Menjadi Justice Collaborator Ditinjau dari Keadilan Restoratif
Baru-baru ini heboh pemberitaan tentang seorang bernama Dea Onlyfans alias Gusti Ayu Dewanti tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat yang saat ini menjadi tersangka penyebaran konten pornografi. Kabarnya, Dea Onlyfans akan menjadi Justice Collaborator untuk membantu kepolisian membongkar kasus penyebaran konten pornografi yang ada di Indonesia. Kabar tersebut disampaikan oleh Dea melalui pengacaranya, Herlambang, di Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya, Jakarta, Senin (28/3).
Adanya niat tersebut diduga karena Dea sendiri tidak sama sekali berniat untuk melakukan penyebaran konten pornografinya di Indonesia. Ia menyebut dirinya hanya mengunggah dan menjual kontennya tersebut di website OnlyFans yang diketahui tidak bisa diakses di Indonesia. Pihaknya menganggap konten tersebut bisa tersebar lantaran adanya pihak lain yang tidak bertanggung jawab mengunggah ulang video syurnya hingga akhirnya bisa tersebar di media sosial di Indonesia. Dea OnlyFans sendiri mengaku siap bekerja sama untuk mengungkap siapa saja penyebar video porno yang masih banyak dilakukan oleh para kreator Indonesia. Pengacaranya menuturkan Dea siap menjadi Justice Collaborator agar permasalahan yang saat ini menimpanya berhenti dan tidak terulang kembali.
Diketahui, Dea telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pornografi karena membuat dan mengunggah video asusila di situs Onlyfans. Dea disebut telah melakukan aksinya selama kurang lebih satu tahun dan mampu meraup penghasilan sebesar Rp15 juta hingga Rp20 juta tiap bulannya. Dalam kasus ini, Dea dikenakan Pasal 27 ayat (1) Jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE dan atau Pasal 4 ayat (1) Jo Pasal 29 dan atau Pasal 4 ayat (2) Jo Pasal 30 dan atau Pasal 8 Jo Pasal 34 dan atau Pasal 9 Jo Pasal 35 dan atau Pasal 10 Jo Pasal 36 Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Namun, Dea Onlyfans tidak ditahan penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jaya. Perempuan 21 tahun tersebut hanya dikenakan wajib lapor. Putusan itu dilakukan dengan berbagai pertimbangan, di antaranya karena Dea dianggap kooperatif saat diperiksa oleh pihak berwajib.
Justice Collaborator merupakan istilah baru dalam peroses peradilan pidana di Indonesia. Justice Collaborator adalah seorang tersangka, terdakwa atau terpidana yang dapat bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana tertentu. Tindak pidana tertentu yang dimaksud, seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana terorganisir lainya.
Konsep pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) kiranya relatif cocok untuk perlindungan hukum terhadap Justice Collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime di Indonesia di masa mendatang. Ada beberapa argumentasi yang dapat dikemukakan dalam hal ini mengapa konsep pendekatan Keadilan Restoratif yang dikedepankan. Dalam hal penanganan perlindungan hukum terhadap Justice Collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime relatif tidak dapat diterapkan asas equality before the law dan asas non-impunity karena tindak pidana yang bersifat organized crime terlalu kompleks, multidimensional, dan melintasi batas negara di mana untuk pengungkapannya mutlak memerlukan adanya Justice Collaborator. Konsekuensi logisnya tidak semua orang harus diperlakuan sama karena ada aspek tertentu yang membedakan orang tersebut dengan orang lain sehingga perbedaan itu membuka ruang dan dimensi seseorang dapat saja tidak dijatuhi pidana asal bertanggung jawab atas perbuatannya dengan melakukan pemulihan keseimbangan, seperti keadaan semula (restitutio in integrum) akibat perbuatan yang telah dilakukannya.
Tegasnya, dalam hal ini diterapkan asas kesamaan hukum yang adil (equality before the justice). Konsep pendekatan Restorative Justice berlandaskan pada asas ketidaksamaan sebagai keadilan. Kontribusi yang diberikan oleh Justice Collaborator dalam mengungkap kasus pornografi ini dijadikan dasar yang membedakannya dengan pornografi biasa sehingga kontribusinya menjadi dasar untuk menghindarkannya dari pemidanaan.
Pengungkapan kasus-kasus yang pelik dengan perlindungan hukum terhadap Justice Collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime melalui pendekatan Keadilan Restoratif Akan memberikan rangsangan, berani mengungkapkan kebenaran, dan perasaan tidak takut sehingga diharapkan nantinya berdampak orang akan berlomba-lomba untuk menjadi seorang Justice Collaborator. Penjatuhan pidana terhadap Justice Collaborator dalam perkara yang termasuk organized crime pada hakikatnya adalah untuk memanusiakan manusia agar menjadi orang yang baik.
Aspek dan dimensi ini pararel dengan eksistensi Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di mana Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk membuat narapidana menjadi orang yang baik. Filsafat pemidanaan dan penjatuhan pidana di Indonesia bukan berdasarkan filsafat retributif, melainkan filsafat integratif. Oleh karena ini, untuk masa kini hendaknya pendekatan Keadilan Restoratif yang paling harus dikedepankan Indonesia dan konsep pendekatan Restorative Justice di satu sisi dengan perlindungan hukum terhadap Justice Collaborator dalam upaya penanggulangan organized crime. Di sisi lainnya, adanya reward dan sekaligus melekat tanggung jawab bagi Justice Collaborator diharapkan mengungkapkan secara signifikan terhadap perkara yang berdimensi organized crime.
Dalam dimensi ini, memang diperlukan perlindungan khusus bagi Justice Collaborator. Mengapa demikian? Tiada lain karena para Justice Collaborator tidak akan berani memberikan keterangan apa yang dilihat dan dialami karena ancaman tekanan dan intimidasi, bahkan terancam keselamatan jiwanya. Sementara itu, organized crime tersebut menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi, perdagangan, ancaman, dan ketertiban masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga, nilai-nilai demokrasi dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.
Pada dasarnya, konsep pendekatan Keadilan Restoratif membangun dimensi agar seseorang berani untuk menjadi seorang Justice Collaborator dalam perkara yang termasuk organized crime. Keputusan dan pendirian seseorang akan menjadi Justice Collaborator perlu diapresiasi dengan baik sehingga membangun kesadaran dan polarisasi berpikir bahwa keputusan tersebut akan sangat berguna dan mempunyai jasa dalam rangka mengungkapkan perkara organized crime. Konsekuensi logisnya, penjatuhan pidana yang akan dijatuhkan hakim kepada seorang Justice Collaborator mempunyai dimensi keadilan. Pemidanaan yang berdimensi keadilan, di satu sisi pararel dengan pengungkapan kasus yang bersifat organized crime, di sisi lainnya membawa pemidanaan seseorang sesuai asas Pemasyarakatan, memanusiakan narapidana, atau pelaku tindak pidana (offender) menjadi manusia yang baik.
Penulis: Khaerudin (PK Pertama Bapas Kelas I Tangerang)