Peranan Asesmen dalam Upaya Deteksi Dini Gangguan Kamtib di Lapas/Rutan

Peranan Asesmen dalam Upaya Deteksi Dini Gangguan Kamtib di Lapas/Rutan

Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan dalam pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) merupakan tugas mulia yang membutuhkan penanganan secara baik dan sistematis di mana semua subsistem yang terintegrasi harus menjalankan tugasnya sesuai Standar Operasional Prosedur yang telah ditetapkan. Namun, pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan tersebut bukanlah tugas mudah. Adanya fenomena kerusuhan dan terbakarnya sejumlah Lapas/Rutan di Indonesia merupakan indikator bahwa ada unsur-unsur tertentu dalam subsistem Pemasyarakatan yang masih harus dibenahi.

Dengan adanya fenomena-fenomena tersebut di atas, maka pihak Lapas/Rutan sebagai pegejawantahan dari Sistem Pemasyarakatan harus melakukan deteksi dini terhadap semua bentuk ancaman yang akan muncul sehingga tidak rentan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban (kamtib) di Lapas/Rutan. Untuk mengantisipasi terjadinya gangguan kamtib sebagaimana dimaksud, salah satu upaya yang biasanya dilakukan dalam Sistem Pemasyarakatan adalah melakukan asesmen terhadap para narapidana di Lapas/Rutan di Indonesia. Bertolak dari uraian di atas, maka isu yang patut dibahas adalah apakah pelaksanaan asesmen terhadap WBP mempunyai peranan dalam deteksi dini gangguan kamtib di Lapas/Rutan di Indonesia?

Secara sederhana, istilah deteksi dini yang dipakai dalam dunia Pemasyarakatan dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan pihak Pemasyarakatan dalam melakukan pendataan dan pengawasan khusus terhadap narapidana yang diduga berisiko melakukan penggulangan tindak pidana, terutama di Lapas/Rutan, sehingga stabilitas kamtib tetap terpelihara sejak dini. Sementara itu, pelaksanaan asesmen dalam dunia Pemasyarakatan bersumber dari Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Asesmen Risiko dan Asesmen Kebutuhan Bagi Narapidana dan Klien Pemasyarakatan di mana penggunaannya memakai Instrumen Risiko Residivisme Indonesia (RRI) dan Kriminogenik. Berdasarkan regulasi ini, asesmen yang secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu kegiatan penilaian, biasanya digunakan oleh petugas Pemasyarakatan guna mengetahui tingkat risiko penggulangan tindak pidana dan mengetahui kebutuhan pembinaan atau pembimbingan yang paling tepat bagi narapidana atau Klien Pemasyarakatan berdasarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya tindak pidana.

Dalam pelaksanaannya, asesmen dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan (Bapas) berdasarkan permintaan dari Lapas/Rutan untuk dilakukannya Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) terhadap para narapidana. Hal ini wajar saja karena Bapas merupakan salah satu Unit Pelaksanaan Teknis Pemasyarakatan yang mempunyai tugas dan fungsi untuk membuat Litmas. Dengan demikian, Litmas dan asesmen dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya dalam program pembinaan narapidana.

Bertolak dari uraian di atas, ketika melakukan Litmas, PK Bapas bukan saja berperan sebagai pewawancara, pengamat, atau pendengar yang baik sehingga nantinya menghasilkan penelitian yang akurat, namun juga harus berperan sebagai seorang asesor yang memiliki keterampilan khusus. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keterampilan diartikan sebagai kecakapan untuk menyelesaikan tugas. Hal ini sejalan dengan pendapat Davis Gordon (1999:55) yang menegaskan bahwa keterampilan adalah kemampuan untuk mengoperasikan pekerjaan secara mudah dan cermat. Merujuk pada definisi-definisi tersebut, maka PK Bapas harus betul-betul menguasai instrumen asesmen sehingga menghasilkan angka yang nantinya akan dikonversikan pada penggolongan narapidana sesuai tingkat risiko pengulangan tindak pidana dan Kriminogenik (risiko rendah, risiko menengah, risiko tinggi, atau risiko sangat tinggi).

