Budaya Hukum Pemasyarakatan Narapidana

Budaya Hukum Pemasyarakatan Narapidana

Menurut Lawrence Meir Friedman, budaya hukum merupakan salah satu dari tiga komponen berhasil atau tidaknya terlaksananya penegakan hukum. Pertama, substansi hukum. Artinya, substansi (isi) dari suatu peraturan perundang-undangan dengan kata lain produk hukum. Kedua, struktur hukum. Artinya, pranata/institusi penegak hukum, seperti Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Negara (Rutan) sebagai badan pelaksana pidana selain kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Ketiga, budaya hukum. Artinya, cara pandang dan sikap masyarakat terhadap hukum sehingga dikatakan budaya hukum merupakan kesadaran suatu masyarakat terhadap hukum. 

Jika digunakan cara pandang restriktif (terbatas), “masyarakat” hanya dipahami sebagai sekumpulan atau sejumlah orang yang terikat oleh suatu kebudayaan yang sama. Dalam perspektif Pemasyarakatan, para narapidana yang menjalani hukuman di Lapas dapat dikatakan sebagai “miniatur masyarakat” yang dipersipakan kembali melalui Sistem Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi dengan masyarakat dalam arti sebenarnya.

Teori yang digagas Lawrence Meir Friedman tentang komponen keberhasilan penegakan hukum sangat ekuivalen dan senada dengan pandangan Soerjono Soekanto yang menyatakan efektif atau tidaknya penegakan hukum ditentukan oleh lima faktor, yaitu undang-undang, penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat, dan budaya. Pandangan Soerjono Soekanto ini menarik untuk dielaborasi karena ia memisahkan antara masyarakat dan budaya, tidak seperti Lawrence Meir Friedman yang menyatukan antara masyarakat dan budaya atau dengan kata lain budaya representasi masyarakat.

Biasanya masyarakat mempunyai tendensi atau kecenderungan menaati hukum melihat dari kepatuhan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam memberikan hak-hak masyarakat sebagai subjek hukum maupun perilaku APH terhadap masyarakat sehingga masyarakat dapat menjadikannya sebagai role model dalam berperilaku. Selain itu, kecenderungan masyarakat menaati hukum melihat dari penerapan sanksinya yang nyata dan imparsial (tidak memihak), maka kecenderungan demikian membuat masyarakat bisa menetapkan cara pandang yang baik terhadap hukum sehingga terciptalah budaya yang patuh dan taat hukum karena menyadari tujuan hukum itu memberikan kemanfaatan untuk dirinya dan orang banyak di sekitarnya.

Jika diimplementasikan dalam dunia Pemasyarakatan, dapat dielaborasi kembali poin kecenderungan narapidana dalam menaati hukum kaitannya dengan terciptanya budaya hukum Pemasyarakatan yang bertanggung jawab, patuh, taat terhadap hukum.

 

Kepatuhan Aparat dalam Memberikan Aksesibilitas Hak Narapidana dan Perilaku Petugas Pemasyarakatan
Dalam menjalankan masa pidana selama berada di Lapas maupun Rutan, baik narapidana dan tahanan diberikan haknya oleh undang-undang, yaitu berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; mendapatkan pendidikan dan pengajaran; mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; menyampaikan keluhan; mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; mendapatkan pengurangan masa pidana (Remisi); mendapatkan kesempatan berasimilasi, termasuk CMK; mendapatkan PB; mendapatkan CMB; serta mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Vide: Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Pemasyarakatan).

Keseluruhan hak yang diberikan oleh undang-undang terhadap narapidana maupun tahanan tidak ada satupun yang dibebankan biaya oleh petugas Pemasyarakatan karena memang demikian yang diamanatkan oleh undang-undang bahwa hak-hak yang diberikan gratis menimbang pada umumnya narapidana/tahanan yang ditahan dan menjalani hukuman berada dalam kesusahan, kepayahan dan kenestapaan.

Keberhasilan Sistem Pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas pelayanan dan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) salah satunya ditentukan oleh integritas moral, keteladanan sikap, dan tingkah laku petugas Pemasyarakatan. Demi terjaganya perilaku petugas Pemasyarakatan diperlukan kode etik bagi petugas sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) RI No. M.HH-16.KP.05.02 Tahun 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan.

