Para Kunyuk Bercerita, Ironic Sense of Life

Para Kunyuk Bercerita, Ironic Sense of Life

Ada ironic-tragic sense of life, mereka yang menganggap hidup sebagai ironi dan tragedi, terwakili di penjara, saat memahami dunia di luar sana di tengah corona. Kunyukkunyuk di penjara malah merdeka, orang bebas di luar sana jadi tahanan kota. Perenungan makna 17 agustusan, dunia dalam ketidakpastian, di ambang resesi, namun di penjara, negeri ini maju dan pasti.

Petir menyambar, ronanya menerobos jeruji penjara wanita di Kota Kembang. Kilat meledak. Aku tertegun sebelum sadar, hari belum pagi. Maret 2020, kami yang bermukim di penjara terguncang kepanikan dunia. Corona menyebar dari Wuhan, China.

Aku cuman kunyuk, begitu dunia meremehkan kami, narapidana, bersama bangsa ini terperanjat. Pejabat negara yang baru pulang dari Belanda terinfeksi. Guru besar UGM, wafat karena Corona. Gugus Tugas Corona menyebutkan grafiknya merangkak, Corona merajalela. Corona sampai juga di Indonesia.

Pukul 02.00 dini hari. Aku yang baru menemukan cinta, berharap dikunjung kemarin, malam ini susah tidur. Sejak kemarin, 17 Maret, serentak seluruh penjara di Indonesia hentikan layanan kunjungan. Pupus, harapan seorang kunyuk merajut Cinta. Kutengok Thanaphon gadis Thailand, bersama 12 orang lainnya di kamarku, pulas. Aku termenung.

“Kakak, belum tidur?” Thanaphon menyapaku saat beranjak ke WC. “Iya, baru mendusin. Pengen cepet pagi, mau video call-an di wartel,” kataku lirih.

Kuingat moment bersejarah, 07 Januari lalu. Ketika aku hubungi teman-teman lamaku di luar sana saat lingkungan kerjaku di kegiatan Perempuan Menulis, didera konflik. Usahaku menghempas penat, berhasil.

***

Siang itu, 07 Januari aku menelfon Klana, pewarta sebuah media, teman lama. “Bang Klana, tolong cariin sponsor. Buku kami, tidak ada dana buat nerbitin. Deadlinenya, 17 Agustus kudu terbit,” pintaku. “Oke, kirim dulu contoh naskahnya ke emailku : Kla51man@gmail.com. Awas, penulisannya digabung semua. Tanpa spasi,” kata Bang Klana.

Saat menuliskan huruf demi huruf email itu, aku kaget. ID email ini dulu muncul setiap hari di Yahoo Messenger (YM) ku setiap kali aku login selama 2004-2010.

Kla51man: “Hi”

Bang Klana, tak kusangka naksir aku sejak lama. Meski tiap hari ketemu, tak berani nembak. Setiap pagi aku lihat sapaan offlinenya tak pernah kubalas, karena kupikir ada orang iseng di YM-ku. Aku jomblo yang melejit dalam karir di usia 35an, enam tahun lamanya hunting di perjodohan daring, intens chatting dengan beberapa pria. Kerisihanku membekas pada ID Kla51man. ID YM ini tak pernah available. Selalu offline. Oh, mungkin dia menyapaku saat aku log out. Tapi kok, setiap hari? Selama enam tahun, lagi.

Setelah paham itu Bang Klana, aku kelojotan. Buru-buru minta maaf, dulu aku tak pernah tanggapi dia. Penat penjara mempertemukan cinta senyapku yang hilang.

***

Sejak Maret, aku si kunyuk, kepikiran. Sayang banget, gara-gara Corona Bang Klana tidak bisa kunjung. Aku khawatir engkau di luar sana dan aku di penjara, apakah Corona akan menghabisi kita? Keresahan mendera seorang kunyuk yang telah 8 tahun mendekam di penjara.

Aku mengkhawatirkan juga keluargaku. Semua berisiko sama. Kami yang terpenjara, memang tak bepergian ke mana-mana, tapi tak bisa PSBB (pembatasan sosial berskala besar) alias jaga jarak. Mana bisa? Tidur empet-empetan bak ikan pindang dalam besek, tak ada jarak antar kasur. Kami lebih rentan dari mereka yang di luar sana.

Beruntung, Kalapas bikin gebrakan sejak Maret. Kami diberi ransum baru, jamu kunyit, jahe, batang sereh dan dauh sirih. Kulihat dari endapannya di dasar panci. Selebihnya, ada ramuan herbal lain yang ditambahkan, namun aku tak tahu apa itu.

***

Kubuka diaryku, Mei, 08, 2020, jumlah positif corona di Indonesia 13.112 orang, mati 943 orang. Tapi TV pagi ini menayangkan, 08 Agustus, tembus 121.000 positif, mati 5.593 orang. Aku yang sekamar dengan Thanaphon, orang Thailand, saban hari diskusikan update corona, Indonesia Vs Negeri Pagoda. Obrolan para kunyuk.

“Phon, masih punya catatan Corona ? Coba,Thailand 13 Mei,’’tanyaku.

“ Iya, di Thailand per 13 Mei, 3.017 positif, 56 mati. Trus pagi ini 08 Agustus, 3.345 positif, mati cuman 58,” katanya cadel meski telah 12 tahun mendekam di penjara Indonesia.

