Ridho Aji Baskoro dan Warisan Pekerjaan Sopir Pemindahan Napi

Ketar-ketir Baut Ban Lepas, Jaga Penjahat di Pinggir Jalan, Pakai Botol untuk Toilet Portabel Para Napi Ridho Aji Baskoro mewarisi pekerjaan bapaknya, Yuliadji. Dia adalah pengemudi bus transportasi pemasyarakatan (transpas) milik Rutan Kelas I Surabaya (Medaeng). Tiap pekan, dia memindahkan narapidana (napi) ke berbagai lembaga pemasyarakatan. PERISTIWA pada pertengahan Mei 2016 itu tak bisa hilang dari ingatan Ridho Aji Baskoro. Laki-laki 26 tahun tersebut masih ingat betul kejadian yang membikin dia jantungan. Kala itu, Ridho sedang menjalankan tugas. Mengantar 30 napi ke Lapas Pamekasan. Di tengah perjalanan, kendaraan yang dikemudikannya mendapat cobaan. Baut di roda sisi kiri belakang mrotol. Tiga baut patah dan lepas dari ban. Tiga lainnya masih nyangkut, tapi kondisinya memprihatinkan. Hampir copot dari roda. Tidak ingin mengambil risiko lebih parah, Ridho meminggirkan kendaraan berisi para napi hukuman tinggi tersebut. Untung, saat itu dia masih didampingi

Ridho Aji Baskoro dan Warisan Pekerjaan Sopir Pemindahan Napi
Ketar-ketir Baut Ban Lepas, Jaga Penjahat di Pinggir Jalan, Pakai Botol untuk Toilet Portabel Para Napi Ridho Aji Baskoro mewarisi pekerjaan bapaknya, Yuliadji. Dia adalah pengemudi bus transportasi pemasyarakatan (transpas) milik Rutan Kelas I Surabaya (Medaeng). Tiap pekan, dia memindahkan narapidana (napi) ke berbagai lembaga pemasyarakatan. PERISTIWA pada pertengahan Mei 2016 itu tak bisa hilang dari ingatan Ridho Aji Baskoro. Laki-laki 26 tahun tersebut masih ingat betul kejadian yang membikin dia jantungan. Kala itu, Ridho sedang menjalankan tugas. Mengantar 30 napi ke Lapas Pamekasan. Di tengah perjalanan, kendaraan yang dikemudikannya mendapat cobaan. Baut di roda sisi kiri belakang mrotol. Tiga baut patah dan lepas dari ban. Tiga lainnya masih nyangkut, tapi kondisinya memprihatinkan. Hampir copot dari roda. Tidak ingin mengambil risiko lebih parah, Ridho meminggirkan kendaraan berisi para napi hukuman tinggi tersebut. Untung, saat itu dia masih didampingi bapaknya, Yuliadji. Seorang petugas rutan, P. Simatupang, juga ikut bersamanya. Termasuk dua polisi yang mengamankan pemindahan napi. Saat bus berhenti di tepi jalan, Ridho segera turun untuk mengecek kondisi kendaraan yang dikemudikannya itu. Dia dan bapaknya berusaha untuk memperbaiki kerusakan dengan sekuat tenaga. Tak lupa, mereka juga menghubungi Lapas Pamekasan. Mengabarkan kejadian yang tengah dialami. ”Untungnya jarak lapas tidak jauh. Tinggal 5 kilometer lagi,” ucap Ridho saat ditemui di Rutan Medaeng, Kamis (27/10) siang. Ridho pantas deg-degan. Dia sadar, kekuatannya dan tim saat itu tidak sebanding dengan jumlah napi di dalam kendaraan. Meski dibekali senjata, mereka kalah jumlah. Jika ada pemberontakan dari para pelaku kejahatan, bukan tidak mungkin Ridho dan kawan-kawan menjadi korban. Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, mereka pun mempersiapkan senjata. ”Pistol yang biasanya kosong kami isi peluru. Buat jaga-jaga,” imbuh Simatupang yang ikut berbincang dengan Ridho. Simatupang yang berbadan besar juga siaga di bagian sisi kiri kendaraan. Tepat pada bagian pintu utama. Kakinya digunakan untuk mengganjal pintu bus agar tidak mudah dibuka. Saat itu, lanjut dia, ada napi yang ingin berulah. Dia beralasan borgol di tangannya kesempitan. Minta dikendurkan sambil berteriak-teriak dan memukul bus. Permintaan itu tidak hanya dilontarkan sekali. Tapi, petugas tidak menanggapi. Hanya sekali borgol di tangan napi dibuat longgar. Petugas melonggarkan borgol dengan penuh kewaspadaan.   