Surabaya - Narapidana (napi) Lapas Kelas I Surabaya memiliki usaha baru di dalam penjara. Dua bulan belakangan mereka bisa memproduksi tahu sehat. Pengolahan bahan makanan tersebut dilakukan di alam terbuka. Produksi pun bergantung pada cuaca.
Leonardo Saputra Wiradana tampak sibuk di depan penggorengan. Sesekali dia mengaduk minyak panas berisi tahu yang dia potong kotak persegi panjang. Pria 30 tahun itu tampak menikmati kegiatan memasak siang pekan lalu. Suasana sejuk menambah betah napi asal Surabaya tersebut berlama-lama di â€dapur†terbuka Lapas Kelas I Surabaya.
Tempat memasak yang digunakan Leo memang tidak biasa. Letaknya di halaman belakang lapas. Bersebelahan dengan dapur lapas dan poliklinik, tepat di bawah pohon ketepeng dengan daun yang cukup lebat.
Di bawah pohon tersebut tidak hanya terdapat peranti memasak seperti kompor gas dan penggorengan. Tetapi, tempat itu juga dilengkapi alat untuk memproduksi tahu. Ada alat untuk menggiling kedelai sekaligus menyaring sarinya. Ada juga panci ukuran jumbo yang mampu menampung 50 liter sari kedelai yang siap diproduksi menjadi tahu.
Alat pencetak dan pres untuk tahu juga tersedia di sana. Semuanya terbuat dari bahan stainless steel. Aman untuk kesehatan. Tidak ada alat cetak maupun pres berbahan kayu seperti dalam produksi tahu tradisional.
Meski tidak sama alat produksinya, Leo menyebut proses pembuatan tahu di penjara tidak jauh berbeda dengan tahu yang dibuat oleh warga â€merdekaâ€. Sebelum digiling, kedelai dengan berat 4 kilogram direndam terlebih dahulu selama 4 sampai 5 jam.
Untuk menghasilkan sari kedelai yang maksimal, 1 kilogram kedelai bisa dicampur dengan 10 liter air saat proses penggilingan. Proses penggilingan bisa dilakukan berkali-kali sampai sari kedelai benar-benar terperas maksimal. â€Setelah itu, masak filtrat (sari) kedelai sampai mendidih sambil diaduk-aduk,†ucap napi yang divonis pidana empat tahun penjara tersebut.
Untuk mengikat sari kedelai agar padat, ditambahkan bahan penggumpal bernama nigarin. Bahan itu berasal dari sari air laut (SAL) yang merupakan bahan pengganti asam cuka. Ukurannya 160 mililiter sampai 200 mililiter.
Leo sebenarnya mengaku kurang paham dengan proses pembuatan nigarin. Dia hanya tahu proses produksi tahu berdasar pengajaran dari Nelson Sembiring, salah seorang napi ternama di lapas tersebut yang masuk penjara karena dugaan penyelewengan dana hibah Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Jatim.
Nelson yang disebut guru dan berada di sebelah Leo kala itu hanya tersenyum. Dengan ramah dan cukup lugas, dia menjelaskan soal tahu sehat yang dia ciptakan. Menurut dia, tahu yang menggunakan bahan penggumpal nigarin itu menghasilkan kandungan kalsium, magnesium, vitamin B-12, dan isoflavon lebih tinggi daripada tahu yang menggunakan asam cuka.
â€Ini lihat perbandingannya. Berdasar penelitian yang saya lakukan waktu belajar di Jepang,†ucap peraih gelar doktor Universitas Kyoto jurusan engineering resources itu sambil menunjukkan pamflet yang berisi tabel kandungan mineral tahu biasa dan tahu sehat nigarin.
Pada tabel tersebut, tercatat kandungan magnesium tahu sehat mencapai 0,091 mg/100 gram. Lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan magnesium tahu biasa yang hanya 0,054 mg/100 gram.
Kandungan kalsium tahu nigarin mencapai 0,21 mg/100 gram. Vitamin B-12 mencapai 4,56 mg/100 gram dan isoflavon 3,11 mg/100 gram. Lebih tinggi daripada tahu biasa yang kandungan kalsiumnya 0,16 mg/100 gram, vitamin B-12 sebanyak 1,02 mg/100 gram, dan isoflavon 0,88 mg/100 gram.
Nelson menjelaskan, dalam nigarin terdapat lebih dari 80 jenis mineral dengan kandungan utama berupa magnesium dan kalium. Di Jepang, nigarin sejak lama digunakan untuk pembuatan tahu dan bahan pengawet atau pendingin ikan.
