Optimalisasi Peran Bapas dan Pokmas Lipas pada Residivisme
Indonesia merupakan negara hukum (reschtstaat) yang memiliki dasar negara Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan hukum dalam pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia. Dalam UUD 1945 dijelaskan hal-hal mengenai warga negara diatur oleh undang-undang. Tentunya sosial masyarakat yang merupakan aspek di dalam warga negara tersebut harus sesuai aturan undang-undang. Pada perkembangan zaman modern saat ini, segala sesuatu kegiatan masyarakat di Indonesia telah ditetapkan pada suatu norma hukum yang artinya warga negara tidak boleh sesuka hati melakukan perilaku terhadap masyarakat lainnya, apalagi dalam hal perilaku yang tidak baik, seperti kriminalitas. Menurut Rahardjo (2000) hukum merumuskan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan dalam bentuk yang umum sehingga dengan satu nira bisa mencakup banyak perbuatan di dalamnya.
Jika melihat pada perkembangan hukum di Indonesia, masih banyak terdapat perilaku melanggar norma hukum atau kriminalitas yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat. Menurut Kartini Kartono, semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas keluarga, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan hukum formal merupakan Patologi Sosial. Aspek inilah yang mampu melahirkan atau menimbulkan individu maupun kelompok yang melakukan tindak pidana baru atau mengulangi tindak pidana (residivis).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) residivis juga diartikan sebagai orang yang pernah dihukum mengulangi tindak kejahatan yang serupa atau biasa disebut penjahat kambuhan. Kelompok atau individu residivis digerakkan oleh faktor internal yang meliputi kontrol diri lemah, rasa kegatihan melakukan tindak pidana, kebiasaan diri, niat terhadap kriminalitas, keahlian dalam menjalankan kriminalitas, dan gaya hidup, sementara faktor eksternal meliputi kondisi lingkungan, pengaruh orang lain, dan ekonomi minim.
Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) tahun 2020 sebanyak 18,12% dari 268.001 narapidana merupakan residivis. Hingga di awal tahun 2021, angka residivisme secara umum antara 14-45%. Hal ini masih menjadi perhatian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia, khususnya Ditjenpas Pemasyarakatan, dalam berupaya menurunkan angka residivis dengan meningkatkan peran dan fungsi bagi Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan di Indonesia. Selain program pembinaan narapidana yang harus ditingkatkan di Lembaga Pemasyarakatan, peran Balai Pemasyarakatan atau biasa disebut Bapas juga tidak kalah penting dalam mengurangi angka residivisme di Indonesia melalui bimbingan dan pengawasan bagi Warga Binaan Pemasyarakat (WBP) yang menjalani program reintegrasi dan bimbingan di Bapas.
Pada Pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan pranata untuk melakukan bimbingan Klien Pemasyarakatan dilaksanakan oleh Bapas. Dalam Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) melaksanakan bimbingan Klien dan dititikberatkan kepada reintegrasi dengan masyarakat. PK merupakan fungsional penegak hukum yang melakukan pengawasan, pembimbingan, Penelitian Kemasyarakatan (Litmas), dan pendampingam Anak pada proses peradilan pidana sesuai Pasal 1 Angka 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 sehingga dalam menghadapi masalah pengulangan tindak pidana atau residivisme diperlukan optimalisasi peran Bapas melalui bimbingan dan pengawasan reintegrasi.
Pada Year’s Book of Education 1995 menyebutkan bimbingan adalah proses untuk membantu individu dengan usahanya sendiri dalam menemukan dan mengembangkan kemampuan agar memperoleh kebahagian pribadi dan kemanfaatan sosial (Amin, 2010). Dalam kegiatan bimbingan harus dilakukan tindakan, usaha, dan kegiatan yang memperoleh hasil lebih baik dengan cara menaikan kualitas ketaqwaan, meningkatkan intelektual, perilaku, dan kesehatan jasmani serta rohani Klien Pemasyarakatan. Kegiatan bimbingan di Bapas yang dilakukan oleh PK melalui rekomendasi Litmas harus didukung pula oleh kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan ini bersifat korektif dengan tujuan tercapainya pelaksanaan bimbingan Klien Pemasyarakatan dan terpenuhinya aspek-aspek kebutuhan kehidupan, hidup, dan penghidupan bagi Klien Pemasyarakatan.
