Overcrowded pada Lapas, Korban dari Positivisme Hukum

Overcrowded pada Lapas, Korban dari Positivisme Hukum

Zaman yang dipaksakan, begitulah penulis menyebut realitas zaman sekarang. Berawal dari sebuah postulat dasar yang diletakan oleh Rene Descartes, yaitu cogito ergo sum yang memiliki makna aku berpikir, maka aku ada, bersamaan dengan itu pula pandangan terhadap fenomena yang terjadi harus serba terukur secara mekanistik dan deterministik. Pandangan itulah yang menjadi cikal bakal positivisme hukum di mana pandangannya menganalogikan dunia layaknya mesin yang bekerja secara mekanik dan serba ditentukan. Oleh sebab itulah dunia ini menjadi serba dipaksakan dan dimanfaatkan.

Selamam 3,5 abad lamanya negara kita dijajah oleh Belanda hingga akhirnya dapat merdeka di tahun 1945. Namun, warisan-warisan Belanda masih belum bisa kita lepaskan. Selain beberapa bahasa yang telah diserap menjadi bahasa Indonesia, yang paling terasa adalah sistem hukum yang berlaku di negara kita tidak bisa dipungkiri dipengaruhi oleh negara penjajahnya.

Saat ini Indonesia masih menggunakan hukum peninggalan kolonial Belanda, khususnya pada hukum pidana, yaitu Civil Law yang mempunyai karakteristik adanya sistem kodifikasi, hakim menjadikan undang-undang sebagai rujukan hukumnya yang utama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitoral. Begitu banyak hal yang sebenarnya sudah tidak relevan untuk terus digunakan. Masyarakat sendiri senantiasa bergerak. Oleh sebab itu, ada sebuah kontradiksi didalam konsep hukum negara kita di mana hukum yang memiliki sistem layaknya mesin tetapi mengatur dan berusaha mengubah pola masyarakat yang pada hakikatnya bersifat dinamis. Hal ini menyebabkan sebuah keadaan yang dinamakan kekacauan dalam konsep hukum Indonesia.

Sebagai contoh kasus dalam hukum Indonesia di mana ketika tinjauan yuridis lebih dikedepankan tanpa mempertimbangkan tinjauan sosiologis, seperti kasus seorang kakek berusia 68 tahun bernama Samirin di Sumatera Utara divonis hukuman penjara selama 2 bulan 4 hari oleh Pengadilan Simalungun, (Kompas.com-18/01/2020 21:32 WIB). Samirin dihukum akibat terbukti bersalah memungut sisa getah pohon karet di perkebunan milik PT Bridgestone. Ia terbukti mengambil getah seberat 1,9 kilogram yang jika dirupiahkan sekitar Rp 17.000. Getah itu akan ia jual kepada para pengumpul getah agar mendapatkan uang. Namun, belum juga ia meninggalkan area kebun, seorang petugas memergokinya dan membawanya ke pos satpam. Perusahaan pun melaporkan pada kepolisian. Kepada hakim, Samirin mengaku melakukan hal itu karena membutuhkan uang untuk membeli rokok.

Apabila kita hanya melihat dasar yuridis saja, maka apa yang terjadi dalam kasus tersebut tidaklah keliru apabila kakek Samirin harus menempuh proses hukum dikarenakan dalam Pasal 362 KUHP bahwa barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum disebut pencurian.

Alih-alih mengutamakan penegakan hukum demi tercapainya kepastian hukum, di sisi lain menimbulkan sebuah pandangan yang aneh berkaitan sistem hukum yang ada di Indonesia. Begitu kakunya hukum di Indonesia sehingga hanya kepastian hukum saja yang diutamakan, padahal rasa keadilan tentu juga sangat harus diperhatikan dalam menyelesaikan setiap perkara. Hal inilah yang kemudian membentuk sebuah moralitas hukum yang sangat kaku dan rigid seolah tidak ada keluesan yang dimilikinya. Apakah hal ini kita anggap sebagai suatu kemajuan dalam hukum Indonesia? Atau justru malah mencirikan sebuah kemunduran karena ternyata pada hakikatnya hukum kita tidaklah luwes dan bisa menanggulangi permasalahan-permasalahan yang lebih kompleks ke depan padahal masalah yang kompleks tersebut adalah sebuah masalah yang sangat sederhana seperti kasus kakek Sarimin.

Penulis meminjam kata hukum yang “berhati nurani” dalam tulisan Yance Arizona bahwa pada dasarnya paradigma yang harus dibawa hukum adalah sebuah moralitas yang berasal dari sebuah hati nurani yang bersih sehingga akan mengakibatkan hukum yang bersih pula, bukan malah sebaliknya. Hukum dianggap berjalanan seperti mekanisme mesin saja, maka kemudian yang akan terjadi adalah kehidupan yang serba diterministik yang memiliki makna serba terukur dan ditentukan. Seolah tidak ada kreasi lagi yang dimiliki manusia karena semua serba ditentukan oleh sistem yang mengikat layaknya mesin.

Positivisme hukum pun tidak hanya berpengaruh terhadap terciptanya suatu keadilan, namun ia pun berpengaruh terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi sejak dulu hingga saat ini di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan), yaitu overcrowded. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir di seluruh Lapas dan di Indonesia mengalami overkapasitas, contohnya overcrowded Lapas dan Rutan di Riau  mencapau 262% (m.goriau.com,21 Jun 2020 22.14 WIB). Lalu, Lapas Cianjur sudah overcrowded 100% yang di mana seharusnya diisi 355 tahanan, pada kenyataannya hingga hari ini diisi oleh 731 tahanan (TribunCirebon.com 18 Juni 2020 20.58). Apabila kita lihat pada Sistem Database Pemasyarakatan per 30 Juni 2020, jumlah tahanan dan narapidana seluruh Indonesia 230.724, sedangkan kapasitas hanya 132.494. Melihat angka tersebut hampir overcrowded hingga 100%.

Tentu hal ini bukan permasalahan masih kurangnya jumlah Lapas ataupun Rutan yang ada di Indonesia, namun ada yang salah dalam  sistem pemidanaan yang berlaku di negara  kita. Dalam KUHP, pidana penjara masih menjadi pidana pokok. Apabila kita melihat kasus kakek Samirin, seharusnya penegak hukum lebih berani untuk memberikan hukuman lain selain pidana penjara. Apalagi, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Peraturan MA (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 mengenai penyesuaian batasan tiindak pidana ringan dengan jumlah denda dalam KUHP. Jika sebelumnya yang nilainya kurang dari Rp250, kini diubah menjadi Rp2,5 juta.

Dengan adanya Perma ini diharapkan kepolisian dan kejaksaan dapat tertantang untuk melakukan perubahan paradigma dalam melaksanakan penyidikan dan penuntutan. Bahkan, bukan ketidakmungkinan ketika keadilan Restoratif Justice yang saat ini baru diterapkan pada Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berlaku juga untuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa sehingga tidak hanya tindak pidana pencurian saja, namun tindak pidana lain yang dimana masih bisa diselesaikan di luar peradilan dapat dilakukan dan pidana penjara merupakan pilihan terakhir yang diberikan kepada terpidana.

 

Penulis: Albhi Aprilyanto (PK Ahli Pertama Bapas Sintang)

What's Your Reaction?

like
6
dislike
0
love
2
funny
0
angry
2
sad
1
wow
0