Penjara Indonesia Tanpa Anak, Mungkinkah?

Penjara Indonesia Tanpa Anak, Mungkinkah?

Bahwa masa depan bangsa kita sangat bergantung dengan kondisi anak-anak Indonesia hari ini, 20 tahun ke depan wajah negara Indonesia bergantung dari  kualitas hidup anak-anak kita yang bertumbuh kembang hari ini sehingga pemenuhan hak-hak anak menjadi perhatian nomor satu oleh pemerintah. Begitulah harapan kita bersama.

Namun, tidak dapat dipungkiri masih banyak anak-anak kita putus sekolah padahal sekolah telah digratiskan. Hal ini menjadi persoalan kenapa anak-anak kita tidak bersekolah. Ternyata ada dua faktor dominan menurut penulis yang memengaruhinya, yakni tidak berjalannya peran orangtua dan lingkungan sosial yang tidak mendukung motivasi anak bersekolah.

Tidak cakapnya orangtua menjalankan perannya serta dikepung dengan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup memaksa anak dilibatkan mencari nafkah bagi keluarga. Kemudian, lingkungan interaksi sosial anak yang tidak produktif yang cenderung memberi pengaruh negatif membuat peluang anak bertindak kriminal semakin besar dan akhirnya memperlebar potensi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dan berujung masuk penjara.

Kriminolog E.H.Sutherland (1934) mendeskripsikan penyebab terjadinya kejahatan akibat interaksi di lingkungan sosialnya.“Criminal behavior is learned interaction with other person in a process of communication” (tingkah laku kriminal dipelajari melalui interaksi dengan orang lain dalam proses komunikasi) yang dikuatkan dengan pendapat Hirschi (1969) yang melihat kenakalan atau kejahatan Anak diakibatkan tidak adanya keterikatan sosial (social bonds) yang akan membentuk moral individu Anak meliputi attachment (kasih sayang), involement (keterlibatan dalam kegiatan sosial yang positif), commitment (adanya cita-cita yang mulia), dan belief (pandangan moral yang tinggi). Keempat unsur ini apabila tidak ditransmisikan kepada Anak akan mengakibatkan kenakalan sehingga Anak tumbuh tanpa arah.

Ada sekitar 231.211 narapidana dan tahanan Anak per Mei 2020 (smslap.ditjenpas.go.id) yang dibina di rumah tahanan negara ataupun lembaga pemasyarakatan (lapas) se-Indonesia yang didominasi kasus tindak pidana pencurian. Belum lagi modus para bandar narkoba yang memanfaatkan Anak untuk dijadikan kurir narkoba dengan iming-iming uang sehingga mereka menjadi tameng bagi pelaku kriminal orang dewasa. Hal ini menjadi modus baru karena mereka tahu bahwa hukuman Anak apabila melakukan tindak pidana tidak terlalu berat seperti orang dewasa. Keadaan ini menjadi fenomena yang perlu menjadi perhatian kita bersama.

Sejatinya pemerintah telah cukup fokus untuk menanggulangi atau melakukan penanganan bagi ABH. Sejak diundangkannya Undang-Undang (UU) Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Nomor 12 Tahun 2012, penyelesaian hukum yang ramah anak secara signifkan telah mulai terwujud. Bagi ABH, berdasarkan UU SPPA, mekanisme penanganannya digiring pada pola penyelesaian di luar pengadilan sehingga jawaban sementara dari judul tulisan ini menurut penulis adalah mungkin saja. Bahkan 100 % sangat mungkin.

Hal tersebut dikarenakan produk hukum yang telah pemerintah miliki cukup memadai dalam mewujudkan ‘penjara Indonesia tanpa penghuni Anak.’ UU SPPA telah memberikan sudut pandang baru dalam penegakan hukum terhadap Anak sebagaimana diatur pada pasal 2 huruf i bahwa Anak dalam hal perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir. 

Namun, dalam hal merealisasikan ‘penjara tanpa penghuni Anak’ dibutuhkan aktor- aktor Aparat Penegak Hukum (APH) yang memahami esensial dari prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi Anak dalam hal penegakan hukum yang mengenal betul cara kerja dan cara tepat dalam menggunakan pendekatan Restoratif Justice secara teknis di setiap tahap proses hukum yang berjalan.

 

Pembimbing Kemasyarakatan Sebagai Agen Restoratif Justice

Pembimbing Kemasyarakatan (PK) berada pada garda terdepan pendampingan Anak dalam implementasi Restorative Justice pada SPPA. UU SPPA pasal 5 ayat 1 menentukan SPPA mengutamakan pendekatan keadilan restoratif, yakni penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasan dimana pada ayat 2 huruf a dan b mengatur pada proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan wajib diupayakan diversi.

Adapun upaya diversi sebagaimana diatur pada pasal 6 UU SPPA bertujuan:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

b. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

c. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;

d. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

e. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;

f. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Dalam hal pendampingan Anak yang dapat memastikan berjalannya SPPA berdasarkan asas perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik anak, penghargaan terhadap pendapat Anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak, pembinaan dan pembimbingan Anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran pembalasan, diperankan oleh PK.

PK menjalankan fungsinya dalam pendampingan Anak sedari hulu sampai hilir berjalannya proses hukum bagi Anak.  Pasal 1 ayat 13 UU SPPA menerangkan PK adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan (litmas), pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana.