Hasil asesmen yang dilakukan PK Bapas dengan menggunakan istrumen RRI dan Kriminogenik tersebut pada dasarnya telah berlandaskan pada asas profesionalitas karena telah melalui analisis mendalam sehingga semua faktor/unsur akan terekam pada hasil asesmen yang telah dilakukan. Selain itu, terdapat asas proposionalitas karena asesmen yang dilakukan bukan saja disesuaikan dengan jenis tindak pidana, tetapi juga disesuaikan dengan jenis kelamin seorang narapidana. Adapun pertimbangan dilakukannya pembagian seperti ini adalah karena setiap narapidana merupakan suatu pribadi yang memiliki kondisi fisik-psikis, latar belakang keluarga, pendidikan, lingkungan sosial, tindak pidana, dan motivasi melakukan tindak pidana yang berbeda-beda. Secara spesifik, hasil asesmen tersebut selanjutnya dipelajari dan dibahas dalam Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas/Rutan demi kepentingan program pembinaan kepribadian (pembinaan ketaqwaan, kesadaran berbangsa bernegara, intelektual, sikap perilaku, kesehatan, dan kesadaran hukum) dan/atau pembinaan kemandirian (keterampilan kerja) bagi narapidana sesuai pentahapannya dengan berpatokan pada unsur-unsur yang dinilai masih memberikan kontribusi dalam pengulangan tindak pidana nantinya.

Penjabaran hasil asesmen tersebut kemudian dipakai sebagai data awal dalam pendataan dan pengawasan khusus terhadap narapidana yang dianggap berisiko terhadap kelangsungan kamtib kehidupan kemasyarakatan di Lapas/Rutan. Untuk menciptakan situasi kondusif sebagaimana yang dicita-citakan, maka pola pembinaan kepribadian/kemandirian harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan dengan berlandaskan pada tujuan Pemasyarakatan, yaitu pemulihan kesatuan hidup, kehidupan, dan penghidupan bagi WBP yang tercermin melalui perubahan perilaku narapidana menjadi lebih baik. Perubahan perilaku ini selanjutnya digunakan oleh pihak Lapas/Rutan sebagai tolak ukur penilaian dan evaluasi terhadap perkembangan program pembinaan narapidana dalam kurun waktu tertentu.

Pada tahapan ini dapat dilihat korelasi antara kegiatan asesmen dan upaya deteksi dini terhadap gangguan kamtib melalui hasil evaluasi perkembangan pembinaan narapidana di mana pelaksanaan asesmen akan memberikan gambaran yang lengkap dan jelas tentang seorang narapidana sehingga pihak Lapas/Rutan dapat terus memantau/mengawasi perkembangan narapidana, terutama bagi mereka yang berpotensi menimbulkan gangguan kamtib sejak dini. Upaya deteksi dini ini merupakan suatu tindakan yang bersifat preventif dalam mewujudkan law inforcement system yang berlandaskan pada tujuan hukum, yaitu memberikan kemanfatan dan kebahagiaan yang besar kepada warga negaranya (asas kemanfaatan yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham).

Warga negara dalam konteks ini dapat diinterpretasikan sebagai narapidana yang mendapatkan manfaat yang besar dari kegiatan asesmen dan program pembinaan. Di sisi lain, optimisme dan motivasi dari negara yang terinterpretasikan melalui petugas Pemasyarakatan harus tetap diberikan kepada narapidana dengan asumsi bahwa semua manusia mempunyai kesempatan yang sama untuk berubah sehingga nantinya mereka bisa bangkit dan hidup dengan normal kembali di dalam masyarakat.

Dengan demikian, asesmen dapat dikatakan mempunyai peranan besar dalam Sistem Pemasyarakatan di Indonesia di mana ada semacam pemikiran dasar bahwa sistem yang baik akan menghasilkan output yang baik juga. Bertolak dari pemikiran itu, selalu ada harapan bahwa apapun yang melintasi sistem tersebut akan bernilai positif. Hal ini tentunya selaras dengan motto Bapak Mardjaman, salah seorang sesepuh Pemasyarakatan, yang menegaskan bahwa orang yang buruk sekalipun, apabila hidup dalam sistem yang baik, maka pasti akan berubah menjadi baik. Ketika orang (narapidana) menjadi baik dan terciptanya suasana yang kondusif, maka peranan asesmen dalam deteksi dini gangguan kamtib di Lapas/Rutan dapat dikatakan efektif.

 

Penulis: Julius Gysberthus (PK Ahli Muda Bapas Ambon)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
1
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0