, high risk gitu ya. Jadi bisa dibilang cukup berhasil ya teman-teman Ditjenpas untuk melakukan penanganan narapidana teroris yang high risk.

Tetapi pada saat bicara tentang yang bagaimana yang hukumannya pendek gitu ya.. Kalau dulu kan high risk itu kan tinggi-tinggi hukumannya, bisa sampai di atas 5 tahun ya. Tetapi kecendungannya sekarang, meskipun banyak penangkapan, tetapi putusan-putusan pidana itu rata-rata, berdasarkan riset kita ya, risetnya CDS itu antara 2 sampai 3 tahun saja. Jadi bahkan ada Napiter yang diputus kemudian sama dengan masa tahanannya, tidak sempat di-deradikalisasi, tidak sempat mengikuti program pembinaan, tetapi sudah bebas. Itu yang cenderung sebetulnya berbahaya karena kita tidak punya rekam jejak tuh ya, bagaimana selama di dalam penahanan tersebut Napiter itu diperlakukan ya. Lalu kemudian resikonya seperti apa, datanya tidak ada. Nah ini yang menurut kami tantangan tersendiri, teman-teman Ditjenpas untuk menghadapi napiter-napiter yang putusan pidananya singkat gitu ya, karena tidak sempat lagi untuk melakukan program pembinaan, terus kemudian tidak sempat melakukan deradikalisasi gitu loh.

Deddy Eduar Eka Saputra: Ya, termasuk juga mereka kan bebasnya bukan bebas bersyarat artinya kan ya? 

Gatot Goei: Ya, bebas murni ya. 

Deddy Eduar Eka Saputra: artinya challenge lagi ya di Pemasyarakatan

Gatot Goei: Betul, betul. Nah ini yang barangkali ke depannya juga harapan kami ada semacam koordinasi juga antara aparat penegak hukum nih menghadapi Napiter-napiter yang cukup banyak, tetapi hukumannya pendek. Ada enggak kesempatan mereka untuk mengikuti program-program pembinaan atau deradikalisasi gitu ya.

Dan misalnya kami ambil contoh, ada Napiter di Gunung Sindur. Kalau tidak salah itu sih hukumannya pendek tetapi sempat ya karena penahanannya tidak terlalu lama lalu kemudian mengikuti program pembinaan di Gunung Sindur. Dan tentu secara data, Nampiter ini sudah mengakui bahwa yang bersangkutan teledor, terus kemudian tidak hati-hati, lalu kemudian mengakuilah bahwa itu keterlibatan dia dalam jaringan itu salah gitu ya. Tetapi membuat si Napiter ini punya keinginan untuk melakukan perubahan dan itu didapat di dalam Lapas gitu loh. Jadi ada Wali Pemasyarakatan yang membuat program, memberikan intervensi sehingga Napiter yang dengan hukuman pendek ini bisa melakukan perubahan-perubahan gitu.


PERAN DAN TANTANGAN WALI PEMASYARAKATAN (PAMONG) NARAPIDANA TERORISME

Deddy Eduar Eka Saputra: Oke mas, menarik nih, sudah sedikit menyentil terkait Wali Pemasyarakatan. Atau mungkin kalau kita bicara dalam konteks penanganan Napiter, teman-teman lebih familiar menyebutnya Pamong Napiter. Nah, menurut pandangan CDS nih, sejauh mana sih peran Pamong Napiter ini dalam pembinaan Napiter? Kemudian, apa nih tantangan-tantangan ke depannya terkait kompetensi, kemudian isu yang berada kan juga banyak misalnya mereka menangani Napi yang high risk, yang high profile, tapi di sisi lain, kesejahteraan mereka tetap sama dengan petugas-petugas yang lain. Di CDS punya pandangan apa nih terkait peran-peran pamong atau wali ini di proses penanganan Napiter?

Gatot Goei: Sebenarnya kan secara kebijakan, ketentuan Wali Pemasyarakatan ini kan sudah lama ya, diatur di dalam sistem pemasyarakatan. Dan bukan berarti ini satu-satunya di Indonesia, bukan. Karena di beberapa negara atau banyak negara sebetulnya, posisi Wali itu menjadi kunci dari keberhasilan pembinaan.

Nah, misalnya contoh yang terdekat saja ya, kita membandingkan misalnya dengan Australia. Australia itu ada walinya, ada walinya. Jadi mereka itu punya wali tetapi penyebutannya itu Personal Officer. Jadi memang secara personal mendampingi si Napiter atau napi-napi lain untuk mendengarkan apa keluhannya, lalu kemudian apa kebutuhannya, lalu kemudian melakukan penilaian perilakunya, lalu kemudian juga memberikan intervensi.