 

Desiminasi Mengenai Pendekatan Restoratif Justice Yang Belum Tuntas Antar APH

Pada tingkat penyidikan berdasarkan pengalaman penulis, begitu pula rekan-rekan  PK, lain khususnya di Balai Pemasyarakatan Kelas I Makassar saat melaksanakan litmas bagi klien Anak tindak pidana pencurian, analisis yang telah dilakukan PK terhadap berkas pemeriksaan Anak oleh penyidik melihat jumlah kerugian diakibatkan Anak di bawah Upah Minimum Regional, kesediaan korban untuk memaafkan, dan peran klien dalam kasus yang dihadapinya hanya sebagai pihak yang turut serta. Dari hasil analisis tersebut menurut kami selaku PK sangat mungkin dilakukan diversi, namun penerapan pasal yang diberikan penyidik tidak memberikan ruang untuk dilakukannnya mediasi untuk diversi sehingga kami pun walau tidak difasilitasi mediasi untuk diversi berdasarkan prinsip the best interest of childmengajukan rekomendasi dalam Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan cenderung tindakan pengembalian ke orangtua atau wali yang dituangkan nantinya dalam rekomendasi litmas.

Potensi terjadinya ketidaktepatan penerapan pasal bagi Anak, khususnya non serious crime, menurut penulis akibat belum tuntasnya desiminasi bagi seluruh penegak hukum, khususnya para penyidik tentang keadilan restoatif sebagai epistimologi yang menjadi acuan penegakan hukum bagi Anak sejak efektifnya UU SPPA.

Mukadimah bab penjelasan UU SPPA menerangkan Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Konstitusi kita pun menyatakan negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kepentingan terbaik anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.

Kemudian, UU SPPA secara substansial mengatur secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap ABH dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosialnya secara wajar. Pada tahap pelimpahan di kejaksaan pun hampir tidak pernah mereka mempertanyakan kepada penyidik apakah pernah atau tidak dilakukan upaya diversi sehingga pihak kejaksaan cenderung menerima saja berkas Anak dari penyidik tanpa memeriksa secara serius apakah kasus Anak masih dimungkinkan dilakukan diversi atau tidak. Padahal UU SPPA pada pasal 42 mewajibkan penuntut umum mengupayakan diversi.

Sebelum penulis meneruskan penjelasan pada tahap pemeriksaan Anak di pengadilan, terlebih dahulu kembali mengulas syarat-syarat diversi, yaitu ancaman pidana di bawah 7 (tujuh) tahun, bukan pengulangan tindak pidana, dan mendapatkan persetujuan korban. Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.

Kemudian, materi atau tuntutan jaksa untuk kasus non serious crime berdasarkan pengalaman penulis di Makassar lebih sering memberikan pilihan untuk Anak dipenjarakan. Padahal dalam SPPA telah mengarahkan setiap APH untuk mengubah paradigma dan pola kerja dalam penanganan Anak, khusus pihak kejaksaan yang menjadi representasi lembaga penyalah atau lembaga yang mengurai dan membuktikan akan kepastian perbuatan pidana terdakwa serta memberikan tuntutan hukum yang maksimal.

Namun, dalam SPPA tidak demikian karena opsional pemberian hukum telah ditentukan pada Bab V Pasal 71 bahwa pidana pokok bagi Anak terdiri atas:

a. Pidana peringatan;

b. Pidana dengan syarat:

    1. Pembinaan di luar pengadilan;

    2. Pelayanan masyarakat;

    3. Pengawasan.

c. Pelatihan kerja;

d. Pembinaan dalam lembaga; dan

e. Penjara.

Uraian pasal di atas seharusnya dapat mafhum bagi APH  bahwa penjara adalah opsi terakhir (the last resort).

 

Hakim Sebagai Pintu Terakhir Dalam Menentukan Anak di Dalam atau di Luar Lapas

Bertambah atau berkurangnya isi Lapas Anak sangat bergantung dari hakim menentukan putusan dalam persidangan Anak. Hakim memiliki independensi dan imparsialitas untuk menetapkan putusan bagi Anak, apakah pidana penjara atau tindakan.

Akan tetapi, pengalaman penulis saat mendampingi Anak pada tahap pemeriksaan di pengadilan, hakim masih sangat dipengaruhi besaran tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sangat jarang hakim putusannya berbanding terbalik dengan tuntutan jaksa. Bahkan, ukuran keadilan bagi jaksa adalah 2/3 dari jumlah tuntutannya dan apabila hakim tidak memutuskan seperti itu, maka JPU dapat dipastikan akan melakukan banding.

Penulis berpendapat pada ranah penuntut umum belum mengindahkan apa yang menjadi jiwa dari UU SPPA sehingga untuk kasus non serious crime masih cenderung penjara menjadi isi tuntutannya.Penulis berharap hakim sebagai penentu akhir dengan pertimbangan asas-asas SPPA tidak terikat dengan jumlah besaran tuntutan penuntut umum. Bahkan, hakim merdeka sebagai penemu hukum (rechtsvinding) berdasarkan kebenaran fakta dalam persidangan dapat membuat hukum yang lebih kepada kepentingan terbaik Anak.

 

 

Penulis: Andi Moh. Hamka (JFT PK Pertama Bapas Makassar)

 

 

What's Your Reaction?

like
2
dislike
0
love
1
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0