Wujudkan Hukum yang Transparan dan Akuntabel, Ditjenpas Dorong Sinergi Keadilan Restoratif

Wujudkan Hukum yang Transparan dan Akuntabel, Ditjenpas Dorong Sinergi Keadilan Restoratif

Jakarta, INFO_PAS - Sinergi penerapan pendekatan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ) dalam penanganan perkara pidana melalui pelaksanaan pertukaran data dan dokumen dalam Sistem Penanganan Perkara Tindak Pidana Terpadu berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI) adalah semata-mata untuk meningkatkan tata kelola sistem pemidanaan sekaligus mempercepat penanganan perkara dan upaya untuk mewujudkan akses publik dalam penegakan hukum secara transparan dan akuntabel. Hal ini disampaikan oleh Direktur Teknologi Informasi dan Kerja Sama, Dodot Adikoeswanto, pada Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Pemasyarakatan yang dilaksanakan di The Sultan Hotel Jakarta, Selasa (26/4).

Menurutnya, penerapan RJ melalui TI, dalam hal ini SPPT-TI, adalah sebuah inovasi pemanfaatan teknologi sebagai upaya untuk mewujudkan sistem pemidanaan serta mempercepat penanganan perkara pidana yang dibangun oleh lembaga hukum dan peradilan secara efektif, terukur, dan efisien. “Pemanfaatan TI mendukung proses penegakan hukum yang dilaksanakan oleh institusi penegak hukum,” ucap Dodot.

Selain itu, ia juga menyampaikan SPPT-TI merupakan salah satu prioritas nasional dalam memperkuat stabilitas politik, hukum, pertahanan, dan keamanan, serta transformasi pelayanan publik, khususnya pada bidang penegakan hukum nasional. “SPPT TI merupakan salah satu upaya dalam bidang teknologi untuk mencapai strategi nasional,” tambahnya.

Lebih lanjut, Dodot juga menegaskan upaya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), khususnya dalam penerapan RJ, dalam merespons kemajuan teknologi harus mampu dimanfaatkan dalam rangka perubahan paradigma pemidanaan, dalam hal ini transformasi Pemasyarakatan, di mana pemidanaan dilaksanakan agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak mengulang kembali kesalahanannya, serta dapat hidup ke masyarakat secara baik dan bertanggung jawab. “Peran Pemasyarakatan dalam RJ sangat penting. Selain memberikan rekomendasi pemidanaan yang tepat kepada para penegak hukum, Pemasyarakatan juga memiliki fungsi penting dalam memulihkan hubungan di masyarakat dan meminimalisir terjadinya peningkatan muatan atau overcrowded di Lapas maupun Rutan,” terangnya.

Sementara itu, bertindak sebagai narasumber dalam kegiatan ini adalah Ketua Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi. Ia mengatakan RJ sebenarnya tidak berorientasi terhadap penghukuman, tetapi terhadap pemulihan kepada masyarakat.

“RJ sangat berperan untuk menghubungkan kembali antara pihak yang bertikai untuk bersama-sama mencari solusi terbaik dalam pemidanaan sehingga antara keluarga dan korban dapat pulih kembali tanpa melalui proses penghukuman,” ungkapnya.

Di sisi lain, Erasmus Abraham Tondo Napitupulu selaku Direktur Institute for Criminal Justice Reform menjelaskan bagaimana RJ dapat tercapai melalui beberapa pentahapan dimulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemidanaan sehingga tercapai sebuah kemufakatan antara seluruh penegak hukum dalam memberikan keadilan bagi pihak yang bertikai (pelaku dan korban). “Secara teori, RJ juga tidak didesain untuk mengurangi overcrowded penjara, namun hal tersebut merupakan salah satu dampak yang terjadi. RJ lebih didesain untuk pemulihan antara pelaku dan korban serta keluarga yang bertikai,” urainya.

Sementara itu, Emir Arsiansyah selaku Kepala Bagian Administrasi Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopohukam) RI menyampaikan RJ dalam Sistem Peradilan Pidana dilaksanakan berdasarkan Peraturan Internal Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung. Menurutnya, Kemenkopolhukam melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka menyinergikan keputusan tiga peraturan tersebut. Adapun hasil kesimpulan FGD adalah pertama, peraturan internal lembaga bersifat parsial dan berperspektif kepentingan internal serta belum mencerminkan keseluruhan Sistem Peradilan Pidana. Kedua, peraturan internal lembaga negara memiliki ruang lingkup pengaturan terbatas serta kekuatan hukum yang lemah dalam hierarki Perancangan Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) Undnag-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011.

Kegiatan Rakernispas ini dilaksanakan untuk mewujudkan sinergi dan kolaborasi antara institusi penegak hukum dalam pelaksanaan Keadilan Restoratif serta mewujudkan sinergi dan kolaborasi antara institusi penegak hukum dalam pertukaran data dan dokumen untuk pelaksanaan SPPT-TI. Turut hadir Kepala Divisi Pemasyarakatan, Pejabat Administrator dan Koordinator Jabatan Fungsional Tertentu di lingkungan Ditjenpas, Kepala Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan di lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia DKI Jakarta, mitra kerja Pemasyarakatan, serta peserta Rakernispas. (O2)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0