Optimalisasi Peran PK dalam Menanggulangi Residivisme pada Anak

Optimalisasi Peran PK dalam Menanggulangi Residivisme pada Anak

Adanya generasi muda merupakan sebuah eksistensi besar bagi negara. Generasi muda adalah aktor kunci atau role mode dalam sebagian besar proses perubahan ekonomi dan sosial. Namun, problematika yang dihadapi saat ini adalah banyak muncul kejahatan-kejahatan kasus kenakalan remaja yang dilakukan mantan narapidana Anak atau residivis Anak. Hal ini terjadi ketika mantan narapidana Anak tidak merasa siap dalam berintegrasi kembali di masyarakat.

Residivis narapidana Anak adalah benar adanya, seperti dikemukakan Marlina dalam bukunya yang berjudul Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi, dan Restorative Justice (2009) bahwa kembalinya seorang mantan narapidana Anak ke Lembaga Pemasyarakatan Anak atau dapat disebut sebagai residivis merupakan salah satu dampak dari adanya ketidaksiapan dalam diri mantan narapidana Anak sehingga mengulangi tindak kejahatan serupa sebagai penjahat kambuhan di masyarakat.

Gultom dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Anak Pidana di Indonesia (2008) berpendapat bahwa menangani permasalahan mantan narapidana Anak diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran publik bahwa perhatian terhadap Anak dan mempersiapkan Anak kembali ke masyarakat adalah satu bentuk pelayanan sosial yang paling penting. Oleh karena itu, perlu diambil langkah-langkah tertentu untuk membuka hubungan antara Anak dan masyarakat. Sosialisasi bagi mantan narapidana Anak dapat dikatakan sebagai sebuah proses adaptasi diri kembali dalam kehidupan bermasyarakat. Kebutuhan akan proses sosialisasi seorang remaja dalam upaya pemenuhan kebutuhan juga dipengaruhi keadaan sosial, terlebih apabila lingkungan keluarga dan masyarakat sudah tidak bisa menerima keadaan dirinya kembali seperti sebelumnya.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) merupakan undang-undang hukum acara pidana yang khusus mengatur bagaimana beracara dalam perkara pidana yang dilakukan Anak. Terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) yang diterangkan dalam Pasal 1 angka 3 UU SPPA, yakni Anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Adanya UU SPPA bertujuan dapat terwujudnya peradilan yang sepenuhnya menjamin perlindungan kepentingan terbaik bagi ABH sebagai aset bangsa. Di dalam SPPA, terdapat suatu lembaga, yakni Balai Pemasyarakatan (Bapas), yang didalamnya terdapat Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang memiliki peran sangat penting dalam melakukan penelitian terhadap ABH.

Dalam UU SPPA Pasal 1, PK adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas), pembimbingan, pengawasan, serta pendampingan di dalam dan di luar proses peradilan. PK memiliki peran sangat penting dalam mengoptimalkan reintegrasi agar tidak terjadi pengulangan tindak pidana. Peran-peran yang harus dimiliki PK, yakni menyediakan pelayanan sosial di mana PK bekerja sama dengan instansi lain, seperti Badan Narkotika Nasional, menjadi wadah sebagai konsultan atau konselor dalam penyelesaian masalah Klien dengan tepat.

Dalam Pasal 65 UU SPPA disebutkan PK bertugas untuk membuat hasil Litmas, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan melakukan pengawasan terhadap Anak, membuat laporan hasil Litmas untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, persidangan perkara Anak, menentukan program perawatan Anak dalam proses pembinaan, melakukan pendampingan, pembimbingan dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan keputusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan, serta melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

Dalam mengoptimalkan peran PK agar tidak terjadi residivisme pada Anak, dibutuhkan tekad dan prinsip dalam pelaksanaanya agar dapat berjalan secara sistematis dan terpadu. Adapun prinsip-prinsip dalam bimbingan menurut Santoso Darwis dalam jurnal yang berjudul Peran PK dalam Penanganan ABH di Bapas” (2017, yakni bimbingan itu harus berhubungan dengan sikap dan perilaku Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Jadi, dari beberapa kasus yang dialami Klien diperlukan bimbingan yang tepat menggunakan asas keterbukaan guna penentuan bimbingan agar masalah yang dihadapi dapat dipecahkan.