Dalam melaksanakan kegiatan bimbingan terhadap Klien Pemasyarakatan, PK harus memperhatikan beberapa aspek, yaitu prinsip penerimaan, komunikasi, individualisme, partisipasi, kerahasiaan, kesadaran diri. PK tidak boleh bersikap menghakimi dan harus rasionalitas. Empati dan ketulusan juga harus diterapkan dalam kegiatan tersebut agar Klien Pemasyarakatan mampu menerima kehadiran PK sebagai pendamping Klien Pemasyarakatan untuk memberikan solusi pada masalah hidupnya. Metode yang dilakukan pun berupa bimbingan secara individual dengan tatap muka sehingga Klien Pemasyarakatan pun memiliki rasa percaya terhadap PK. Bimbingan secara kelompok dengan melakukan pembahasan topik masalah yang dihadapi pada kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok sehingga Klien Pemasyarakatan dapat mengembangkan potensi diri dan memperoleh manfaat terhadap dirinya. Kegiatan ini pun dapat melibatkan kelompok atau organisasi dari masyarakat yang memiliki kompetensi dan bidang keahlian masing-masing. Adanya keterlibatan peran masyarakat ini pun tertuang dalam paradigma Keadilan Restorative (Restorative Justice). Penerapan Restorative Justice dalam Pemasyarakatan ditunjukkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Kemenkumham Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor: PAS-06.OT.02.02 tanggal 10 Februari 2020 tentang Pedoman Pembentukan Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (Pokmas Lipas). Program Kerja Kelompok Pemasyarakatan merupakan kegiatan pemberdayaan yang dilaksanakan oleh Pokmas Lipas dengan Bapas dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Klien Pemasyarakatan dalam mewujudkan reintegrasi sosial yang sehat. Pada tanggal 2 Juni 2021, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Reynhard Silitonga, dalam sambutan pada pembukaan Rapat Kerja Pengembangan Pokmas Lipas mengatakan masyarakat memiliki peran yang penting dalam pembinaan dalam institusi Pemasyarakatan, terutama bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang sedang menjalani reintegrasi sosial. Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Liberty Sitinjak, menyampaikan tujuan dilaksanakan kegiatan tersebut adalah meningkatkan pemberdayaan peran Pokmas Lipas dalam mendukung pelaksanaan Restorative Justice dalam Pembangunan Hukum Indonesia demi memperkuat stabilitas POLHUKHANKAM dan transformasi pelayanan publik. Dalam kegiatan tersebut dihadiri 89 Bapas seluruh Indonesia, perwakilan 55 pemerintah kota/kabupaten, dan 96 Pokmas Lipas.
Pokmas Lipas terbentuk dari sinergi yang terdiri dari pemerintah, WBP, masyarakat, pihak swasta, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Sinergi antara Bapas dengan Pokmas Lipas didasari oleh kualifikasi standar-standar yang telah ditetapkan oleh surat keputusan tersebut di mana Pokmas Lipas dapat dilakukan pada tahapan proses peradilan pidana, yaitu tahap Pra Adjudikasi, Adjudikasi, dan Post Adjudikasi. Dalam upaya menurunkan tingkat Residivisme pada Klien Pemasyarakatan, semua tahapan tersebut sangat penting untuk dilaksanakan oleh Bapas maupun Pokmas Lipas. Namun, akhir-akhir ini masih terlihat bentuk tindak pidana pengulangan yang dilakukan oleh Klien Pemasyarakatan di lingkungan sosial masyarakat.
Beredar video sekelompok eks narapidana yang masih menjalani program reintegrasi sosial dengan melakukan konsumsi minuman beralkohol yang dikutip dari radarcirebon.com. Menurut Ketua Gerakan Masyarakatan Peduli TNI-Polri, Zido Riskys, aksi eks narapidana tersebut yang mabuk-mabukan terekam oleh kamera tersebut jelas bukan perbuatan yang layak ditiru dan tentu saja meresahkan masyarakat karena eks narapidana sedang dalam masa Cuti Bersyarat dan bukan bebas murni. Jelas terlihat bahwa peran Bapas dan Pokmas Lipas dalam hal ini perlu dioptimalisasi sesuai peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bapas dan Pokmas Lipas harus terus melakukan kolaborasi dalam melakukan mekanisme agar tercapai Sistem Pemasyarakatan pada reintegrasi sosial yang sehat.
PK dalam melakukan Litmas pada WBP di Lembaga Pemasyarakatan harus melaksanakan tugas secara spesifik dan teliti agar data hasil wawancara kepada WBP adalah benar secara nyata dan tidak ada manipulasi hasil laporan. PK pun harus menggali informasi seputar kepribadian WBP tersebut dengan menggunakan instrumen asesmen RRI dan Kriminogenik guna mengetahui tingkat risiko pengulangan dan kebutuhan WBP dalam melaksanakan reintegrasi sosial. Dari hasil Litmas dan asesmen tersebut dirapatkan dan dibahas dalam Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan untuk mendapatkan solusi dan hasil yang tepat sasaran bagi WBP. Jika memenuhi syarat dan mendapatkan rekomendasi untuk melaksanakan reintegrasi sosial di lingkungan masyarakat, PK harus menjalankan tugas berupa bimbingan di Bapas. Hal ini dilakukan agar membentuk WBP menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana.
Oleh karena itu, Bapas dan Pokmas Lipas harus berkolaborasi dalam pelaksanaan program kerja Pemasyarakatan dengan memperhatikan sejauh mana program tersebut dilaksanakan sesuai perencanaan program kerja Pemasyarakatan, faktor-faktor hambatan dalam pelaksanaan program, faktor-faktor pendukung tercapainya tujuan program, solusi atas hambatan dalam pelaksanaan program, dan peluang-peluang bentuk program kerja di masa yang akan datang. Kemudian, Bapas melalui PK harus selalu mengawasi jalannya program kerja Pemasyarakatan agar mampu melihat dan menganalisa pada manfaat dan pencapaian terhadap program kerja Pemasyarakatan tersebut.
Dari hasil analisis tersebut, kemudian dilakukan monitoring evaluasi terhadap pelaksanaan program kerja Pemasyarakatan guna tercapainya tujuan Sistem Pemasyarakatan. Apabila tujuan Sistem Pemasyarakatan melalui program kerja Pemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Bapas dan Pokmas Lipas tepat sasaran sesuai kebutuhan Klien Pemasyarakatan dan memiliki capaian hasil yang maksimal, maka hal ini dapat mengurangi tingkat residivisme bagi WBP di lingkungan sosial masyarakat.
Penulis: Bambang EP (PK Bapas Kelas II Sorong)