Pentingnya Dukungan Keluarga (Family Support) bagi Narapidana

Pentingnya Dukungan Keluarga (Family Support) bagi Narapidana

Kehidupan manusia akan selalu berhadapan dengan berbagai masalah. Masalah tiap-tiap individu tidaklah sama, tergantung bagaimana individu tersebut menyikapinya. Ada individu yang menyikapi suatu masalah dengan berusaha mencari solusi yang benar dan tidak merugikan orang lain, namun ada pula individu yang memiliki masalah dan kemudian bertindak melawan hukum.

Negara Indonesia adalah negara hukum yang apabila seseorang melanggar aturan hukum, maka akan mendapatkan hukuman yang telah telah ditetapkan oleh hukum tertulis, yaitu undang-undang. Dalam setiap proses permasalahan hukum, maka tidak asing jika proses tersebut menempuh jalur peradilan. Bagi seseorang yang telah melalui proses peradilan dan diharuskan menjalankan proses keputusan tersebut, maka dikenal dengan istilah narapidana.

Seorang narapidana yang dipidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tentu dihadapkan pada suatu tekanan akan masalah yang sedang ia hadapi, baik itu stres sangat tinggi yang akan membahayakan kondisi fisik dan mental individu ataupun kemungkinan terburuk, yakni mengakhiri hidup. Status perubahan menjadi narapidana merupakan hal terberat dengan harus berpisah dengan keluaraga. Perubahan seseorang menjadi narapidana bukan merupakan hal yang mudah, maka butuh dukungan keluarga yang mau kembali menerimanya. Dukungan tersebut amat sangat berarti dalam meminimalisir gangguan psikologis sebab jauh dari orang-orang terdekat membuat narapidana rentan menghadapi hal tersebut.

Dalam penelitian yang ditulis Meiliana dengan judul Dampak Psikologis bagi Narapidana Wanita yang Melakukan Tindak Pidana Pembunuhan dan Upaya Penganggulangannya (2013) menyatakan narapidana dalam menjalani hukuman di Lapas mengalami beberapa dampak psikologis berupa derita atau kesakitan, antara lain Lost of Personality (kehilangan identitas diri), Lost of Security (kehilangan kebebasan), Lost of Liberty (kehilangan kemerdekaan individual), Lost of Personal Communication (kehilangan kebebasan untuk berkomunikasi), Lost of Good and Service (kehilangan akan pelayanan), Lost of Prestige (kehilangan harga diri), Lost of Believe (kehilangan rasa percaya diri), dan Lost of Creativity (kehilangan cita cita).

Keadaan tersebut diperburuk dengan adanya stigma negatif dari masyarakat terkait adanya narapidana, yaitu orang yang dianggap memiliki pengaruh negatif dan dapat merugikan masyarakat. Dengan keadaan seperti demikian, maka dibutuhkan suatu dorongan yang berperan untuk mencegah, mengatasi, dan menghindarkan dampak negatif yang dapat merugikan diri sendiri ataupun orang lain di mana narapidana merasa dirinya ada yang mencintai, memedulikan, dan menghargai dirinya sehingga dapat meredam kecemasan atau stres yang lebih.

Dalam penelitian yang ditulis Ahmad Yanuar dengan judul Hubungan Dukungan Sosial dengan Tingkat Stres Warga Binaan (2019) mengemukakan masih banyak sekali narapidana yang tidak mendapatkan dukungan sosial dari keluarga secara penuh dan menyebabkan mereka mengalami stres ringan. Dengan demikian, makin tinggi dukungan sosial keluarga yang diberikan, maka akan makin rendah tingkat stres narapidana.

Hanson dalam buku Ridwan Setiawan yang berjudul “Teori dan Praktik Keperawatan Keluarga (2016), menjelaskan bahwa keluarga diartikan sebagai dua atau lebih individu yang saling tergantung satu dengan yang lain terhadap berbagai dukungan, seperti dukungan emosional dan ekonomi. Keluarga juga merupakan orang yang mempunyai hubungan resmi, seperti ikatan darah, adopsi, perkawinan atau perwalian, hubungan sosial (hidup bersama), dan adanya hubungan psikologi (ikatan emosional).

