PP 99 Tahun 2012, Good or Bad Rule?

Sejarah penghukuman di Indonesia ditandai dengan diubahnya filosofi penghukuman yang semula sesuai dengan Enchylopedia of Prison and Punishment, yaitu retribution/pembalasan, penjeraan (detterence), pemenjaraan (incapalitation), dan rehabilitasi (rehabilitation) yang kemudian bermetamorfosis ke arah yang lebih baik, yakni Pemasyarakatan dengan tujuan reintegrasi sosial yang diikrarkan pada tanggal 27 April 1964 pada saat Konferensi Nasional Kepenjaraan di Lembang Bandung dengan di sepakatinya 10 prinsip Pemasyarakatan yang menjadi pedoman pembinaan WBP di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, pemasyarakatan terus berbenah dan terus menjadi induk dalam pembinaan bagi narapidana di seluruh Indonesia dan dengan terus adanya dasar hukum yang kuat dalam penghukuman semisal UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, PP No. 31 tahun 1999 tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 99 tahun 2012 Tentang Syarat Dan Tata Cara

PP 99 Tahun 2012, Good or Bad Rule?
Sejarah penghukuman di Indonesia ditandai dengan diubahnya filosofi penghukuman yang semula sesuai dengan Enchylopedia of Prison and Punishment, yaitu retribution/pembalasan, penjeraan (detterence), pemenjaraan (incapalitation), dan rehabilitasi (rehabilitation) yang kemudian bermetamorfosis ke arah yang lebih baik, yakni Pemasyarakatan dengan tujuan reintegrasi sosial yang diikrarkan pada tanggal 27 April 1964 pada saat Konferensi Nasional Kepenjaraan di Lembang Bandung dengan di sepakatinya 10 prinsip Pemasyarakatan yang menjadi pedoman pembinaan WBP di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, pemasyarakatan terus berbenah dan terus menjadi induk dalam pembinaan bagi narapidana di seluruh Indonesia dan dengan terus adanya dasar hukum yang kuat dalam penghukuman semisal UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, PP No. 31 tahun 1999 tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 99 tahun 2012 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan , dan peraturan lainnya membuat supremasi hukum dari pemasyarakatan dan pemasyarakatan itu sendiri semakin kuat. Namun apakah dengan adanya peraturan yang berkaitan mengenai tata pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang membuat pemasyarakatan semakin kuat secara eksternal, apakah juga akan menimbulkan dampak positif terhadap para WBP didalam Lapas dan Rutan?? Seringkali bahkan acapkali peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah menjadi dasar utama narapidana dalam melakukan tindak kericuhan didalam Lapas maupun Rutan , sebagai contoh PP No.99 tahun 2012, peraturan ini merupakan peraturan yang terus menjadi pertentangan antar berbagai pihak, sebagian pihak beranggapan bahwa peraturan tersebut adalah suatu langkah penegasan hukum  maupun kekuatan dan keseriusan pemerintah dalam melakukan perang melawan narkoba,terorisme dan kejahatan extra oldinary lainnya, namun sebagian pihak terutama mereka para Warga Binaan Pemasyarakatan menganggap hal tersebut adalah “rasional choice” dalam melakukan pemberontakan, kerusuhan bahkan pengendalian narkoba di dalam Lapas. Kenapa saya dapat berkata seperti itu ?? Seperti kita ketahui sendiri bahwa Pada umumnya narapidana yang ditempatkan dalam Lapas memiliki gejala atau karakteristik yang sama dengan penghuni yang lain, yakni mereka mengalami penderitaan-penderitaan sebagai dampak dari hilangnya kemerdekaan yang dirampas, hal ini ditegaskan oleh Gresham M Sykes: Bahwa setiap narapidana akan mengalami lima lost atau lima kehilangan yaitu : Lost of Liberty, Lost of security, Lost of Autority, Lost of sexual, Lost of Good Service ( Has ; 1994 ). Kehilangan itulah yang menjadi dasar dalam pemikiran narapidana didalam Lapas maupun Rutan dalam melakukan tindak kerusuhan atau bahkan pengendalian narkoba di dalam Lapas ditambah lagi dengan adanya peraturan yang lebih memperketat hak-hak mereka didalam lapas yang diatur didalam PP 99 Tahun 2012 membuat pola pikir atau mindset narapidana menjadi sangat buruk. Hal tersebut sebetulnya didasarkan dengan kondisi penghukuman di negara Indonesia yang lebih menekankan hukuman penjara di bandingkan penghukuman lainnya. Pernahkan anda berfikir apakah ada peraturan maupun undang-undang di Indonesia ini yang tidak menitikberatkan terhadap hukuman pemenjaraan? Saya rasa tidak, bahkan  UU No.35 tahun 2009 tentang narkotika yang merupakan menyumbang Warga Binaan Pemasyarakatan terbesar didalam Lapas dan Rutan masih menitikberatkan kepada pemenjaraan. Bahkan yang lebih parah tidak adanya assesment yang kongkret tentang siapa saja yang berhak terjerat dalam peraturan ini, mengapa hal ini sangat penting?, anda dapat bayangkan di Rutan Bandar Lampung tempat saya bertugas ada seorang kakek yang harus di hukum 12 tahun hanya di karenakan dititipkan shabu oleh seseorang, apakah dia termasuk bandar?, korban? Kurir ? atau tergolong dalam apa kakek terbut?, sangat diperlukan assesment yang lebih jelas dan kongkrit bagi hakim dalam menjerat pelaku tindak pidana narkoba. Mungkin dengan megikuti sistem hukum dinegara Belanda yang diubah mulai pada tahun 2000 dimana negara Belanda tersebut lebih berfokus untuk tidak mendakwa kejahatan yang tak menyebabkan korban ke arah rehabilitasi, vonis pendek, program keterampilan, dan pembauran kembali dengan masyarakat serta dengan menggunakan assesment yang kongkrit terhadap pelaku tindak pidana narkoba sehingga hanya “the real” bandar narkoba yang terjerat dalam PP No.99 tahun 2012, maka akan memudahkan Pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan. Sehingga tujuan dari pemasyarakatan seperti yang disampaikan oleh Van Bemmelen seorang ahli pidana yang menganut teori gabungan yaitu  Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan ini dimaksudkan mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan bermasyarakat dapat terhujud.     Penulis: Marthen Butar (Rutan Bandar Lampung)

What's Your Reaction?

like
1
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0