Menatap Jauh Kedepan Penanganan Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Anak: Seharusnya Ibu dan Ayah Juga Merasakan

Menatap Jauh Kedepan Penanganan Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Anak:  Seharusnya  Ibu dan Ayah Juga Merasakan

Pada awal tahun ini di media sosial terdapat postingan menarik yang di-repost (kejadian tahun 2018) mengenai terpidana mati di salah satu negara maju. Ia akan dieksekusi mengguna kursi setrum. Pada saat-saat terakhirnya, pengadilan memberikan kesempatan bagi terpidana untuk menyampaikan keinginan terakhir kalinya. Mengejutkan, ia justru menuliskan surat wasiat untuk ibunya dengan intisari isi tulisan menuntut kepada ibunya yang seharusnya juga duduk di kursi kematiannya karena tidak bisa mendidik dirinya dengan baik.

Dari hal-hal kecil saat terpidana mencuri permen kakaknya di masa kecil, orangtuanya hanya diam saja hingga saat menginjak usia remaja ia menyembunyikan bola saudaranya, si ibu melindungi dirinya. Pada akhirnyaia dikeluarkan dari sekolah, ibunya justru melindungi dirinya saat akan dihukum ayahnya dengan alasan ia masih muda. Ketika ia berusia 17 tahun mencuri sepeda tetangganya, justru sang ibu diam saja dan tidak memarahi dirinya. Budaya barat yang begitu kental dengan kebebasan dibandingkan dengan budaya timur dapat memunculkan manusia dengan pemikiran seperti terpidana mati di atas. Lalu timbul pertanyaan mendasar bagi kita semua, khususnya penulis, sehingga menjadikan kasus tersebut menjadi inti tulisan ini, apakah benar isi dari pernyataan terpidana mati tersebut?

Pada opini kali ini dibagi menjadi dua pembahasan kasus d iatas dihubungkan dengan penanganan kasus yang dilakukan oleh anak dari sisi perilaku manusia, khususnya pola asuh orangtua, dan dari sisi agama yang berpusat pada pembahasan bagaimana hal tersebut muncul dari diri seorang terpidana mati di detik akhir kehidupannya. Semoga hal ini menjadi perhatian bagi pemangku kebijakan, aparat penegak hukum, dan khususnya bagi orangtua atau calon orangtua. Kita sebagai manusia biasa kadang lupa bahwa Tuhan menciptakan manusia mempunyai beragam kepribadian sendiri dengan anugerah bakat dan potensi yang istimewa.

Hampir setiap pendampingan terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) pada saat pengambilan data Penelitian Kemasyarakatan (Litmas), pendampingan diversi, maupun pendampingan sidang Anak dapat dihitung dengan jari, berapa anak yang didampingi oleh orangtuanya. Dari banyaknya kejadian yang memilukan itu, penulis berkesimpulan bahwa ABH ataupun berkonflik dengan hukum lahir dari keluarga yang tidak baik-baik saja. Hati nurani manusia seperti apa yang tega membiarkan anaknya menghadapi hal semacam itu sendirian, secara psikis dan fisik pasti sangat tertekan. Sungguh luar biasa, peramu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dari kacamata keilmuan psikologi, bagaimana orangtua yang menjadi role model pertama seorang anak, mendidik, mengawasi, dan menganyomi anak. Dalam pelbagai literatur disebutkan bagaimana orangtua mendidik anaknya. Gunarsa (2000) membagi beberapa tipe pola asuh orangtua: otoratif, otoritatif, permisif. Penjelasannya sebagai berikut: otoratif dimana orangtua memegang kuasa penuh terhadap perilaku dan pengambilan keputusan bagi diri anak; otoritatif pola asuh yang memberikan kebebasan dengan tujuan agar anak dapat mandiri, dengan batasan yang tegas dari orangtua; permisif dimana orangtua cenderung membiarkan perilaku anak atau malah memanjakan anak.

Kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak kebanyakan orangtua menggunakan pola asuh permisif mengakibatkan anak melakukan tindak pidana. Hal ini juga dibuktikan dengan penelitian mengenai anak dengan pola asuh permisif. Pola asuh ini bisa cenderung memanjakan anak atau seperti menelantarkan. Selain itu, anak merasa apa yang ia lakukan adalah benar walaupun melanggar batasan norma yang berlaku di masyarakat karena dibiarkan atau malah dibela oleh orangtuanya.

