Jajaran Pemasyarakatan Wilayah Jawa Barat Sharing Penanganan Ekstremisme Berbasis Kekerasan

Jajaran Pemasyarakatan Wilayah Jawa Barat Sharing Penanganan Ekstremisme Berbasis Kekerasan

Bandung, INFO_PAS – Jajaran pembinaan dan bimbingan, baik di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Balai Pemasyarakatan (Bapas) di lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat, mendapat bekal penting terkait penanganan narapidana terorisme (napiter). Bertempat di Hotel Aryaduta, Bandung, Kamis (21/7) para Kepala Seksi (Kasi) Pembinaan Narapidana/Anak Didik dari Lapas dan Kasi Bimbingan Klien Dewasa maupun Anak pada Bapas wilayah Jawa Barat berkesempatan menjadi pihak pertama yang disosialisasikan terkait penanganan ekstremisme berbasis kekerasan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan.

Kegiatan diawali dengan penyampaian gambaran umum pelatihan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Madya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), Yuni Triana Hapsari. Ia menyampaikan awal mula kerja sama Ditjenpas dengan Global Center on Cooperative Security (GCCS) tahun 2015, awal mula pelatihan sejak tahun 2016-2020, hingga petunjuk dan konteks pelatihan bagi petugas.

Materi pertama disampaikan trainer sekaligus PK Ahli Utama dari Bapas Kelas I Jakarta Barat, Rahmat Ali Akbar, tentang pengantar ekstremisme kekerasan. Secara gamblang, ia menguraikan definisi terorisme berdasarkan Undang-Undang Terorisme, yakni perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Sementara itu, ekstremisme berbasis kekerasan mengandung pengertian tindak kekerasan yang dilakukan atas nama kelompok, alasan, atau ideologi untuk menghasilkan perubahan politik atau sosial.

“Ekstremisme berbasis kekerasan bertujuan menghasilkan perubahan dalam hidup masyarakat atau sekelompok anggota masyarakat, memancing rasa takut dan teror untuk memastikan perubahan tersebut terjadi, memengaruhi orang-orang yang tidak menjadi korban langsung, memengaruhi kelompok tertentu, serta memenuhi sasaran dan tujuan kelompok, alasan, atau ideologi tertentu,” urainya.

Materi kedua disampaikan oleh Gagah Prio Utomo yang merupakan trainer sekaligus wali napiter asal Lapas Kelas IIA Pasir Putih. Materi yang disampaikannya berfokus pada proses radikalisasi ke arah ekstremisme berbasis kekerasan.

“Ada tiga faktor yang memengaruhi, yakni ketertarikan yang memotivasi untuk melakukan tindakan ekstremisme berbasis kekerasan, dilanjutkan dengan niat yang menyatakan kesiapan untuk mendukung, dan kapabilitas untuk melaksanakan hal tersebut,” jelasnya.

Salah satu peserta asal Bapas Cirebon, Endang, berharap Bapas dilibatkan sejak awal pembinaan awal napiter di Lapas. “Selama ini kami baru libatkan sejak pembuatan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas). Kami berharap keterlibatan PK Bapas bisa dari awal,” harapnya.

Mengikuti kegiatan secara virtual dari London, Direktur GCCS, David Dews, mengapesiasi masukan yang disampaikan terkait kerja sama petugas Lapas dan Bapas dalam penanganan napiter mengingat pentingnya peran PK dalam penyelesaian Litmas. “Kami telah siapkan program dukungan bagi PK untuk tahun-tahun mendatang. Akan ada diskusi dengan pihak Ditjenpas, perwakilan PK, dan pemangku kebijakan di mana akan ada pelatihan bagi PK dalam menangani napiter, khususnya di lingkungan masyarakat. Kami juga akan mengharmoniskan pelatihan hari ini dengan pelatihan bagi para PK nantinya,” terangnya.

Menyambung materi sebelumnya, Hijrah Sufiyanto selaku trainer dan wali napiter asal Lapas Kelas I Cipinang menyampaikan materi tentang proses deradikalisme menuju ekstremisme kekerasan. Dalam materi ini ditekankan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pengurangan ketertarikan, niat, dan kapabilitas sebagaimana materi sebelumnya.

