“Berebut nafas di dalam lapas†mungkin agak hiperbola dan dibesar-besarkan, namun kurang lebih begitulah kenyataannya. Jumlah narapidana dan tahanan sebanyak 248.243 dengan kapasitas hanya 123.574 ribu orang (sumber SMS Gateway 15 april 2018) sungguh keadaan yang cukup memprihatinkan jika dibandingkan dengan semboyan “tanah surga bagi Bangsa Indonesia dimana tongkat kayu dan karang jadi tanaman." Apa yang salah dengan negara Indonesia ini?
Tidak ada yang salah sebenarnya, hanya saja orientasi penghukuman di Indonesia haruslah diubah. Bukan berorientasi kepada pemidanaan di dalam lembaga (pemenjaraan), melainkan pemidanaan di luar lembaga (contohnya melakukan kerja sosial). Seperti yang diketahui apabila kita tinjau lebih dalam tidak ada satu pun pasal di KUHP yang tidak berorientasi terhadap hukuman pemenjaraan. Hal tersebut diperparah dengan peraturan-peraturan khusus dibawahnya yang mengatur penghukuman di Indonesia.
Contohnya UU No.35 tahun 2009 tentang narkotika dimana orientasi penghukuman masih menitikberatkan kepada pemenjaraan. Apabila hal ini dapat diubah dan dapat digantikan dengan pemidanaan di luar lembaga, mungkin tidak akan ada semboyan “berebut nafas di dalam lapas.â€
Pemidanaan di luar lembaga sangat ditekankan kepada peran bapas yang diharapkan dapat melakukan assesment apakah pelaku kejahatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Lalu, ada pertanyaan yang timbul, kasus apa sajakah yang dapat dimasukkan di dalam program assesment ini? Jawabannya sangatlah mudah. Kurang lebih 60 persen penghuni lapas dan rutan di Indonesia adalah narkoba. Pihak bapas dapat melakukan assesment terhadap pelaku narkoba tersebut, apakah ia seorang bandar, pengedar atau pemakai.
Selanjutnya, pihak bapas dapat melakukan assesment, apakah pelaku kejahatan narkoba tersebut harus dipidana di dalam lembaga atau berada di luar lembaga dengan ketentuan pidana di luar lembaga pun harus sesuai dengan kemampuan dan dilakukan bimbingan yang berarti oleh pihak bapas terhadap pelaku kejahatan yang dipidana di luar lembaga tersebut.
Mungkin sedikit konyol, tapi begitulah adanya dan seharusnya dilakukan oleh negara yang sudah berdiri hampir 73 tahun ini. Hal serupa sudah mulai dipraktikkan oleh negara besar seperti Belanda dan beberapa negara Eropa lainnya karena pada dasarnya hukuman berfungsi sebagai langkah pencegahan tindak kejahatan seperti yang diungkapakan oleh Muladi dan Barda Nawawi (1992) yang mengatakan bahwa pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat jahat), melainkan ne peccattum (supaya orang jangan melakukan kejahatan).
Dengan dilaksanakannya sistem pemidanaan ini mungkin tidak akan ada lagi semboyan “berebut nafas di dalam lapas" di negeri Ibu Pertiwi ini.
Penulis: Marthen Butar (Rutan Bandar Lampung)