Keluarga berperan penting dalam memberikan dukungan emosional. Friedman dalam bukunya yang berjudul Buku Ajar Keperawatan Riset Teori (2010) mengartikan keluarga merupakan sebuah tempat yang aman, damai untuk beristirahat, memulihkan, dan membantu penguasaan terhadap emosi. Pendapat Friedman tersebut didukung oleh Harnilawati dalam bukunya yang berjudul Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga (2013) yang di dalamnya memuat dukungan emosional keluarga termasuk dalam fungsi afektif keluarga, yakni berhubungan dengan fungsi internal keluarga dalam memberikan perlindungan psikologis dan dukungan terhadap anggotanya. Keluarga juga berfungsi sebagai tempat singgah kehangatan, dukungan, cinta, dan penerimaan. Perhatian yang diberikan memungkinkan seseorang memperoleh kedekatan emosional sehingga menimbulkan rasa aman bagi yang menerima.

Pada masa depan, narapidana ini akan dihadapkan dengan dua pilihan tantangan kehidupan, yakni pasrah atas nasib atau mempersiapkan kehidupan yang lebih baik. Apabila narapidana memilih untuk pasrah pada nasib di masa depan, maka akan timbul dampak yang dikhawatirkan akan terjadi pengulangan kejahatan serupa, bahkan bisa jadi kejahatan yang lebih buruk dari sebelumnya, sehingga sudah tidak ada lagi asas kepercayaan keluarga dan masyarakat terhadap dirinya.

Dalam kondisi yang demikian, narapidana butuh adanya dukungan keluarga, termasuk orang-orang terdekatnya. Keluarga dapat dikatakan sebagai elemen terpenting di mana seseorang akan belajar mengenai norma-norma yang ada di masyarakat serta cara berinteraksi dan bertingkah laku yang baik yang diawali dalam lingkup keluarga.

Agar tercipta suatu hubungan harmonis di dalam keluarga, maka harus ada pemahaman iman dan takwa, mengajarkan anggota keluarga agar senantiasa menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Esa, serta menjauhi semua larangannya. Apabila pemahaman iman dan takwa dilaksanakan, maka terciptalah sebuah keluarga saling menyayangi, dan saling menghargai.

Dukungan keluarga dapat membangkitkan semangat narapidana untuk selalu berpikir positif dan perlahan-lahan memulihkan psikologis dengan cara keluarga yang datang menjenguk langsung, keluarga yang menanyakan kegiatan sehari-hari narapidana di dalam Lapas, keluarga yang mendengarkan keluh-kesah narapidana, dan keluarga yang mau mendengarkan narapidana menceritakan apa yang sedang dirasakan. Sekalipun dalam kondisi pandemi COVID-19,  di mana narapidana tidak bisa betemu dan bertegur sapa sacara langsung dengan keluarga, tetapi narapidana difasilitasi dengan adanya kunjungan melalui video call dengan keluarga. Hal tersebut membuat narapidana merasa bahagia, merasa diperhatikan, dan merasa dihargai oleh keluarganya sendiri terlepas dari tindak pidana yang dilakukannya.

Keluarga harus mampu memberikan dukungan dan kepedulian lewat ungkapan-ungkapan yang positif, mendorong untuk lebih maju, serta mampu memberikan nasihat, saran, maupun petunjuk yang baik. Untuk mencapai keadaan yang dikatakan menjadi lebih baik, maka narapidana juga harus mampu menjadi pribadi yang mandiri dari tekanan sosial, mampu mengontrol emosi, dapat merealisasikan potensi dalam dirinya secara berkembang dan maju, serta memiliki tujuan ataupun arah hidup yang jelas.

Ketika keluarga sebegai elemen utama mampu menerima kehadiran narapidana dengan baik, sekalipun ia pernah melakukan kejahatan, maka hal tersebut akan membangkitkan semangat yang luar biasa dalam diri narapidana untuk berubah ke arah yang lebih baik. Dapat digarisbawahi bahwa dukungan keluarga tersebut bukan untuk mendukung adanya kejahatan atau tindakan pelanggaran hukum, tetapi semata mata hanya demi mengajak narapidana untuk memperbaiki diri. Dengan adanya dukungan keluarga tersebut, maka dengan perlahan-lahan masyarakat juga berpendapat mantan narapidana sekalipun dapat diberikan kesempatan kedua dan tidak dikucilkan di lingkungan masyarakat.

Motivasi dari keluarga sangat berperan, terutama untuk mengajak narapidana memperbaiki diri dengan cara mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkup keluarga maupun di lingkungan masyarakat, sehingga narapidana akan menyadari kesalahan yang telah dilakukannya adalah tidak benar dan tidak akan mengulangi tindak pidana yang sama maupun tindak pidana lainnya di kemudian hari.

 

Penulis: Chaerul Amri (PK Bapas Kelas II Baubau)

What's Your Reaction?

like
3
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0