“Faktor yang bisa mengurangi kapabilitas bisa dengan kurangnya akses ke jaringan, pelatihan, peralatan/sumber daya, pendanaan, calon rekrutan, instruksi/panduan, dan kesempatan menggunakan keterampilan pribadi. Sementara itu, yang bisa mengurangi niat antara lain tidak lagi meyakini bahwa kekerasan dibenarkan, sikap positif terhadap kelompok luar, dan kurangnya dukungan kelompok. Adapun faktor yang bisa mengurangi ketertarikan salah satunya bisa dengan penguatan hubungan pro-sosial, perlakuan manusiawi oleh pihak berwenang, dan pemenuhan kebutuhan,” urai Hijrah.

Salah peserta asal Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung, Munadiroh, menanyakan tentang pedoman untuk menentukan program rehabilitasi bagi napiter dan siapa yang melakukan identifikasi napiter. Atas pertanyaan ini, Hijrah menjelaskan program rehabilitasi bisa diketahui saat melakukan identifikasi napiter, sedangkan identifikasi bisa terbantu dengan Litmas PK dan akan dilanjutkan oleh wali napiter.

Materi terakhir dibawakan oleh trainer sekaligus wali napiter yang juga Kasi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan Lapas Kelas I Surabaya, Bambang Sugianto. Ia memaparkan profesionalisme petugas dalam penanganan ekstremisme berbasis kekerasan.

“Profesionalisme petugas bisa memengaruhi keberhasilan rehabilitasi pelaku ekstremisme dengan cara mampu menangani secara adil, manusiawi, dan setara, berintegritas, kolaboratif dan empatik, sensitif terhadap nilai, keyakinan, dan latar belakang orang lain, panutan yang positif, berinteraksi dengan orang lain sebagai pribadi, bukan secara politik atau akademik, mampu memberdayakan orang untuk melihat kembali keterlibatan mereka dan memfasilitasi perubahan melalui sikap-sikap sederhana, serta percaya diri dan kompeten untuk mendiskusikan dan menantang perilaku yang tidak baik,” jelasnya.

Tak lupa, ia mengingatkan bahwa penanganan napiter harus mengkolaborasikan antara pengamanan fisik, pengamanan produral, dan yang tak kalah penting adalah penanganan dinamis. “Penanganan napiter di Lapas Cipinang belum tentu sama dengan penanganan di Lapas Porong. Hal ini yang dinamakan penanganan dinamis,” tambah Bambang.

Usai penyampaian seluruh materi, Subkoordinator Kerja Sama Luar Negeri Ditjenpas, Deddy Eduar Eka Saputra, kembali mamaparkan gambaran umum terkait pelatihan penanganan terorisme. Nantinya juga akan ada monitoring dan evaluasi (monev) di mana petugas yang dilatih harus menyusun Rencana Tindak Lanjut (RTL) penanganan ekstremisme berbasis kekerasan.

“RTL yang dibuat harus sesuai persetujuan pimpinan karena sebelumnya kami kerap melakukan monev, namun terkadang RTL bersifat pribadi atau tidak diketahui pimpinan,” ucapnya.

Menyikapi pelaksanaan sosialisasi hari ini, David Dews dari GCCS berterima kasih kepada para pemateri. Ia senang serta berharap masukan dan input dari para peserta dalam peningkatan kapasitas petugas dalam penanganan napiter. Sejumlah input dari peserta adalah pelatihan bagi wali napiter perempuan, pelatihan pembuatan Litmas, pentingnya awareness dari jajaran struktural dalam implementasi SE penanganan terorisme, dan praktik profiling napiter.

Atas masukan yang disampaikan, Koordinator Pembinaan Kepribadian, Herastini, menyetujui pentingnya pelatihan terkait teknik komunikasi, pelatihan asesor, dan pentingnya mendengar apa yang menjadi permasalahan napiter perempuan. Untuk itu, ia menyarankan pentingnya pelatihan teknik mendengar sehingga ada kepercayaan napiter terhadap wali atas masalah yang tengah dihadapi. (IR/afn)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0