Manapiring (2019) dalam bukunya Filosofi Teras mengatakan orangtua seharusnya mempunyai dikotom kendali kepada anak yang kadang dilupakan, seperti saat anak mengalami kekecewaan, bukannya ikut menghujat sumber rasa kecewa anak. Tetapi, seorang orangtua seharusnya memilih mengendalikan rasa kecewa anak. Misalnya seorang anak kedapatan mencuri, orangtua tidak boleh menghardik atau membiarkan, tetapi mencari tahu kenapa anak sampai bisa mencuri (bisa saja cuma cari perhatian) dan memberitahukan bahwa hal itu tidak boleh dilakukan. Kalau kata Epictetus, “usahakanlah agar kamu meninggalkan anak-anak yang terdidik dengan baik dan bukannya kaya (harta, karena mereka yang terdidik memiliki harapan yang lebih baik daripada kekayaan si bodoh (ignorant).” Menurut Manaparing, arti kata “terdidik” bukan hanya pendidikan formal, tetapi mencakup pendidikan nilai-nilai dan filsafat hidup yang seharusnya datang dari orangtua.

Sebagai warga negara yang menomor satukan ketuhanan dalam landasan berperilaku kesahariannya, kita juga harus melihat bagaimana setiap agama yang menempatkan seorang anak sebagai sosok yang harus diberikan perhatian, kasih sayang, nafkah batin dan lahir, serta pengawasan oleh kedua orangtuanya. Mengutip salah satu tafsiran dari Ibnul Qayyim pada ayat Alquran Surah Al Isra’ ayat 17 (Suwaid,2010), “Maka, barang siapa yang dengan sengaja tidak mengajarkan apa yang bermanfaat bagi anaknya dan meninggalkannya begitu saja, berarti dia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar. Kerusakan pada diri anak kebanyakkan datang dari sisi orangtuanya yang meninggalkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dalam agama berikut sunnah-sunnahnya. Para orangtua itu melalaikan mereka di waktu kecil sehingga mereka tidak sanggup menjadi orang yang bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan tidak dapat member manfaat kepada orangtua mereka. Ada sebagian orangtua yang mencela anaknya karena telah bersikap durhaka. Sang anak membantah, ‘Wahai bapakku, engkau sendiri telah durhakaiku di masa aku kecil, maka sekarang aku mendurhakaimu setelah engkau tua. Sewaktu kecil engkau melalaikanku, maka sekarang aku pun melalaikan mu di masa tuamu.”

Tidak sedikit dari kasus Anak yang pernah ditangani oleh penulis pada saat pengambilan data Litmas bagian poin pendidikan keagamaan, Anak tidak menjalankan kewajibannya terhadap Tuhannya atau menjalankan tetapi tidak pernah utuh. Apakah itu menjadi kesalahan anak? Tidak. Ketika orangtua (kebetulan mendampingi) atau wali mendampingi, ketika ditanya hal yang sama, ternyata tidak pernah dilakukan juga. Benar adanya mengenai konsep pemasyarakatan bahwa mereka yang masuk dalam lembaga pemasyarakatan adalah orang yang tersesat karena ada sesuatu yang kosong pada dirinya, yaitu hubungannya dengan Tuhan.

Langkah-langkah preventif sudah banyak diupayakan, tetapi belum dapat membendung perilaku anak yang semakin hari semakin beragam, bahkan akhir-akhir ini anak digunakan sebagai “alat” peredaran narkoba di Indonesia. Alangkah bijaksananya orangtua menyandari peran, tugas, dan fungsinya sebagai penanam nilai dalam pembentukan perilaku anak. Mengutip pernyataan dari Jhon Kahoe dalam teori tabularasa bahwa anak seperti kertas putih, bagaimana orangtua mewarnainya. Penulis setuju apabila orangtua tidak dapat hadir mendampingi dalam setiap proses tahapan proses peradilan anak seharusnya tidak dilakukan proses tersebut. Akan lebih bijaksana bila memungkinkan anak dan orangtua mendapatkan hukuman yang sama, bukan hanya saat mendapatkan alternatif hukuman ganti rugi yang melibatkan orangtua karena pola asuh orangtualah yang mempengaruhi perilaku anak sehingga terjebak dalam perilaku criminal

 

 

Penulis: Muhammad Radhi Mafazi (PK Bapas Kelas II Baubau)

What's Your Reaction?

like
6
dislike
0
love
0
funny
1
angry
0
sad
2
wow
1