Crime is Social Product
“Crime is social product.” Begitulah sekilas pernyataan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Yasonna H. Laoly, saat menghadiri Deklarasi Resolusi Pemasyarakatan 2020 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Kelas IIA Jakarta, Kamis (16/1/).
Sepenggal kalimat ini bukanlah tanpa dasar. Ia adalah hilir dari panjangnya hulu perdebatan terkait sebab dari sebuah kejahatan. Dari Mazhab Demonologis yang berpijak pada asumsi kejahatan merupakan bentuk kepatuhan pada “pangeran kegelapan,” lalu bergeser ke aliran klasik dengan tokohnya Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham yang meletakkan pandangan kejahatan adalah hasil dari “kalkulasi hedonistik,” sebuah pandangan filsafat praktis yang menyatakan setiap individu bertindak berdasarkan hasil perhitungan seberapa besar rasio kebaikan dibandingkan rasio keburukan yang diterima (Barry,1983:106).
Derasnya perkembangan ilmu pengetahuan pada fase klasik bermuara pada lahirnya pelbagai mazhab alternatif, seperti Neoklasik, Ekologis, Geografis, Ekonomi, Biologis Positivistik, Psikologis, hingga sebagai penutup di fase kontemporer, yakni Mazhab Sosiologis dengan tokohnya Emile Durkheim, Edwin Sutherland, dan Richard Quinney.
Secara sederhana, Asosiasi Diferensial dari Sutherland menyampaikan seorang individu menjadi condong pada kriminalitas disebabkan atas kontak yang intensif dengan segala hal yang mendukung kriminalitas. Inilah yang disebut dengan faktor-faktor kriminogenik. Olehnya, para penganut Mazhab Sosiologis umumnya sepakat criminal is not born, but it is made (kriminalitas tidak dilahirkan, melainkan ia dibuat). Lalu, siapa produsennya? Adalah pelbagai gejala sosial.
Perceraian, rendahnya tingkat pendapatan, dan kenakalan teman sebaya adalah beberapa contoh gejala sosial yang berkontribusi terhadap tindak kejahatan seseorang menurut Mazhab Sosiologis. Sebagai contoh, perceraian. Korelasi perceraian orang tua dan kriminalitas pada seorang anak diungkapkan Judith Wallerlog, seorang psikolog asal Amerika Serikat yang menyatakan kondisi anak-anak korban perceraian akan menimbulkan permasalahan kurang percaya diri, pemarah, suka mencela diri sendiri, selalu menyembunyikan perasaan, serta mudah frustasi. Watak ini dilatarbelakangi keharusan memikul beban orang dewasa sejak usia dini yang membuat mereka lebih mudah tergiur iming-iming zat adiktif sebagai sarana melegakan jiwa untuk sementara waktu.
Contoh lain adalah rendahnya tingkat pendapatan. Rendahnya tingkat pendapatan atau pengangguran umumnya berkorelasi dengan sinisme hukum pada sebuah lingkungan masyarakat. Sinisme hukum adalah sebuah orientasi budaya yang memandang hukum dan agen penegak hukum, seperti polisi dan pengadilan maupun pemerintah sebagai sesuatu yang tidak dapat mewujudkan keadilan di masyarakat. Oleh karena itu, terkadang ketika masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan lingkungan mainstream, maka kondisi memaksakan mereka untuk beradaptasi sekali pun dengan pola yang anti-sosial.
Contoh tersebut adalah bukti bahwa “kejahatan” adalah perkara ketidakmampuan seorang individu dalam beradaptasi dengan lingkungan masyarakat. Pemahaman ini kemudian mencapai klimaksnya pada 1964 dan melahirkan anak kandung yang bernama “Pemasyarakatan.” Pemasyarakatan menjadi simbol bahwa mengidentikkan kejahatan dengan penyiksaan adalah sebuah pandangan yang usang. Pemasyarakatan tiada lain adalah wahana rehabilitatif dan sarana perawatan para pelaku kejahatan agar ia mampu hidup bermasyarakat sebagaimana tujuan Pemasyarakatan, yaitu pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan.
Derivasi dari konsep Pemasyarakatan tidak hanya menetapkan lapas sebagai instansi yang berperan dalam membina para narapidana, melainkan hadirnya balai pemasyarakatan sebagai unit pelaksana yang turut melaksanakan fungsi pembimbingan. Fungsi pembimbingan ini dilaksanakan pejabat fungsional yang bernama Pembimbing Kemasyarakatan (PK).
Salah satu fungsi utama PK adalah membuat Penelitian Kemasyarakatan yang merupakan instrumen dalam mendiagnosa penyakit sosial yang dialami para pelaku kejahatan. Hasil ini kemudian menjadi rujukan dalam menetapkan pola pembinaan, baik pembinaan kepribadian maupun pembinaan kemandirian (keterampilan kerja). Dengan kepribadian yang baik dan disertai keterampilan kerja, maka terwujudlah individu yang siap dan mampu hidup bermasyarakat.
Ungkapan “crime is social product” tiada lain hanyalah sebuah refleksi penanggulangan kejahatan tidak hanya tanggung jawab institusi Pemasyarakatan, Kepolisian, Kejaksaan, maupun Kehakiman. Pelbagai elemen turut serta sebagaimana institusi yang mewadahi pemerataan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, maupun pemberdayaan sosial, penanganan fakir miskin dan institusi lain selama berkaitan dengan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Demikianlah keadilan restoratif.
Penulis: Moch. Fauzan Zarkasi (PK Bapas Makassar)