Kesadaran Kolektif dalam Penerapan Restorative Justice

Kesadaran Kolektif dalam Penerapan Restorative Justice

Keadilan Restoratif (Restorative Justice) adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Restorative Justice saat ini sudah berlaku bagi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) lewat proses Diversi dan Restorative Justice bagi pelaku dewasa masih dalam penyusunan draf aturannya. 

Perlu kita tahu bahwa pertimbangan sosiologis dan yuridis menjadi andil dalam perubahan regulasi aturan bagi ABH. Undang-Undang RI No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) lahir sebagai jawaban dengan menitikberatkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, serta lembaga yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan dan memberikan perlindungan khusus kepada Anak. Restorative Justice bagi Anak saat ini pun masih belum optimal. Dibutuhkan persiapan hingga pengawasan ekstra. 

Menurut penulis, ada beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penerapan Restorative Justice. Pertama, belum adanya koordinasi dan kerja sama antar lembaga untuk bisa menampung Anak ketika Restorative Justice melalui proses Diversi telah berhasil melahirkan kesepakatan.  Dengan tidak adanya koordinasi dan kerja sama antar lembaga pendidikan atau pelatihan akan mengurangi alternatif pilihan kesepakatan Diversi sesuai pasal 11 UU SPPA sehingga para pihak yang berperkara akan menempuh jalur persidangan yang berakibat Anak dapat masuk ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Lembaga pendidikan dan pelatihan harus memiliki petugas yang kompeten dan memiliki program pembinaan untuk dapat memberikan pelayanan yang terarah dan terukur bagi Anak.

Kedua, Aparat Penegak Hukum (APH) harus mengerti dan sepaham tentang penerapan Restorative Justice. Seyogyanya, yang harus menangani perkara Anak adalah APH yang telah mengkuti pelatihan khusus terkait penanganan ABH dan bersertifikat. Namun, nyatanya banyak APH, baik penyidik, jaksa penuntut umum, dan hakim tidak memiliki pengetahuan mendasar terkait penanganan ABH sehingga sering terjadi tumpang tindih tugas, adanya ego sektoral dari masing-masing APH, dan pelaksanaan pelaporan yang tidak sesuai aturan.

Ketiga, regulasi penempatan APH yang telah mengikuti pelatihan khusus penanganan ABH tidak sesuai kebutuhan pemenuhan pelaksanaan SPPA sehingga terjadi kekosongan keahlian bagi APH dalam menangani ABH.

Keempat, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan keluarga tidak mengerti tentang Restorative Justice. Ketika UU SPPA dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi diundangkan, maka pemerintah berkewajiban untuk menyosialisasikan aturan ini kepada masyarakat. Keberhasilan Restorative Justice bukan bertumpu pada APH semata, tapi masyarakat, dalam hal ini tokoh agama, keluarga, dan tokoh masyarakat juga bertanggung jawab dalam pengulangan tindak pidana Anak dan pemulihannya.

Menurt penulis, harus ada kesadaran kolektif dalam pelaksanaan Restorative Justice. Polisi, jaksa, hakim, pekerja sosial, Pembimbing Kemasyarakatan, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, mempuyai andil yang tidak bisa disepelekan serta harus sepahaman dalam penanganan Anak. Keberhasilan bertumpu pada proses dan akhir (pembinaan) yang tepat sasaran bagi Anak. Ketika Anak kembali melakukan pengulangan tindak pidana, bisa dikatakan kita gagal menjalankan peran kita masing-masing. 

Bagaimana dengan Restorative Justice bagi dewasa? Apakah sebagai momentum pembaruan hukum pidana semata? Ini adalah pertanyaan besar para pemangku kebijakan untuk membuat aturan yang dapat menyinergikan berbagai pihak yang bertanggung jawab dalam penanganan perkara dewasa.

 

Penulis: Milza Titaley (PK Muda Bapas Ambon)

 

What's Your Reaction?

like
3
dislike
1
love
2
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0