â€Nigarin berasal dari SAL yang didapat dari sisa pembuatan garam yang dikenal nigari,†katanya seraya memperlihatkan nigarin dalam botol. Warnanya agak keruh. Tidak bening. Menurut Nelson, rasanya pahit karena ada kandungan mineral magnesium di dalamnya. Harga per liter nigarin Rp 25 ribu. Itu cukup untuk membuat tahu dari 25 kilogram kedelai.
Tekstur tahu yang dihasilkan dari campuran nigarin tersebut cukup padat. Kandungan airnya tidak terlalu banyak. Setelah sari kedelai diberi bahan penggumpal, selanjutnya dituangkan ke cetakan yang dilapisi kain saringan. Baru kemudian dipres dengan alat pencetak.
Satu kali proses pencetakan bisa menghasilkan 30 potong tahu dengan ukuran sekitar 5 cm x 6 cm. Di salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya, tahu sehat dijual dengan harga Rp 13 ribu per potong. Meski terbilang mahal, warga yang telah mengetahui kandungan dan manfaatnya tidak segan untuk membelinya.
Di lapas, penjualan tahu sehat juga meningkat. Tapi, produksinya masih terbatas. Sepekan hanya memproduksi dua kali. Sekali produksi dua kali proses pencetakan tahu. Produksi yang terbatas itu dipengaruhi faktor kurangnya tenaga kerja dan bahan baku. â€Kedelainya impor karena kami tidak kebagian kedelai lokal,†kata Kepala Lapas Kelas I Surabaya Prasetyo.
Padahal, menurut dia, kedelai paling bagus untuk membuat tahu itu kedelai lokal. Meski demikian, produksi tahu tetap berjalan. Hanya saat sebelum dan sesudah Lebaran, produksi dihentikan. Napi dan petugas lapas berkonsentrasi untuk menyambut â€hari kemenanganâ€.
Soal rasa, tahu sehat ala penjara juga juara. Banyak yang mengakui bahwa rasa tahu produksi bui itu enak. Digoreng atau dimasak apa pun bisa. Bahkan, dimakan langsung setelah keluar dari alat pres juga bisa. Tinggal dicocolkan ke sambal atau kecap asin, tahu sudah bisa dimakan.
Prasetyo mengakui, memasarkan tahu tidak semudah yang dibayangkan. Sebelum tahu beredar di kalangan napi, uji coba belasan kali dilakukan. Leo tidak hanya sekali belajar membuat tahu. Tapi, proses pembuatan tahu dari awal sampai bisa dijual memerlukan waktu sampai lima belas kali.
Itu dilakukan untuk menemukan formula yang pas. Yakni, perbandingan takaran yang sesuai antara kedelai dan bahan campuran lain untuk menghasilkan tahu yang tepat. Dalam tahap uji coba, kegagalan selalu saja ditemukan. Mulai tahu yang terlalu lembek. Kadang luarnya padat, tapi dalamnya berlubang karena kurang pres dan sebagainya.
Belum lagi kendala cuaca. Karena pembuatan tahu di alam terbuka, cuaca juga sangat memengaruhi. Jika turun hujan, produksi dihentikan. Bila tidak memungkinkan, proses pembuatan dipindah ke teras sebelah poliklinik. Namun, produksinya jadi kurang asyik karena tidak bisa menikmati sepoi angin yang berembus di antara dedaunan pohon ketepeng.
Setelah melalui serangkaian percobaan, kini pihak lapas sudah percaya diri menjual tahu hasil buatan sendiri. Harganya cukup terjangkau. Tiga buah tahu dijual dengan harga Rp 5 ribu. Itulah yang membuat penghuni berebut untuk membeli. Tapi, karena jumlah produksi terbatas, pembelian harus melalui pemesanan terlebih dahulu.
Bukan hanya napi yang bisa menikmati tahu produksi bui. Pihak luar pun sudah merasakan. Tahu tersebut pernah dipamerkan dalam ajang karya para napi. Para pejabat Kanwil Kemenkum HAM Jatim sempat mencicipinya.
Bukan hanya tahu yang dapat dinikmati. Ampas dari sari kedelai pun bisa dikonsumsi. Ampas kedelai dapat dibuat perkedel. Rasanya mirip dengan tahu. Selain diolah menjadi perkedel, ampas kedelai dapat dibuat menjadi tempe gambus atau tempe menjes.
Air perasan tahu pun bisa diminum karena memiliki PH netral serta kandungan mineral yang tinggi. â€Rasanya itu ada manis-manisnya. Kalau lagi produksi, saya sering minum airnya,†kata M. Yoga, salah seorang penghuni penjara. â€Jadi, beli tahu di sini bonusnya air perasan tadi,†lanjut dia, lantas tertawa. (*/c6/fat)
Sumber : jawapos.com