Diterangkan dalam Pasal 7, etika petugas Pemasyarakatan dalam melakukan pelayanan, pembinaan, dan pembimbingan terhadap WBP dilakukan dengan cara sebagai berikut: 

  1. Menghormati harkat martabat WBP meliputi: menghormati hak WBP; menjauhkan diri dari segala bentuk tindak kekerasan dan pelecahan; menghormati dan menjaga kerahasiaan WBP; dan selalu ramah dan sopan dalam berinteraksi dengan WBP;
  2. Mengayomi WBP meliputi: memberikan rasa aman dan tentram terhadap WBP; menindaklanjuti setiap saran, keluhan, atau pengaduan yang disampaikan WBP secara cepat dan tepat; tidak diskriminatif terhadap WBP atas dasar suku, agama, ras atau lainnya yang dapat menimbulkan situasi yang tidak kondusif; dan memenuhi hak WBP tanpa mengharapkan balasan/pamrih. (Vide: Pasal 7 Permenkumham RI tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan).

 

Ketegasan Sanksi terhadap Pelanggaran Tata Tertib
Selain ada kewajiban bagi narapidana atau tahanan yang bersifat imperatif, seperti keharusan untuk mengikuti seluruh kegiatan yang diprogramkan dan patuh, taat, dan hormat pada petugas, ada larangan bagi narapidana dan tahanan yang tidak boleh dilakukan, seperti melakukan perbuatan asusila dan/atau penyimpangan seksual; melakukan upaya melarikan diri atau membantu pelarian; melawan atau menghalangi petugas Pemasyarakatan dalam menjalankan tugas; menyimpan, mennbuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumsi narkotika atau alkohol; memiiki, membawa dan/atau mengggunakan alat elektronik; melakukan pemasangan instalasi listrik di dalam kamar hunian; membuat atau menyimpan senjata api, senjata tajam, dan sejenisnya; melakukan tindakan kekerasan; mengeluarkan perkataan provokatif yang dapat menimbulkan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban; melakukan pengrusakan terhadap fasilitas Lapas atau Rutan; melakukan pencurian, pemerasan, perjudian, atau penipuan. (Vide: Pasal 4 Permenkumham RI No. 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lapas).

Larangan bagi narapidana atau tahanan tersebut mempunyai konsekuensi hukum apabila dilanggar dan dikenai hukuman disiplin. Dalam Pasal 8 Permekumham RI tentang Tata Tertib Lapas, narapidana atau tahanan yang melanggar tata tertib bisa dikenai tiga jenis hukuman disiplin, yaitu hukuman disiplin tingkat ringan, hukuman disiplin tingkat sedang, atau hukuman disiplin tingkat berat.

  1. Hukuman disiplin tingkat ringan meliputi peringatan secara lisan dan peringatan secara tertulis;
  2. Hukuman disiplin tingkat sedang meliputi memasukkan ke sel pengasingan paling lama enam hari dan menunda atau meniadakan hak tertentu dalam kurun waktu tertentu berdasarkan hasil Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan;
  3. Hukuman disiplin tingkat berat meliputi memasukkan ke sel pengasingan selama harienam dan dapat diperpanjang selama dua kali enam hari serta tidak mendapatkan hak remisi, CMK, CB, Asimilasi, CMB, dan PB dalam tahun berjalan dan dicatat dalam Register F.

Jenis penjatuhan sanksi/hukuman disiplin terhadap WBP dikenakan kepada siapa saja, tidak memihak (imparsial) atau subjektif karena hubungan tertentu dengan petugas, tidak diskriminatif atas dasar suku, agama, dan ras. Oleh karenanya, jika dikaitkan, pemberian hak-hak narapidana dengan proporsional, selain penerapan sanksi yang berkeadilan dan perilaku petugas Pemasyarakatan yang baik dalam mengayomi, maka akan dijadikan pedoman sikap bagi narapidana selepas menjalani hukuman di Lapas atau Rutan. Tidak hanya itu, nantinya para narapidana mampu menyadari kesalahan dan menyadari tujuan dari pemidanaan dirinya dan akhirnya mampu berbaur dengan masyarakat dan menciptakan masyarakat dan budaya sekitarnya yang bertanggung jawab, patuh, taat terhadap hukum.

Semua tendensi atau kecenderungan di atas mempunyai hubungan kausalitas (sebab-akibat) dengan terciptanya budaya hukum Pemasyarakatan narapidana. Jadi, tidak salah dan mengapa jika ditarik sebuah hipotesis bahwa proyeksi Pemasyarakatan narapidana ke depannya bisa membentuk masyarakat dan budaya yang taat dan patuh terhadap hukum negara Indonesia.

 

Penulis: Insanul Hakim Ifra (Rutan Depok) 
 

What's Your Reaction?

like
5
dislike
0
love
0
funny
1
angry
0
sad
0
wow
1