Nah, dalam konteks Indonesia, untuk penanganan Napiter, ini kan sudah dimulai secara intensif di 2017. Di 2017 itu sudah secara intensif peran Wali Pemasyarakatan melakukan intervensi terhadap Napiter. Dan sempat waktu itu, kalau tidak salah di masa Pak Direktur Jenderal saat itu menyebutnya sebagai Pamong Napiter. Nah ini yang kemudian dilatih secara kompetensi, lalu kemudian dilatih juga kahliannya dalam melakukan wancara dan sebagainya.

Nah ini yang menurut kami, dan kalau tidak salah di 2020, itu pernah disampaikan di forum internasional terkait dengan keberhasilan dari Wali Pemasyarakatan untuk melakukan intervensi terhadap Narapidana Teroris. Ini yang menurut kami untuk Napiter cukup berhasil. Karena hampir semua stakeholder, misalnya dari BNPT, dari Densus, kemudian dari masyarakat, itu memperkuat posisi wali, bahkan di LSM-LSM internasional juga memberikan intervensi kepada Wali terkait dengan pengetahuan Napiter.

Jadi bagaimana perilaku Napiter, lalu kemudian bagaimana memberikan intervensi, cara berkomunikasi, terus kemudian Napiter yang cenderung punya ideologi tertentu seperti apa dan itu semua dilatih kepada Wali Pemasyarakatan. Saya kira contohnya sudah banyak berhasil di beberapa Lapas ya.


MEMPERKUAT PERAN WALI PEMASYARAKATAN (PAMONG) NARAPIDANA TERORISME

Deddy Eduar Eka Saputra: Betul, kita memang cukup harus mengapresiasi ya Wali-wali atau Pamong Napiter yang ada di Pemasyarakatan. Banyak dapat penghargaan tidak hanya di dalam internal Ditjenpas, tapi juga di luar, seperti BNPT, ada beberapa penghargaan lainnya. Tapi ada beberapa suara juga mas, mungkin kita perlu pandangan dari CDS misalnya, bagaimana regenerasi ternyata juga bermasalah dalam proses Pamong Napiter ini karena tadi challenge-nya adalah mereka menangani Napi yang high profile, high risk tapi dengan tunjangan atau salary yang sama dengan teman-teman yang lain sehingga motivasi mereka pun juga tidak cukup untuk commit sebagai Pamung Napiter. Nah, temuan-temuan kita di lapangan tuh banyak menemukan hal semacam itu. Nah, CDS sendiri sebenarnya punya nggak pandangan atau masukan sebenarnya jikalau kita ingin kembali memperkuat peran Pamungnapiter ini akan seperti apa nih? Polanya seperti apa?

Gatot Goei: Ya, jadi gini. Memang ada keluhan ya. Jadi Jadi ada keluhan, ada usul ya dari petugas yang menjadi Wali Pemasyarakatan. Karena Wali Pemasyarakatan ini belum secara fungsional ditetapkan oleh pemerintah. Seperti misalnya Pembimbing Kemasyarakatan lalu kemudian Pembina Keamanan. Nah, Wali Pemasyarakatan itu belum menjadi fungsional pemasyarakatan sehingga ini dianggap oleh teman-teman petugas di lapangan sebagai tugas tambahan.

Di beberapa kesempatan pertemuan kami dengan para Wali, kami sampaikan bahwa ini jangan dianggap sebagai tugas tambahan. Karena ke depan, fungsi dari Wali Pemasyarakatan itu akan menjadi fungsional. Jadi tentu ini harus ada itikad dari pemerintah untuk mempercepat penetapan Wali Pemasarakatan menjadi fungsional di Pemasyarakatan. Sehingga apa, kinerjanya terukur, kemudian kesejahterannya juga terukur juga. Tidak seperti sekarang, itu seakan-akan menjadi tambahan dan beban, padahal ini penting sekali.

Jadi dibandingkan misalnya dengan staf biasa, kita butuh orang-orang yang punya kahlian untuk melakukan intervensi khususnya terhadap narapidana pada umumnya gitu loh.


PENANGANAN NARAPIDANA TERORISME INDONESIA DI MATA DUNIA

Deddy Eduar Eka Saputra: Sangat menarik sebetulnya kalau kita bicara terkait Wali atau Pamong. Nanti mungkin di episode berikutnya kita juga akan ada series mas Gatot terkait bagaimana teman-teman Wali atau Pamong itu bekerja. Sehingga kita perlu juga mengapresiasi kerja dan kinerja mereka dalam penanganan Napiter.

