Keadilan Restoratif: Barang Lama, Kemasan Berbeda (Mengupas Pemikiran Priyadi)

Keadilan Restoratif: Barang Lama, Kemasan Berbeda (Mengupas Pemikiran Priyadi)

Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, baik yang bersifat lisan maupun tulisan. Tanpa Bahasa, tidak akan terjadi komunikasi dan transformasi pengetahuan sehingga manusia dapat berada dalam keterbelakangan. Dalam sebuah komunikasi, bahasa menjadi perangkat sentral untuk menyampaikan pesan dan memahami maksud dari pesan yang disampaikan. Adpaun dalam konteks ilmu pengetahuan, bahasa menjadi sarana ilmiah dalam berpikir demi menghasilkan suatu kesimpulan logis.

Perkembangan bahasa bersifat diakronik dan mencapai puncak pada masa logosentris, suatu masa yang meletakkan bahasa sebagai pusat wacana filsafat. Distribusi pengetahuan menyangkut analisis wacana atau istilah-istilah yang berkembang, khususunya pada masa antroposentris. Melalui perangkat hermeneutik, generasi logosentris membongkar sistem makna yang tersembunyi di balik kata. Setiap teks berusaha didekonstruksi dengan menggunakan trikotomi relasi, yaitu kuasa, pengetahuan, dan juga kepentingan.

Tafsir keadilan adalah satu dari sekian jenis objek kajian kurikulum logosentris. Sebagaimana mengolah makna ideologi yang diusung Antoine Destutt de Tracy, makna keadilan sedapat mungkin dijaga otentitisitasnya agar tidak disalahgunakan pihak yang memiliki kuasa. Kajian terkini adalah mengolah makna dan mengkaji substansi dari frasa keadilan restoratif, suatu istilah yang melingkupi pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Kontemporer.

 

Asal Mula Istilah

James Dignan dalam karyanya Understanding Victims and Restorative Justice (2005) mengungkapkan istilah keadilan restoratif berawal ketika Albert Eglash (1977) berupaya membedakan tiga bentuk peradilan pidana, yakni retributive justice, distributive justice, dan restorative justice. Menurut Eglash, sasaran keadilan retributif adalah penghukuman terhadap pelaku atas kejahatan yang dilakukan. Adapun sasaran keadilan distributif adalah rehabilitasi para pelaku kejahatan. Sementara itu, keadilan restoratif merupakan prinsip restitusi dengan melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelaku.

Kerangka historis keadilan restoratif dilatarbelakangi ketidakpuasan atas implementasi sistem peradilan pidana pada pertengahan tahun 1970 yang bersifat retributive karena dianggap kurang memberi manfaat terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Beberapa kelompok aktivis sistem peradilan pidana yang tersebar di Amerika Utara dan Eropa kemudian berupaya mengadakan gerakan reformasi sistem pemidanaan secara terorganisasi. Hingga tahun 1974, terinisiasi Victim-Offender Reconciliation Program (VORP) di Ontario, Kanada, yang diindikasi sebagai gerakan awal konsep keadilan restoratif. Program yang semula ditujukan kepada pelaku tindak pidana Anak dalam bentuk ganti kerugian kepada korban ternyata memperoleh tingkat kepuasan yang cukup tinggi dari korban, pelaku, maupun masyarakat. Prestasi ini mendorong lahirnya program serupa di kawasan Eropa dan Amerika Utara.

Seiring berjalannya waktu, derivasi dari konsep keadilan restoratif berkembang menjadi beberapa jenis pendekatan. Dalam buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (2014) karya Eddy O.S. Hiariej setidaknya tercatat lima pola implementasi sistem peradilan pidana yang diklaim berpedoman pada keadilan restoratif. Pendekatan pertama, court-based restitutive and reparative measures. Konsep ini diusung para pendukung “civilization thesis” di Inggris melalui tuntutan ganti kerugian oleh pelaku sebagai bentuk reparasi terhadap korban.

Pendekatan kedua, victim-offender mediation programmes. Pendekatan yang dipengaruhi Gerakan Christian Mennonite (Christian Mennonite Movement) menitikberatkan nilai rekonsiliasi antara korban dan pelaku.

Pendekatan ketiga, restorative conferencing initiatives. Pendekatan yang menekankan konferensi sebagai sarana penyelesaian pidana yang terdiri dari dua model, yakni family group conference dan police-led community conferencing.

Pendekatan keempat, community reparation boards and citizens panel. Pendekatan ini menggunakan mekanisme panel antara warga dan dewan masyarakat dalam penyelesaian tindak pidana sebagaimana konsep children hearing system di Skotlandia.

Pendekatan kelima, healing and sentencing circles. Pendekatan yang popular bagi warga asli Kanada ini mengikutsertakan para pihak yang umumnya terlibat dalam pengadilan tradisional ke dalam ruang persidangan konvensional.

 

Selayang Pandang Pemikiran Priyadi

Dari pelbagai substansi keadilan restoratif yang telah diuraikan, setidaknya terdapat dua asumsi atau prinsip dasar dari konsep keadilan terkait, yaitu keterlibatan dan pemulihan. Keterlibatan berkaitan dari segi proses dan pemulihan berkaitan dari segi nilai. Priyadi yang merupakan mantan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Selatan mengungkapkan kedua nilai dasar dari konsep keadilan restoratif bukanlah barang langka dalam dinamika sistem pemidanaan di Indonesia.

Dalam kegiatan yang diselenggarakan Forum Restorative Justice Kota Makassar 27 Agustus 2019, Priyadi mengawali sambutannya dengan menguraikan relasi antara keadilan restoratif dengan Pemasyarakatan. Menurut beliau, konsep Pemasyarakatan sebagai metodologi di bidang Treatment of Offenders telah selaras dengan sasaran dari konsep keadilan restoratif. Dari perspektif pemulihan dapat dikaitkan dengan beberapa prinsip-prinsip Pemasyarakatan, seperti memberikan pengayoman kepada narapidana sebagai bekal hidup menjadi warga yang baik dan berguna serta penafsiran tobat yang tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, tapi melalui pembimbingan.

Sedangkan dari perspektif keterlibatan, merujuk pada pemaknaan Sistem Pemasyarakatan sebagai wujud integrasi antara tiga unsur, yaitu narapidana, petugas, dan masyarakat. Oleh karena itu, ketika Sahardjo telah menginisiasi Pemasyarakatan sejak tahun 1963 hingga diresmikan pada Konferensi Lembang tahun 1964, keadilan restoratif sebenarnya telah eksis di Indonesia. Maka, dapat dikatakan keadilan restoratif adalah barang lama dengan kemasan yang berbeda.

Dan Sabtu 16 Januari 2021, sang pencetus kalimat telah berpulang. Institusi Pengayoman merasa cukup kehilangan salah satu abdi terbaik Pemasyarakatan. Abdi yang mampu menyeimbangan teori dan praktik secara ideal. Tiap langkah memiliki dasar dan tiap ucapan berpangkal referensi. Muaranya adalah segudang kontribusi sebagaimana terlibat vital dalam produksi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, semata-mata demi pemulihan pelbagai soal penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum. Selamat jalan komandan. Terima kasih telah terlibat dan terima kasih telah memulihkan.

 

 

 

Kontributor: Moch. Fauzan Zarkasi (PK Bapas Makassar)

What's Your Reaction?

like
5
dislike
2
love
9
funny
1
angry
0
sad
4
wow
0