Selanjutnya, bimbingan yang diberikan harus dapat menuntun dirinya dalam menghadapi permasalahan hidup seoptimal mungkin. Jika permasalahan Klien tidak dapat diselesaikan, perlu adanya kerja sama dengan ahli lain atau lembaga lain yang lebih berkompeten dalam menangani permasalahan tersebut. Perlu adanya upaya pendahuluan pengidentifikasian masalah WBP untuk mempermudah dalam melakukan pengarahan agar sesuai dan tepat sasaran. Pembimbing harus memiliki kualifikasi kepribadian, pendidikan, pengalaman, kematangan, dan kemampuan yang diharapkan. Pembimbing harus patuh pada kode etik pembimbingan, khususnya dalam menangani kasus Anak.

Dalam proses Peradilan Pidana Anak, adanya laporan Litmas merupakan bagian terpenting. Litmas atau case study merupakan salah satu metode pendekatan dalam rangka pembinaan si pelanggar hukum serta membantu hakim sebagai pembuat keputusan yang tepat dan seadil-adilnya. Dengan demikian, Litmas harus dapat gambaran kehidupan Klien saat sebelum terjadi kejahatan di masa lalu maupun setelah menjadi Klien Pemasyarakatan.

Dalam upaya pencegahan Anak mengulangi tindak pidana, maka harus difokuskan pada tiga hal utama, yakni pembinaan diri sendiri, perubahan yang dilakukan oleh Anak harus berdasarkan kemauan, dan keinginan diri sendiri, tetapi perubahan tersebut harus mengarah kepada perubahan yang positif. Ke depannya, Anak diharapkan memiliki kemauan, percaya diri, berani mengambil keputusan, dan berani bertanggung jawab atas resiko yang diambil.

Pembinaan keluarga merupakan elemen primer bagi Anak. Hubungan keluarga yang baik dan harmonis dapat mengurangi jumlah kenakalan remaja. Kunjungan dari keluarga merupakan sebuah upaya untuk mencegah adanya kasus residivis atau pengulangan tindak pidana Anak. Pembinaan masyarakat tujuannya memberikan pengertian kepada Anak agar menyadari kesalahan, memperbaiki sikap, dan tidak mengulangi kejahatan sehingga diharapkan diterima kembali di masyarakat

Menyandang status sebagai mantan narapidana Anak memberikan dampak terhadap aksesibilitas pemenuhan hak dan kebutuhan dirinya sebagai seorang remaja. Terlebih, bila hal ini tidak didukung dengan kemampuan dirinya untuk mengaplikasikan apa yang dipelajari selama proses pembinaan. S

alah satu yang perlu diperhatikan adalah keberlanjutan pendidikan formal. Kesetaraan mendapatkan pendidikan bagi Anak di seluruh dunia menjadi fokus perhatian. Pada Konferensi UNESCO 2014, Shimomura, Minister of Education Culture, Sports, Science, and Technology Japan mengemukakan pendidikan merupakan rangkaian aktivitas untuk membangun masa depan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan dalam meningkatkan kesejahteraan individu dan masyarakat atas dasar nilai dan norma yang berlaku. Mantan narapidana Anak merupakan salah satu bagian masyarakat yang terhambat aksesibilitas hak dan kebutuhannya. Bila ditinjau, maka pendidikan formal maupun nonformal dapat memberikan dampak yang sangat positif sebagai salah satu bentuk usaha preventif dalam menangani mantan narapidana Anak dari kemungkinan adanya kasus residivis.

Dukungan keluarga, lingkungan, dan masyarakat akan menjadi hal besar yang mempengaruhi kehidupan mantan narapidana Anak ke depannya. Bahwa, walaupun ada pembinaan dan pengawasan, namun belum menjamin efektivitas pengurangan jumlah residivis jika unsur unsur di atas belum terpenuhi.

 

Penulis: Chaerul Amri (PK Bapas Baubau)

What's Your Reaction?

like
1
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0