Jika kubandingkan Indonesia Vs Thailand, Pertumbuhan Corona Mei-Agustus 2020, Thailand deret hitung, Indonesia deret ukur. Kontras! Kenanganku tentang Thailand, pernah menyisakan pengar, gara-gara tugas dinasku beberapa kali ke sana, 5 tahun sebelum masuk penjara, sebelum jadi kunyuk. Thailand 2008 alami serangan bioterorisme virus HPV (Human Papilloma Virus). Pelakunya, perusahaan farmasi asing, produsen obat kanker generasi baru dan vaksin HPV. Gara-gara itu, Thailand alami outbreak kanker. Pasien kanker membludak. Pemerintah Thailand dapati Virus HPV disebarkan untuk ciptakan pasar obat kanker dan vaksin HPV.

Lalu, pemerintah Thailand menyikapinya, mencabut hak patent perusahaan itu, membela common rights (hak publik,red) menyerahkan resep paten pembuatan obat kanker generasi baru serta vaksin HPV kepada BUMN Farmasi Thailand. Industri obat herbal dibangkitkan dan rakyatnya diedukasi. Di Thailand, obat kedokteran modern direkomendasikan berdampingan dengan obat herbal.

Aku teringat Mr Prosoed, pejabat Kemenkes Thailand yang kutemui 2009 di hall Universitas Nanyang, Jurong-Singapura, di sela seminar kedokteran. Kala itu, aku bolakbalik Bangkok- Jurong (Singapore)-Jakarta bikin studi kelayakan pesanan perusahaan farmasi asing yang akan relokasi pabrik ke Jakarta. Mr Prasoed bilang, perusahaan yang meng-hire-ku, terusir dari Thailand, ketahuan sebarkan virus HPV di area prostitusi, berkedok bagi-bagi kondom gratis. Dalam uji petik yang dilakukan BPOM Thailand, sampel kondomnya terdeteksi berisi virus HPV. Sengaja disebarkan untuk menciptakan pasar penderita kanker. Sebab perusahaan ini memproduksi obat kanker generasi baru, selain juga memproduksi vaksinnya.

“They spread HPV, first, to build the market of cancer medicine.So, those pharmacies shutted down from Thailand last year (2008). But I wonder how come they move to Indonesia?” tanyanya dengan mata terbelalak.

“Why they choose Thailand?” tanyaku balik.

“Oh,Thailand is the largest cheapest tourist destination in the world. From our country, the medicine and vaccine market will be developed all over the world,’’jelasnya sebelum meninggalkanku siang itu, Februari 2009.

Mr Prasoed mengisahkan kiat Thailand survive hadapi serangan bioterorisme HPV, virus penyebab beragam penyakit kanker. Kemenkesnya memajukan industri obat herbal serta mengedukasi rakyatnya. Koleksi herbal Thailand berkhasiat antiviral. Rumah sakit pemerintahnya bahkan menjual dan meresepkannya. Aku jadi mikir sekarang, apakah pemerintah Thailand masih pake kiat yang sama terhadap Corona. Setidaknya Thanaphon, memberiku benang merahnya pagi ini, dalam obrolan para kunyuk. Tradisi mengkonsumsi obat herbal melekat di keseharian masyarakat Thailand, kata Tanaphon menasehatiku.

“Fa Talai Jone atau Andrographis Panniculata, rumah sakit pemerintah Abhaibhubejhr Hospital di kota Prachin Buri, jual dan resepin sebagai obat herbal Corona,’’katanya.

“Andrographis ? Itu sambiloto! Hei...Indonesia punya kok, tanaman ini. Pabrik jamu juga memproduksi kapsulnya,”celetukku.

***

“Sayang, dapet sponsor.....,” Kata Bang Klana saat kutelpon. Pertama kalinya Bang Klana memanggilku “Sayang”. Wow, di moment 17 agustus-an, Program Perempuan Menulis launching buku. Lebih penting lagi, cintaku senyapku bakal jadian.

Ku ingat usahaku mengedukasi Bang Klana dan keluargaku, sejak Maret lalu. Di sela percakapan video call wartel Lapas, kusarankan mereka konsumsi obat herbal untuk pencegahan dan pengobatan Corona. Murah. Semua ada di pasar dan toko jamu. Emponempon, mahkota dewa, kulit manggis, buah merah, sambiloto, dan masih banyak lagi. “Tolong, kalian beli. Murah, kok,”pintaku ke mereka.

Hari ini, 08 Agustus. Lapasku masih bebas Corona. Juga keluargaku dan calon pacarku Bang Klana, kami semua masih hidup. Belum satupun terkena Corona. Ketika media memberitakan seorang profesor penemu obat herbal corona dimejahijaukan, aku si kunyuk terhenyak. Negeri ini harus belajar dari Thailand dan penjara. Lapasku memberi kami jamu, yang dipandang sebelah mata oleh dunia kedokteran negeriku. Ironi. Di penjara, Indonesia maju, pasti di tengah pandemi. Bebas Corona dengan jamu, herbal warisan negeri. Cerita para kunyuk dari balik jeruji. 

 

 

Penulis: Zakiyah (LPP Bandung)

Juara Favorit Lomba Cerpen Piala Menteri Hukum dan HAM RI dalam rangka HUT Ke-75 RI (Kategori Narapidana)

 

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0