Oke mas, sekarang let's talk globally ya. Kalau lihat dari angka ya kan, kita lihat di negara-negara lain, mungkin Indonesia ini angkanya kan, khususnya investasi Pemasyarakatan cukup tinggi ya, kasus Napiternya, Napiter yang ada di Pemasyarakatan. Nah, menurut pengalaman Mas Gatot nih, berkaca dari beberapa negara lain, rate-nya Indonesia ini dalam perang napiter seperti apa nih? Apakah memang sudah layak kita sebut ini good practice untuk di-publish ke luar? Atau memang kita masih standar lah Indonesia, gitu? Gimana pandangan Mas Gatot?

Gatot Goei: Ya, jadi secara data ya Indonesia itu tergolong paling tinggi ya tindak pidana terorisnya di dunia. Sehingga wajar banyak negara-negara sahabat dari seluruh dunia ini memberikan atensi, termasuk dari UNODC itu memberikan atensi terhadap pemerintah Indonesia khususnya dalam penanganan tindak pidana teroris gitu.

Nah tentu dari perspektif, cara penanganan, cara memberikan perlakuan terhadap narapidana itu berpengaruh untuk saat ini terhadap penanganan narapidana di Indonesia. Misalnya dalam konteks penegakan hukum, kita udah jelas tadi ya bahwa penangkapan begitu tinggi sehingga lama-kelamaan itu harusnya berkurang tindak pidana teroris. Lalu dalam konteks pembinaan, dengan berbagai intervensi dari negara-negara sahabat, bantuan-bantuan pelatihan dan lain sebagainya, itu juga berpengaruh pada peningkatan kualitas Wali dalam melakukan intervensi. Termasuk PK (Pembimbing Kemasyarakatan)-nya juga mampu melakukan penilaian risiko, mampu memberikan rekomendasi pembinaan terhadap narapidana termasuk juga memberikan klasifikasi merah, kuning, hijau.

Nah ini sudah di-adopt ya, yang sebelumnya tidak ada. Ya masih konvensional. Kalau bahasa saya itu, sebenarnya ada sistem konvensional yang digunakan oleh teman-teman Pemasyarakatan, ada sistem yang sudah modern nih. Jadi sistem yang konvensional itu, menurut perspektif kami, teman-teman Pemasyarakatan itu tidak melakukan penilaian berbasis instrumen. Jadi hanya pengamatan saja gitu. Nah tetapi dalam konteks Napiter dan konteks sekarang Napi pada umumnya, dan sudah diadopsi di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 bahwa penilaian itu tidak boleh berbasis pengamatan saja, tetapi harus berbasis data, berbasis bukti, gitu ya

Jadi setiap perilaku baik, perilaku menyimpang, semuanya harus dicatat. Kalau ada penyimpangan, berarti harus ada intervensi. Nah itu yang sudah diatur di Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022. Tetapi pada prakteknya, memang belum semua Lapas kita termasuk LPKA menggunakan instrumen-instrumen ini karena Undang-Undang ini juga baru disahkan

Deddy Eduar Eka Saputra: Kalau saya tak ingat juga CDS juga membantu kita mem-follow up beberapa instrumen (asesmen) ya.

Gatot Goei: Ya, betul.

Deddy Eduar Eka Saputra: Termasuk SPPN atau apa namanya?

Gatot Goei: Ya ada sistem penilaian pembinaan narapidana (SPPN) juga yang kami berikan rekomendasinya untuk digunakan di dalam sistem penilaian narapidana. Dan ini sebenarnya sebelum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 disahkan, sistem penilaian ini sudah digunakan khususnya untuk narapidana teroris sebetulnya. Ternyata di Undang-Undang itu kemudian diadopsi untuk semua narapidana termasuk juga Anak Binaan. Itu menurut saya itu best practice-nya gitu. Dan itu balik lagi ke 2020, kalau tidak salah, itu juga dipresentasikan kan di hadapan PBB terkait dengan keberhasilan Indonesia menangani Narapidana Teroris, khususnya di dalam penjara.

Menurut saya sih ini sebuah keberhasilan yang luar biasa, termasuk bagaimana teman-teman Wali, teman-teman Pemasyarakatan itu bisa menaklukkan Umar Patek yang kita bisa lihat dari sepak terjang dari Umar Patek itu ditakuti di seluruh dunia. Dan berbahaya, risiko tinggi, tetapi bisa diintervensi oleh teman-teman di Surabaya. Ini satu keberhasilan juga menurut kami yang dilakukan oleh Pemasyarakatan.


