Menakar Makna Prinsip Dasar (Back to Basic) Pemasyarakatan

 Menakar Makna Prinsip Dasar (Back to Basic) Pemasyarakatan

Sistem Pemasyarakatan digadang-gadang menjanjikan cara yang lebih baik dibandingkan dengan sistem penjara dalam hal penanganan kepada orang-orang yang melanggar hukum. Tapi, selalu ada celah dan selalu ada kurang dalam implementasi sebuah sistem, tak terkecuali Sistem Pemasyarakatan tersebut. Sudah lebih dari setengah abad Sistem Pemasyarakatan dicetuskan oleh Dr. Sahardjo, namun tetap saja banyak polemik yang terja dalam sistem tersebut. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) serta integritas petugas Pemasyarakatan sudah sangat sering dipertanyan publik ketika terjadi pelarian narapidana, peredaran narkoba di Lapas dan Rutan, pengulangan tindak pidana yang masih sering dilakukan mantan narapidana, serta pelanggaran-pelanggaran lainnya.

Bahkan, dewasa ini banyak sekali berita negatif yang berasal dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan, seperti Lapas dan Rutan. Dilansir dari detiknews.com dalam beberapa bulan terakhir, telah terjadi kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang yang menewaskan 41 narapidana. Selain itu, ada lima petugas Lapas Kelas IIA Palu yang dipecat karena terlibat sindikat narkoba, narapidana yang mengamuk dan merusak fasilitas Lapas Kelas III Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, serta yang terbaru adalah adanya 125 paket ganja yang ditemukan di dalam kamar narapidana Lapas Kelas IIB Kota Pariaman, Sumatera Barat. Kenapa semua itu bisa terjadi? Tentunya hal ini menjadi pekerjaan rumah berat bagi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

 

Mengkaji Ulang

Melihat kembali masa lalu dan mencoba merefleksikan kemudi ke arah yang lebih baik bukan merupakan suatu kemunduran. Dahulu, orang yang melakukan pelanggaran hukum atau tindak pidana akan ditempatkan di penjara setelah hakim menjatuhkan vonis. Penjara dengan sistem penjaranya ini lekat dengan istilah pembalasan dendam dan memang sengaja dibuat untuk memberikan penderitaan bagi pelanggar hukum. Penderitaan tersebut berupa pengasingan dan penyiksaan sehingga diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum dan ketika masa hukumannya berakhir ia tidak berani mengulangi perbuatan melanggar atau melawan hukum lagi.

Dari latar belakang tersebut, Dr. Sahardjo yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI mencetuskan konsep Pemasyarakatan pada penganugerahan gelar Doktor Honoris Cousa oleh Universitas Indonesia tahun 1962. Pokok-pokok pikiran tersebut kemudian dijadikan prinsip-prinsip pokok dari konsep Pemasyarakatan pada Konferensi Kepenjaraan di Lembang, Bandung pada tahun 1974. Dalam konferensi tersebut dihasilkan keputusan bahwa Pemasyarakatan tidak hanya semata-mata sebagai tujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan sistem pembinaan bagi narapidana.

Secara definisi, Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batasan serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (narapidana, Anak, dan Klien Pemasyarakatan) berdasarkan Pancasila. Dalam pasal 5 Undang-Undang RI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan juga disebutkan bahwa Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, serta penghormatan harkat dan martabat manusia. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang tertentu. Jadi, dengan lahirnya Sistem Pemasyarakatan, kita memasuki era baru dalam proses pembinaan narapidana dan Anak. Mereka dibina, dibimbing, dan dituntut untuk menjadi individu yang lebih baik serta lebih berguna dari sebelumnya.

 

Kembali Pekuat Akar

Berdasarkan hasil evaluasi dari fakta serta pelaksanaan tugas dan fungsi (tusi) petugas Pemasyarakatan di lapangan, maka timbul keinginan kuat dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas) untuk membuat sebuah program yang dapat me-refresh Sistem Pemasayarakatan. Program tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Dirjenpas Nomor: PAS-38.OT.02.02 Tahun 2021 tentang Program Pelaksanaan Prinsip Dasar Pemasyarakatan (Back to Basics). Program Back to Basics merupakan strategi untuk meningkatkan kualitas pelayanan Pemasyarakatan berdasarkan prinsip dasar Pemasyarakatan sesuai ketentuan peraturan undang-undang. Program Back to Basics meliputi pelayanan tahanan, pembinaan narapidana, pembimbingan Klien, keamanan dan ketertiban, perawatan kesehatan, serta pengelolaan basan dan barang.

UPT Pemasyarakatan merupakan pelaku utama dari pelaksanaan program tersebut. Semua yang dilakukan akan diawasi dan dikendalikan langsung oleh Kepala Divisi Pemasyarakatan dan akan dilaporkan langsung kepada Dirjenpas melalui Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham. Selain itu, program Back to Basics juga mempunyai target yang harus dicapai oleh tiap-tiap UPT. Target tersebut tercantum dengan sangat detail dan jelas dalam matriks strategi pencapaian program Back to Basics yang terdiri dari tusi, dasar hukum/rujukan, dan indikator pelaksanaan. Dengan adanyanya program tersebut, maka muncul harapan baru dalam Sistem Pemasyarakatan dan menjadi pelecut bagi petugas Pemasyarakatan untuk bekerja dengan lebih optimal sesuai ketentuan sehingga pada akhirnya outcome yang didapat adalah terwujudnya Pemasyarakatan yang profesional, akuntabel, sinergi, transparan, dan inovatif.

 

Penulis: Dewi Safriati (PK Ahli Muda Bapas Baubau)

What's Your Reaction?

like
3
dislike
0
love
0
funny
1
angry
0
sad
1
wow
0