Peluang Emas Peningkatan Kualitas Pembinaan terhadap WBP

Peluang Emas Peningkatan Kualitas Pembinaan terhadap WBP

Beberapa pekan lalu, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan sejumlah pasal pada uji materiil  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Tahun 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Putusan yang tertuang pada perkara Nomor: 28 P/HUM/2021 tanggal 28 Oktober 2021 menyebutkan beberapa pasal yang diajukan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan mewajibkan termohon dalam hal ini Presiden Republik Indonesia untuk mencabut pasal-pasal yang dinyatakan bertentangan tersebut.

Pasal-pasal yang bertentangan dengan undang-undang, yakni:

  1. Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan Pasal 34 A ayat (3).

Pada pasal ini dijelaskan tentang syarat tambahan pemberian Remisi bagi narapidana dengan perkara terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kerjahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya harus memenuhi syarat “bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukannya.” Kesedian bekerja sama tersebut dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

  1. Pasal 43A ayat (1) huruf (a) dan Pasal 43 A ayat (3).

Pasal tersebut menjelaskan mengenai syarat tambahan pemberian Pembebasan Bersyarat bagi narapidana yang dipidana dengan perkara terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya harus memenuhi persyaratan “bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukannya.” Kesedian bekerja sama tersebut dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pertimbangan Pencabutan Pasal-Pasal yang Diajukan

Beberapa pertimbangan yang menjadi dasar Majelis Hakim memutuskan pencabutan pasal-pasal yang diujikan, di antaranya:

  1. Bahwa fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar memenjarakan para pelaku agar jera, akan tetapi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice (model hukum yang memperbaiki);
  2. Bahwa narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kekhilafan yang dapat dikenakan pidana sehingga tidak harus diberantas namun yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum;
  3. Bahwa hak mendapatkan Remisi harus diberikan kepada WBP tanpa terkecuali yang artinya berlaku sama bagi semua WBP untuk mendapatkan hak-nya secara sama (equality before the law), kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan;
  4. Bahwa kewenangan untuk memberikan Remisi adalah menjadi otoritas penuh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang dalam tugas pembinaan terhadap WBP-nya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan pembinaan WBP;  
  5. Bahwa Remisi tersebut diberikan kepada WBP yang selama menjalani masa pembinaan telah menunjukkan perilaku yang sesuai dengan tujuan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.

 

Konsekuensi Hukum Putusan MA

Dikabulkannya pencabutan pasal-pasal tersebut memunculkan konsekuensi hukum dalam hierarki peraturan sesuai Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di mana kedudukan UU lebih tinggi dari PP. Oleh karena itu, jika terdapat norma atau pengaturan antara PP dan UU yang mengatur hal yang sama, maka yang harus diambil sebagai acuan adalah ketentuan UU. Hal tersebut juga sesuai dengan asas hukum lex superior derogate legi inferiori (peraturan yang lebih tinggi dapat mengesampingkan peraturan yang lebih rendah).

Pasal 34 A ayat (1) huruf (a), Pasal 34 A ayat (3), Pasal 43 A ayat (1) huruf a dan Pasal 43 A ayat (3) pada PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur mengenai syarat pemberian Remisi dan Pembebasan Bersyarat (PB) dinyatakan tidak berlaku dan kembali pada peraturan sebelumnya, yakni PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak WBP.

Pada peraturan tersebut pemberian Remisi dan PB diatur pada Pasal 34 ayat (3) dan Pasal 43 ayat (4). Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa:

  1. Pasal 34 ayat (3)

Bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya diberikan Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    1. berkelakuan baik; dan
    2. telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.
  1. Pasal 43 ayat (4)

Bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya diberikan Pembebasan Bersyarat oleh Menteri apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    1. telah menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan;
    2. berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana; dan
    3. telah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

 

Kesempatan Meningkatkan Program Pembinaan Pemasyarakatan

Terlepas dari berbagai macam pro dan kontra terkait Putusan MA tentang pencabutan pasal-pasal pada PP Nomor 99 Tahun 2012 dan diberlakukannya kembali PP Nomor 28 Tahun 2006 hal tersebut merupakan sebuah kesempatan emas bagi insan Pemasyarakatan, khususnya petugas Pemasyarakatan untuk dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembinaan kepada WBP. Hal tersebut sesuai dengan salah satu unsur dalam pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa “kewenangan untuk memberikan Remisi adalah menjadi otoritas penuh Lapas yang dalam tugas pembinaan terhadap WBP-nya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain.”

Oleh karena itu, pelaksanaan pembinaan bagi WBP haruslah diperbaiki dan ditingkatkan. Jumlah WBP di hampir setiap Lapas/Rutan yang melebihi kapasitas (overcrowding) dan keterbatasan petugas Pemasyarakatan yang menangani hendaknya dijadikan sebagai tantangan dalam pelaksanaan pembinaan itu sendiri agar ke depannya semangat dan tujuan dari pemidanaan tidak hanya memberikan efek jera kepada pelaku, namun dapat memulihkan hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan bagi setiap WBP-nya.

 

Penulis: Miftahul Farida Rusdan (PK Bapas Kelas I Tangerang)

 

 

 

What's Your Reaction?

like
1
dislike
0
love
1
funny
1
angry
0
sad
0
wow
0