“New Normal” Dunia Pemasyarakatan

“New Normal” Dunia Pemasyarakatan

Bahaya Overcrowded dan COVID-19

Pandemi global memaksa semua orang mulai berpikir how to save our selves, (bagaimana menyelamatkan diri kita). Ini kata kunci untuk hidup “berdamai” dengan pandemi global Coronavirus disease (COVID-19). Saat ini pemerintah kita berdasarkan pidato Presiden Jokowi, Minggu (15/3) di Istana Bogor mengintruksikan setiap masyarakat dengan segala kluster mulai dari Aparatur Sipil Negara, pengusaha, karyawan, dan masyarakat pada umumnya untuk tetap di rumah dan mengorganisir setiap pekerjaannya dengan mandiri di rumah (work from home). Begitu pula peserta belajar untuk belajar di rumah (learning from home).

 

Pandemi ini memaksa setiap pribadi untuk menerima konsekuensi agar tetap selamat dan dapat terhindar dari paparan COVID-19 yang sampai sekarang belum ada vaksinnya. Bahkan, pada Senin (13/4) COVID-19 berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 12 Tahun 2020 telah ditetapkan sebagai Bencana Nasional.

 

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) RI, Yasonna H. Laoly, mengambil keputusan strategis dan tepat sebagai pemimpin yang bertugas pada periode keduanya di kabinet kerja Presiden Jokowi jilid dua, Kabinet Indonesia Maju, karena penyelesaian masalah overcrowded dan COVID-19 sangat mendesak. Dua hal yang apabila dikawinkan akan menjadi ledakan musibah dan sangat mempengaruhi risiko keamanan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan petugas Pemasyarakatan sendiri. Tentu kontribusi utamanya adalah akibat kapadatan hunian lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) sehingga jaga jarak (physical distancing) tidak dapat lagi dilakukan secara ideal sehingga program asimilasi dan integrasi di rumah adalah solusi yang paling jitu.

 

 

Upaya Percepatan Layanan Administrasi dan Peningkatan Pengawasan

Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) RI No. 10 Tahun 2020, program asimilasi dan integrasi tahap pertama telah merilis WBP sebesar 30.000 klien kembali ke masyarakat (detiknews Rabu, 01/04/2020). Walaupun banyak kritikan dari masyarakat munculnya ketakutan bahwa tingkat kejahatan akan meningkat seiring pelaksanaan asimilasi dan integrasi di rumah, namun pemerintah dalam hal ini Pemasyarakatan dan stakeholder lainnya yang paham betul dengan Sistem Pemasyarakatan melakukan counter narasi yang baik dan efektif sehingga ketakutan masyarakat dapat diantispasi.

 

Asimilasi dan integrasi adalah bentuk pelaksanaaan pembinaan dan pembimbingan terhadap klien Pemasyarakatan yang telah ada sejak disahkannya Undang-Undang Pemasyarakatan No.12 Tahun 1995. Program pembauran klien dengan masyarakat sejak dulu dilaksanakan, hanya saja Permenkumham No. 10 Tahun 2020 adalah upaya percepatan proses administrasi dengan peningkatan pengawasan maksimal oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) di balai pemasyarakatan.

 

Keputusan Menkumham tentunya mengubah prosedur lama menjadi prosedur baru dan pastinya lebih efektif. Memang sangat perlu melakukan perubahan-perubahan secara radikal. Pandemi global menjadi katalis bagi Pemasyarakatan untuk bermetamorfosa secara radikal dalam mewujudkan tujuan organisasinya. Hal-hal yang tidak efesien lagi harus ditinggalkan dan menyesuaikan diri dengan era disrupsi 4.0.

 

 

Penyesuaian Dengan Kehidupan Baru  (New Normal)

Penyesuaian dengan kehidupan baru (new normal) akan lebih banyak mengunakan fasilitas dalam jaringan (daring) yang dapat mempercepat komunikasi dan distribusi informasi, hemat biaya, serta efektif. Bentuk-bentuk kegiatan seperti seminar serta pendidikan dan pelatihan tidak lagi diadakan di gedung atau di hotel, tetapi melalui daring.

 

Bahkan, PK yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap klien Anak dan dewasa saat ini telah melakukan penggalian data melalui fasilitas daring. Kalau pun harus menjumpai klien, keluarga klien, atau Aparat Penegak Hukum (APH) lainnya secara fisik, tentu protokol kesehatan harus dipersiapkan pihak lapas/rutan, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Ketaatan untuk physical distancing, cuci tangan, hand sanitizer, dan pemeriksaan suhu badan adalah  hal wajib. Mungkin pada awalnya sangat merepotkan, namun lambat laun akan menjadi kebiasaan new normal.

 

Menurut Wiku Adisasmita (Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19) new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal, namun ditambah penerapan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan COVID-19. Istilah new normal pertama kali digunakan Roger Mcnamee (2003) yang menerangkan new normal adalah suatu waktu dimana kemungkinan besar Anda bersedia bermain dengan aturan baru untuk jangka panjang.

 

 

Regulasi yang Bukan Penjara Melulu

Overcrowded  di lapas/rutan masih menjadi risiko besar penularan COVID-19. Walaupun Pemasyarakatan sampai dengan sekarang melaksanakan program asimilasi dan integrasi di rumah, namun belum efektif menyelesaikan overcrowded. Mengapa? Karena selama ini pencari solusi hanya di hilir saja, yaitu Pemasyarakatan, namun pada titik hulu (penyidik, kejaksaan, serta hakim) tidak ikut mempertimbangkan hal ini sehingga pertambahan isi lebih besar daripada pengurangan isi lapas atau rutan. Akibatnya tetap overcrowded.

 

Iqrak Sulhin pada Webinar Opini (06/02/2020) pun menyatakan overcrowded tidak akan selesai apabila soal ini hanya dinisbahkan kepada Pemasyarakatan, tetapi perlu keterlibatan APH lainnya. New normal setidaknya perlu memunculkan regulasi-regulasi yang tidak berpandangan penjara melulu karena akan membuat lapas/rutan semakin padat. Hal ini sangat koheren dengan pernyataaan Montesquieu yang menyatakan bentuk perundang-undangan yang baik haruslah mengikhtiarkan pencegahan kejahatan daripada penghukuman.

 

 

 

Penulis: Andi Moh. Hamka (Bapas Makassar)

 

 

 

 

 

What's Your Reaction?

like
2
dislike
0
love
3
funny
0
angry
1
sad
0
wow
1