Rempeyek Buatan Emak

Rempeyek Buatan Emak

Ini sudah lebih dari sebulan Emak tak menjengukku di lapas. Aku harus menelan air liur ketika membayangkan rempeyek renyah dan garing yang biasanya ia bawa pada setiap kunjungannya. Itu merupakan rempeyek terenak yang pernah aku rasakan. Aku tidak melebih-lebihkan, karena sejak bapak berpulang belasan tahun lalu, tangannya sudah lihai mengolah adonan tepung beras itu sebagai sumber pendapatan.

Rempeyek buatan Emak bahkan dipesan khusus dan menjadi sajian wajib saat perayaan 17 Agustus di desa. Meskipun sederhana, namun rasanya mampu memikat lidah para tamu undangan. Rempeyeknya bahkan tidak perlu malu ketika bersanding dengan aneka kudapan enak lainnya. Halhal kecil seperti itu, cukup membuat perasaan Emakku membuncah sepanjang minggu.

Terkadang rempeyek yang ia bawa saat mengunjungiku penuh dengan taburan kacang tanah, potongan daun bawang serta irisan daun jeruk purut yang harum. Jika ada sedikit lebihan uang, Emak pasti menambahkan ikan teri, taburan ebi kering, atau pun udang.

Namun, Emak belum mengunjungiku lagi. Keriput wajahnya yang begitu kentara tak bisa kupandangi lagi sembari menandaskan rempeyek yang ia bawa. Emak sakit dan sangat kesulitan bangun dari ranjang. Cerita itu keluar dari mulut kakakku yang menggantikan kehadiran Emak di ruang jenguk lapas, dan itu yang membuatku gelisah sampai hari ini.

Bahkan saat ini ketika langit duha memayungi tubuhku yang masih berdiri di pinggir jalan menunggu angkot, aku masih tak mampu mengusir kegelisahan tentang Emak di rumah. Bersama beberapa narapidana yang dibebaskan untuk mencegah virus yang mewabah, kegelisahan itu terasa seperti merayapi seluruh permukaan kulit. Membawa pikiran-pikiran buruk yang meskipun hendak kuusir sejauh mungkin, selalu punya cara untuk datang kembali. Menyelinap diam-diam dan bercokol di kepalaku.

***

Tidak ada yang bisa menggantikan keteguhan hati seorang Emak, bahkan ketika anaknya harus menjalani hukuman. Ia menerima dengan tangan terbuka dan begitu tabah. Aku pernah mencuri motor setahun silam karena dihimpit kekurangan. Itu adalah percobaan pertama dan sialnya itu pula kegagalanku yang pertama. Meski terasa sangat sulit, waktu setahun di dalam rutan cukup untuk membuatku sadar. Pengalaman berharga itu mampu menampar seluruh logika dan jalan pikiranku sebelumnya.

Rasa khawatir seketika meriapiku kembali ketika mobil angkot yang kutumpangi semakin dekat dengan rumahku. Gambaran tentang orang-orang yang akan memandangiku dengan ganjil dan menyelidik, membuatku terusik selama perjalanan. Apakah mereka mampu menerima mantan narapidana seperti diriku ini?

Untuk lebih menenangkan diri aku putuskan untuk singgah di tempat potong rambut terlebih dahulu. Pikiran itu muncul seketika ketika kulihat tempat potong rambut langgangganku masih buka. Sehingga saat ide itu mencuat, saat itu pula aku berteriak kepada sopir dan membuatnya menepikan kendaraan dengan tiba-tiba. Setidaknya dengan memangkas rambut, aku terlihat lebih lebih segar di mata Emak. Meskipun sebenarnya hal tersebut kumaksudkan untuk sedikit mengambil jeda dan mempersiapkan diri.

Bahkan ketika langkah kaki membawaku pulang dengan tengkuk yang agak gatal karena sisa bercukur, aku belum bisa mengeyahkan gemuruh di dadaku. Untungnya siang itu udara begitu panas sampai terasa menyengat bulu-bulu mata. Sehingga banyak orang berdiam diri di rumah. Sedangkan beberapa orang yang secara tidak sengaja berpapasan di jalan, akan melihatku dengan tampang penuh tanda tanya, atau sekadar berhenti dan memandangiku lekat-lekat untuk memastikan bahwa itu adalah diriku sang mantan narapidana. Aku hanya tersenyum canggung dan memilih mempercepat langkah.

Saat kumasuki rumah, pintu tidak terkunci. Aku masih sangat familier dengan tempatku tumbuh selama ini. Tidak ada perubahan berarti dalam hampir setahun kepergianku. Hanya warna ungu bunga kecipir di depan rumah yang terlihat memudar dan lantai yang terasa lebih berdebu dari biasanya.

Aku menyibak tirai kamar Emakku dan memberi uluk salam. Kulihat emak bergeliat perlahan ketika melihatku datang. Barangkali di pikirannya saat itu adalah kakakku yang datang menjenguk.

“Kamu siapa?” Emak bertanya, karena memang aku belum melepas masker yang kupakai. Saat masker itu kulepas, Emak tampak tak percaya. Ia tertegun beberapa saat, sebelum kesadarannya kembali bersama munculnya warna basah di matanya.