MULTISTAKEHOLDER APPROACH DALAM PENANGANAN NAPITER

Deddy Eduar Eka Saputra: Mas, tadi relate sama talk about globally tadi kita kan. Kalau kita hadir di beberapa forum internasional, semua sepertinya sepakat bahwa penanganan Napiter atau WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) secara umum itu adalah multi-stakeholder approach. Jadi semua pihak, semua kalangan harus terlibat. Nah pandangan CDS sendiri bagaimana keterlibatan antara APH (Aparat Penegak Hukum) Indonesia, kemudian juga NGO (Non-Government Organization) lokal/internasional itu seperti apa dalam konteks Indonesia? Apakah memang saling mendukung atau memang ternyata segmented sekali nih peran-perannya?

Gatot Goei: Jadi multistakeholder approach ini baru diterapkan di Indonesia. Jadi berdasarkan hasil kunjungan kami di beberapa negara dan pertemuan kami di forum-forum internasional, multistakeholder itu yang dilaksanakan di Indonesia itu diakui dunia dan cukup berhasil. Bahwa intervensi itu tidak semata hanya dari institusi Pemerintah, termasuk Pemasyarakatan saja, tetapi juga keterlibatan masyarakat, usulan-usulan masyarakat terhadap bentuk-bentuk pembinaan intervensi, termasuk juga pengawasan. Nah, ini yang dilihat oleh dunia internasional cukup berhasil, karena di negara lain tidak ada. Di negara lain itu yang namanya LSM tidak bisa berbuat banyak untuk masuk.

Deddy Eduar Eka Saputra: Untuk Singapura, negara tetangga, Malaysia ya, setahu saya itu mereka teman-teman NGO itu butuh sebuah LSM kualifikasi khusus untuk bisa...

Gatot Goei: Ada border. Jadi di Malaysia itu ada pembatas gitu. Di Di Singapura ada pembatas antara LSM dengan negara. Tapi kalau di Indonesia, praktiknya justru kita melebur nih. Jadi kita saling bantu ya, pemerintah memberikan, atau terbuka ya, terbuka kepada masyarakat, kepada LSM. Lalu kemudian LSM memberikan bantuan-bantuan, usul-usul yang kemudian itu dinilai cukup berhasil.

Negara-negara maju nggak ada, keterlibatan LSM itu nggak ada sama sekali. Jadi kalau pun ada keterlibatan, itu biasanya keterlibatan dari perguruan tinggi. Ya, Malaysia itu perguruan tinggi yang saya tahu. Ya, tapi itu kan melekat di pemerintah. Jadi, tidak seperti di Indonesia lah, dari CDS bisa ikut, dari Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), AIDA, lalu kemudian dari White Foundation, Solo Bersimponi, dan seterusnya itu bisa terlibat sama-sama untuk memberikan masukan-masukan kepada pemerintah.


POLICY BRIEF DAN REKOMENDASI PENGEMBANGAN PENANGANAN NAPITER

Deddy Eduar Eka Saputra: Artinya kita bisa cukup, bukan bangga yang berlebihan ya, bahwa apa yang sudah kita lakukan, Indonesia lakukan, jajaran Pemasyarakatan lakukan, terutama berminta dengan CDS, itu sudah cukup mumpuni ya, cukup oke untuk di-publish sebetulnya ya?

Gatot Goei: Ya, itu yang kemudian kita tuangkan di dalam Policy Brief tentang manajemen penanganan narapidana kasus terorisme. Nah ini cukup, risetnya sebenarnya ada banyak ya, cukup tebal. Tetapi ada Policy Brief yang kita ringkas dan kemudian kita rekomendasikan kepada pemerintah gitu ya, dari hasil yang sudah dicapai ya, misalnya 80, perlu ditingkatkan menjadi 90 atau 100 ya, dengan apa? Ya satu ya soal kompetensi petugas tadi. Jadi yang sudah dikuasai oleh petugas, harus diturunkan lagi ke petugas yang lebih muda, yang tadi bahasanya Pak Eduard itu kaderisasi, regenerasi.

Jadi wali-wali ini kan sudah senior-senior nih, sudah cukup senior lah ya, sepuh. Nah ini harus diturunkan gitu loh ke petugas yang middle atau di bawahnya gitu. Sehingga kultur baik ini bisa ditransfer ya kepada petugas-petugas yang baru gitu loh. Nah itu salah satu isu penting sih soal SDM-nya.

Deddy Eduar Eka Saputra: Masuk dalam satu rekomendasi di sini ya?