Tangan kiri dan kanan dua napi yang diborgol bersamaan dikeluarkan melalui pintu bus yang hanya terbuka sedikit. Dari luar, Simatupang melonggarkan borgol dengan kunci. ”Jadi, orangnya tidak turun bus. Hanya tangannya yang dikeluarkan,” lanjut dia seraya mempraktikkan cara melonggarkan borgol tersebut. Setelah menunggu sekitar setengah jam, bantuan dari lapas datang. Ada 15 sipir yang tiba di lokasi bus untuk menjemput napi. Mereka menggunakan dua Isuzy Elf sewaan dan mobil tahanan lapas. Tetap dengan pengamanan pihak kepolisian. Setelah rombongan napi pergi, Ridho dan Yuliadji tetap berada di samping bus di pinggir jalan. Mereka menunggu teknisi dari Surabaya yang membawa onderdil. Pakaian dinas rapi yang digunakan Ridho dan bapaknya sudah ditanggalkan dari badan. Mereka duduk di pinggir bus hanya dengan kaus singlet. ”Onderdilnya harus cari di Surabaya. Adanya memang di sana,” tegas Ridho. Ridho mengatakan, banyak pengalaman duka saat menjadi sopir pemindahan napi dari rutan ke lapas. Selama lebih dari dua tahun menggantikan posisi bapaknya, dia selalu mengalami peristiwa yang tak terlupakan. Saat ke Lapas Madiun pada Maret 2016, rem bus yang dikendarai Ridho bersama rombongan rusak. Tidak bisa berfungsi karena tabung angin rem selalu penuh. Saat tabung penuh, bus mendadak mengerem sendiri. Untuk mengatasi hal itu, Ridho memutar otak. Akhirnya dia yang saat itu bersama Simatupang memiliki ide untuk mengeluarkan angin dari tabung. Caranya, tabung angin ditarik dengan tali rafia untuk mengeluarkan anginnya. Selama perjalanan, Ridho sering berteriak-teriak. Saat tabung sudah hampir penuh dan mau mengerem, Ridho selalu berteriak ke Siamatupang. ”Tarikkkk Banggggg!” kata Ridho, menirukan seruan saat itu. Dengan cekatan, Simatupang langsung menarik tali rafia yang terhubung dengan tabung. Sesaat kemudian, terdengar bunyi cusss cukup keras. Suara angin keluar dari tabung. Sejak awal menjadi sopir bus transpas, Ridho paham risiko yang akan dihadapinya. Dia sering mendengar cerita dari bapaknya tentang suka dan duka mengantar pelaku tindak pidana ke ”rumah” baru mereka. Termasuk risiko harus bangun dini hari demi memindahkan para napi. Setiap ada pemindahan, Ridho harus datang lebih awal. Biasanya, pukul 02.30 dia sudah sampai di rutan. Hal pertama yang dilakukan adalah mengecek kelaikan bus untuk jalan. Ridho memeriksa satu per satu bagian kendaraan. Bukan hanya mesin yang dipanasi. Baut pada ban pun dicek. Termasuk kunci pengaman pintu yang harus berfungsi selama perjalanan. Tidak lupa, Ridho mengecek ada tidaknya botol bekas air mineral di masing-masing tempat duduk napi. Botol tersebut merupakan salah satu peranti penting dalam pemindahan napi. Terutama saat penjara yang dituju cukup jauh dari rutan. Botol-botol itu digunakan untuk menampung air kencing napi di perjalanan. Berfungsi sebagai ”toilet berjalan” karena tidak mungkin pemindahan terhenti di tengah jalan hanya gara-gara seorang napi kebelet pipis. ”Kalau berhenti di sembarang tempat, berbahaya,” ucap anak kedua di antara dua bersaudara itu. Bisa saja timbul kegaduhan. Bahkan, risiko napi melarikan diri pun cukup besar. Karena itu, yang tidak bisa menahan kencing dapat memanfaatkan botol mineral yang sudah disediakan. Ridho memiliki pengalaman unik dengan botol-botol tak