Emak seperti tiba-tiba dibangunkan dalam mimpi indah, dan mendapati gambaran mimpi tersebut menjadi kenyataan. Tanganku segera merengkuh tubuhnya yang terasa semakin ringkih. Bahkan ketika tangannya kugenggam, masih kudapati kehangatan pada permukaan telapak tangannya. Kehangatan yang selama ini menemaniku sampai mendewasa. Dan tentu saja tangan yang selama ini mampu membuat rempeyek paling enak.

Siang itu kugendong emak ke sumur belakang, sebelumnya telah kujerang air panas untuk memandikanya.

“Bukannya kamu masih lama keluar dari penjara?” Ucap Emak saat kududukkan di kursi kayu dan mulai kumandikan secara perlahan. Emak tampaknya masih tidak habis pikir mengapa aku bisa keluar lebih cepat.

“Iya, Mak. Karena ada wabah virus, narapidana diberi keringanan.” Emak mengangguk dan mulutnya tampak mengucap syukur secara lirih.

“Aku kangen rempeyek buatan Emak. Tapi aku tahu Emak enggak kuat untuk membuatnya. Jadi, Emak ajari aku ya?” Kulihat Emak menyunggingkan senyuman.

“Mau buat rempeyek apa?” Ia tampak antusias.

“Rempeyek kacang aja, Mak. Pakai daun bawang yang banyak.” Ucapku saat mulai kubersihkan rambutnya.

Setelah selesai mandi dan kuberi pakaian hangat, Emak memberikan petunjuk bahan-bahan apa saja yang harus kubeli—tepung beras, tepung kanji, kacang tanah, dan telur. Tidak lupa dengan santan instan agar lebih mudah dan cepat digunakan. Karena saat seperti ini tidak ada lagi yang menjual kelapa potong. Untuk bawang putih, kunyit dan ketumbar aku tinggal memakai persediaan yang ada di dapur. Sedangkan daun jeruk purut dan daun bawang aku hanya perlu memetik di halaman belakang.

Emak membimbingku dari membuat adonan hingga bagaimana baiknya memanaskan minyak. Meskipun terlihat sepele, nyatanya aku beberapa kali gagal meletakkan adonan cair di badan wajan. Kadang teramat lebar sehingga terlalu rapuh, atau beberapa kali terlihat kecokelatan karena terlalu lama tidak dibalik. Melihatku membuat banyak kesalahan, Emak seperti gatal ingin turun tangan sendiri. Ia berulang kali memaksa untuk membantu menggoreng.

“Aku masih bisa menggerakkan tanganku. Cukup ambilkan kursi yang tadi kugunakan ketika mandi.” Aku menurut saja dan setelahnya kupindahkan Emak di depan penggorengan. Meskipun ia tampak sangat kesulitan meletakkan adonan di wajan, tapi hasil rempeyek yang ia goreng jauh lebih baik daripada buatanku. Emak seolah tahu dengan pasti kapan waktunya membalik rempeyek dan mengangkatnya. Bahkan baunya terasa lebih renyah.

Ketika burung-burung terbang pulang dan mencari tempat hangat di ceruk pohon, aku merasa puas menikmati kebersamaan bersama Emak di dapur. Kehangatan tampak menyeruak mengusir warna pucat di wajahnya. Bahkan rambutnya yang keputihan beberapa kali tertimpa lamur senja yang berhasil menerobos celah saluran udara.

Setelah kuhabiskan nasi panas dan beberapa buah rempeyek, Emak kugendong kembali untuk beristirahat di kamarnya. Sedangkan rempeyek yang digorengnya tadi, sengaja kutandai dan tidak kumakan. Rempeyek-rempeyek itu kusimpan di dalam stoples kaca. Sehingga aku bisa menghabiskan waktu dengan memandangi adonan kering kekuningan itu, serta memutar ulang kejadian yang telah kujalani setahun ini.

Mulai dari pencurian motor, masuk penjara, mengikuti program pembinaan di lapas, bahkan sampai aku pulang hari ini, semuanya terasa pahit. Namun, datangnya wabah turut andil dalam mempercepat pertemuanku dengan Emak. Sepertinya itu bagian dari rahasia kehidupan dan sasmita alam yang mencoba saling bersekongkol.

Aku juga berharap, 17 Agustus mendatang saat wabah ini selesai, Emak bisa dengan bangga memberikan suguhan rempeyek terbaiknya saat perayaan kemerdekaan di desa. Seperti tahun-tahun sebelumnya.

Aku tidak mampu membayangkan, jika rempeyek di depanku ini menjadi rempeyek terakhir yang dibuat oleh Emak. Seseorang yang pasti menerima kepulanganku dengan pelukan dan senyuman lebar. Sampai kudengar suara bambu wulung di belakang rumah saling bergesekan karena ditelisik angin. Suara itu menemaniku saat kucoba mengusir buram karena desakan air mata.

 

 

Penulis: Teguh Dewangga

Juara Favorit Lomba Cerpen Piala Menteri Hukum dan HAM RI dalam rangka HUT Ke-75 RI (Kategori Masyarakat)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0