Gatot Goei: Masuk dalam satu rekomendasi di situ. Jadi yang kedua, konsistensi penggunaan alatnya, Instrumen-instrumen itu harus konsisten digunakan. Jadi kalau sebelum-sebelumnya misalnya levelnya di 70, ya kualitasnya itu ditingkatkan harus menjadi 80. Misalnya dari faktanya, dari datanya, itu harus lebih akurat. Gitu loh, intervensi dan rekomendasinya harus lebih akurat. Sarananya harus lebih lengkap dibandingkan dengan posisi sekarang gitu.


REFORMASI PEMASYARAKATAN

Deddy Eduar Eka Saputra: Oke, Keren sekali nih, nanti teman-teman sahabat Pemasyarakatan.Nanti kalau ingin lebih detail membaca policy brief ini, kerja sama antara Direktur Jurus Pemasarakatan bersama mitra-mitra kita, ada CDS di sini, ada AIDA dan YPP, nanti bisa lihat linknya yang akan kami tampilkan nanti di layar. Ini cukup bagus, menurut saya karena saya juga sudah baca dan juga terlibat sebenarnya dalam beberapa riset terkait ini.

Mas Gatot, sangat menarik sekali diskusi kita hari ini banyak mungkin hal-hal penting yang bisa kita share ke sahabat pemasarakatan di luar sana tapi yang terpenting sebenarnya dari sisi CDS, apa sih sebenarnya campaign atau tagline atau apapun namanya yang CDS mau sebar nih sebagai sebuah lokal NGO di Indonesia yang juga berpartner kuat nih dengan Dirjen Pemasyarakatan terkait terutama isu-isu pemasyarakatan, kemudian isu-isu terorisme. Silahkan Mas.

Gatot Goei: Sebenarnya kan keterlibatan kami itu kan sejak tahun 2007, Pak Eduard. Jadi waktu itu kita sudah mendorong Pemasyarakatan itu untuk bisa melaksanakan tugas-fungsi itu sesuai dengan standar minimum rules atau Mandela Rules sekarang ya. Itu sejak 2007, dari Complaint Center yang kita dorong, dari riset pada saat itu sampai dengan saat ini. Kita mendorong agar teman-teman Ditjenpas melakukan perubahan-perubahan.

Nah, tentu targetnya adalah reformasi Pemasyarakatan atau prison reform gitu loh ya. Sehingga yang tadi, budaya konvensional gitu ya, dengan peralatan seadanya, sarana seadanya, kebijakan seadanya, atau kebijakan yang sudah harus diubah gitu ya, nah itu kita dorong untuk melakukan pembaruan dengan mengadopsi prinsip-prinsip internasional, sistem yang lebih modern lagi, sarana yang lebih canggih lagi gitu ya.

Dan menurut saya cukup berhasil, salah satu contoh Lapas yang menggunakan teknologi luar biasa gitu ya, yang kalau kita lihat di televisi ya, di mana-mana itu menggunakan teknologi pintu bergerak sendiri, pagar buka tutup sendiri, itu di Lapas Karanganyar, Nusa Kambangan. Nah tentu cost-nya memang nggak murah, tetapi ternyata Indonesia bisa gitu loh, memiliki sebuah sistem Pemasyarakatan yang canggih, seperti di Lapas Karanganyar. Nah, ke depan menurut saya tetap perlu ada Lapas-Lapas seperti ini sehingga di dunia internasional lalu kemudian dalam sistem pengamanan pembinaan itu bisa lebih canggih lagi gitu, lebih update lah.

Jadi pikiran-pikiran lama boleh kita gunakan tetapi dari sisi filosofinya filosofi pemasarakatan, filosofi pemulihan tetapi dari sisi pelaksanannya ya, peralatan, sarpras itu yang harus selalu senantiasa diperbarui gitu loh.

Deddy Eduar Eka Saputra: Oke, Mas, terima kasih. Sepertinya rekomendasi dan campaign-nya Mas itu sama dengan nyawa atau ruhnya Pemasyarakatan ya. Jadi sekali lagi terima kasih Mas Gatot sudah ngobrol singkat dengan kami. Tentunya ini bukan podcast pertama dan terakhir ya. Nanti ke depan, Sahabat Pemasyarakatan, kita juga akan ngobrol banyak juga dengan Mitra-mitra kita, tidak hanya CDS, nanti mitra-mitra kita yang lain. Sekali lagi terima kasih Mas

Gatot Goei: Sama-sama, Mas Edward.

Deddy Eduar Eka Saputra: Recent Update dan Prison Reform itu kata kunci yang sangat penting dalam Pemasyarakatan. Baik, Sahabat Pemasyarakatan, cukup sudah percakapan, diskusi kita dengan CDS kali ini. Sampai jumpa di podcast-podcast berikutnya, terutama dalam Podcast Voice of Correction. Let's talk about Correction.

Sampai jumpa.

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0