terpakai itu. Ketika kali pertama mengemudikan bus, dia tidak paham fungsi botol mineral. Dia mengira botol tersebut barang rongsokan yang tidak digunakan. Dengan cekatan, Ridho membersihkan botol-botol tersebut dan membuangnya. Sesaat kemudian, Yuliadji yang masuk ke bus mempertanyakan keberadaan botol yang telah dipersiapkan. Dengan polos, Ridho menjawab telah membuangnya. Mendengar jawaban tersebut, pria 58 tahun itu tersenyum, lantas memberi tahu bahwa botol sengaja disiapkan untuk mempermudah napi yang ingin buang air kecil. ”Untuk perjalanan jauh dan yang dipindah napi laki-laki, botol itu sering bersama kami,” kata sipir kelahiran Mojokerto itu. Ridho mengaku harus ekstrasabar saat mengantar napi ke lapas. Bukan hanya karena status orang yang dipindahkannya. Tapi, juga kondisi kendaraan yang menjadi satu-satunya alat transportasi pemindahan itu. Menurut sipir yang memulai karir sebagai pegawai Rumah Penitipan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Kelas I Surabaya tersebut, bus yang dikemudikan itu sangat tua. Umurnya sudah 14 tahun. Sudah uzur. Kondisinya tidak lagi mulus. Banyak cat di bodi bus yang sudah mengelupas. Bagian yang terkelupas tersebut tampak cokelat. Tanda karat. Lampu sisi kiri bagian bawah juga pecah. Belum lagi, kondisi mesin tidak selalu prima. Tiap kali akan menggunakan bus, Ridho wajib memanasinya. Mesin bus yang sudah lama itu juga membuat lajunya tidak secepat mobil baru. Bahkan, untuk menyalip kendaraan pun, perlu ancang-ancang terlebih dahulu. Tak bisa langsung melesat kilat seperti bus anyar. ”Kalau tidak terbiasa pegang bus ini, ya susah mengendarainya,” ucap Ridho sambil menunjukkan bus yang tiap pekan dikemudikannya. Ridho berkenalan dengan bus transpas pada awal 2014. Kala itu, dia memundurkan bus yang diparkir di rupbasan. Kepala Rutan Medaeng Agus Irianto yang tengah mengikuti kerja bakti bertanya kepada para petugas tentang sosok yang mengemudikan bus tersebut. Dia tahu bahwa yang memegang kemudi bukan Yuliadji. Sebab, ayah Ridho itu juga ikut kerja bakti. Setelah mendapat informasi bahwa yang membawa bus adalah putra Yuliadji, Agus pun menawari Ridho agar pindah ke rutan. Tugasnya, menjadi sipir sekaligus sopir bus pemindahan napi yang akan menggantikan Yuliadji saat pensiun pada Juli 2016. Gayung bersambut. Ridho yang diminta menggantikan posisi Yuliadji sebagai ahli waris pekerjaan sopir napi menanggapi. Dia bersedia dipindah ke rutan. ”Saya tidak memaksa, itu keputusan Ridho sendiri,” tegas Yuliadji. Sejak pindah ke rutan itulah, Ridho selalu ”dilatih” bapaknya. Setiap kali ada pemindahan napi, Yuliadji memercayakan kemudi kepada Ridho. Dia hanya mendampingi. Selama perjalanan, dia selalu memberikan wejangan terkait dengan risiko mengemudikan kendaraan napi. Satu hal yang selalu ditekankan Yuliadji kepada anaknya adalah senantiasa mengecek kondisi kendaraan sebelum berangkat untuk memindahkan napi. Itu merupakan hal terpenting yang harus dilakukan. ”Jika memang kondisi bus tidak layak jalan, jangan berangkat,” ucap Yuliadji. Bahkan, pria yang selama 14 tahun mengemudikan bus transpas itu meminta Ridho mengecek kendaraan sehari sebelum berangkat agar tidak terlambat. Nasihat Yuliadji itulah yang menguatkan Ridho dalam menjalankan tugas. Mantap memindahkan napi dengan segala risiko di perjalanan yang senantiasa harus siap sedia dihadapi.*/c7/dos/sep/JPG)   Sumber : jawapos.com

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0