Perampasan Kemerdekaan Tahanan/Narapidana

Perampasan Kemerdekaan Tahanan/Narapidana

Menurut Selo Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto, 2006:22) masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan. Indonesia sebagai negara majemuk terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang memiliki keanekaragaman kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan yang berbeda-beda melahirkan cara pandang yang berbeda tentang kehidupan. Konformitas kelompok harus lebih pekat untuk membuat masyarakat menjadi padu satu sama lainnya. Masyarakat jika dipandang sebagai suatu kelompok harus memiliki anggota kelompok yang mampu menyesuaikan diri terhadap norma-norma yang ada di dalamnya (Riggio, 2009) untuk menciptakan keteraturan dan keseragaman. Namun, faktanya tingkat kepatuhan terhadap norma yang ada pada masing-masing diri individu sebagai anggota masyarakat berbeda-beda. Hal ini bisa menimbulkan kesenjangan dan keresahan pada anggota masyarakat lainnya.

Secara umum, Indonesia terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang diatur dengan undang-undang dan berbagai peraturan yang berlaku. Indonesia sebagai negara hukum menegakkan supremasi hukum demi menegakkan kebenaran dan keadilan. Hukum pidana sebagai bentuk ultimum remidium tidak serta merta menjadi jawaban untuk menuntaskan berbagai tindak kejahatan, seperti korupsi, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, kejahatan terorganisir, serta human trafficking. Meskipun demikian, pemberantasan kriminalitas selalu menjadi topik bahasan yang tidak ada hentinya demi terciptanya kehidupan masyarakat yang aman.

Berbagai alasan mengemuka mengenai tujuan pemidanaan bagi pelanggar aturan, seperti retribusi/pembalasan (Vergelding), internalisasi atau penegasan keberlakuan norma (Norminprenting of-bevestiging), prevensi umum (generale preventie), prevensi khusus (special preventie), pengamanan/menghilangkan ancaman (beveiliging/onschadelijkmaking-incapacitation), Pemasyarakatan kembali (resocialisatie), dan pemulihan derita yang ditimbulkan atau penggantian kerugian yang diakibatkan tindak pidana (herstel van aangedane leed en veroorzaakte schade). Tujuan-tujuan tersebut tidak serta merta berdampingan satu sama lain. Jika dibandingkan, tidak selaras satu sama lain dan bisa bertentangan satu sama lain.

Goffman (1975) menggambarkan sifat penjara adalah totaliter (totale institutie). Fungsi kehidupan manusia berlangsung dalam institusi yang terpisah dari masyarakat dengan tembok sebagai pembatas dengan aturan-aturan ketat. Sudut pandang ini menggambarkan kecilnya peluang terjadinya resosialisasi. Idealnya, resosialisasi narapidana membutuhkan keberlangsungan kontak-kontak sosial, bahkan diperlukan perbaikan dan pengembangan.

Perampasan kemerdekaan adalah hukuman. Meskipun demikian, hak-hak tahanan/narapidana tetap diberikan. Layanan kesehatan bagi tahanan dan narapidana diberikan secara penuh, sebanding dengan yang tersedia di luar penjara. Asas kesebandingan ini menjadi titik balik untuk mengevaluasi rezim pemenjaraan. Di Indonesia, narapidana/tahanan yang dikenakan derita dengan penjara sebagai pidananya dalam praktiknya dijumpai status sosial bisa menentukan penyediaan fasilitas yang lebih baik dan lengkap. Diskriminasi terhadap para pelaku kejahatan hingga kini selalu diawasi dan dicegah dengan adanya pemeriksaan mendadak ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Negara oleh pejabat berwenang.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1999 menyebutkan narapidana/tahanan berhak menjalankan ibadah agama, mendapatkan layanan fisik dan mental (olahraga dan hiburan), menerima pendidikan, perawatan kesehatan, dan makanan layak, mengajukan keluhan, mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti berita, menerima upah atas pekerjaan yang mereka lakukan, menerima kunjungan keluarga/orang tua, pengacara, atau masyarakat, serta mendapatkan Remisi, kesempatan berasimilasi, termasuk Cuti Mengunjungi Keluarga, Cuti Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Pembebasan Bersyarat, dan hak-hak lainnya.

Berdasarkan peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan, klasifikasi Lapas di Indonesia dikaitkan dengan tinggi/rendahnya sistem pengamanan, yaitu Lapas Super Maximum Security, Lapas Maximum Security, Lapas Medium Security, dan Lapas Minimum Security. Keragaman institusi menggambarkan keterkaitan tingkat pengamanan dan sulitnya mengimplementasikan resosialisasi yang berhubungan dengan menjaga kontak sosial dengan dunia luar dan membuatnya bermakna. Tahanan/narapidana yang dihukum pidana tidak menghabiskan masa tahanannya dalam institusi tertutup. Apabila memenuhi syarat, secara bertahap dipindahkan dari institusi setengah terbuka ke institusi sepenuhnnya terbuka (detentiefasering). Lembaga penjara atau yang kini disebut sebagai Lapas mempersiapkan tahanan/narapidana kembali menuju kehidupan bermasyarakat dengan transisi bertahap yang disertai peningkatan kebebasan dan tanggung jawab.

Tahanan/narapidana dapat mengikuti Panitentiair Programma dalam bulan-bulan terakhir masa tahanannya dengan syarat memiliki risiko rendah melarikan diri, risiko residivis rendah, dan bersedia mengikuti proyek kerja tertentu, mengikuti program pelatihan-pendidikan, atau mengikuti program tertentu, seperti rehabilitasi penggunaan alkohol atau narkotika. Institusi bukan lagi menjadi tempat tinggal utama, melainkan rumah tahanan/narapidana itu sendiri dengan pendampingan dan pada saat-saat tertentu diwajibkan melapor.

Efektivitas prevensi khusus dan Pemasyarakatan kembali dilihat dari keberhasilan menekan angka residivis. Wartna (2009) mengungkapkan realita bahwa 70% mantan narapidana dalam periode enam tahun bersentuhan kembali dengan yustisi. Narapidana harus benar-benar dipersiapkan untuk masuk kembali ke kehidupan normal dalam masyarakat sehingga memiliki kehidupan mandiri, tidak bertindak kriminal, dan berpartisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat.

Risiko residivis bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor kriminogen (usia, tempat tinggal, pengangguran, kecanduan/ketergantungan alkohol atau obat-obatan terlarang), cara belajar, dan kemampuan adaptasi (tingkat kecerdasan, orientasi pada diri sendiri atau kelompok). Skala penilaian risiko bertujuan menentukan intervensi yang tepat.

Dorongan mewujudkan masyarakat yang aman terus meningkat, namun ironisnya toleransi masyarakat terhadap gangguan keamanan menurun. Sanksi perampasan kemerdekaan agaknya ditujukan untuk mencegah berkembangnya gangguan keamanan yang tidak diinginkan. Meskipun demikian, tidak ada jaminan bahwa setelah dibebaskan untuk kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat tidak melanggar hukum kembali. Berbagai upaya terus dilakukan dan dikembangkan untuk menangani hal ini. Pada saat penahanan perlu diperhatikan faktor-faktor penyebab perilaku kriminal melalui ragam intervensi dan mempersiapkan tahanan/narapidana kembali ke kehidupan masyarakat dengan bekal sejumlah kemampuan sosial yang baik yang tentu saja hal ini membutuhkan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas para petugas, serta anggaran yang tidak kecil.

 

Penulis: Dwi Ervina Astuti (PK Bapas Tangerang)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0