Pidana dengan Syarat sebagai Pidana Alternatif bagi Anak

Keadilan restoratif sebagai arah baru sistem peradilan pidana kontemporer terkesan sebagai konsep yang cukup humanis. Hal ini tak terlepas dari fusi dua pendekatan pemidanaan modern, yakni pendekatan hubungan pelaku-korban (doer-victims relationship) dan pendekatan perbuatan atau pelaku (daad-dader straftecht). Kedua prinsip tersebut menjadi dasar substantif dari Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang secara eksplisit menegaskan keadilan restoratif sebagai landasan nilai.
Pendekatan hubungan pelaku-korban (doer-victims relationship) berkaitan dengan ketentuan diversi pada aturan terkait. Diversi dalam United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice atau yang dikenal dengan istilah The Beijing Rules (Resolusi Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 29 November 1985) ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggaran Anak dengan tidak menempuh jalur formal. Penerapan diversi dilakukan pada semua tingkatan pemeriksaan atas maksud mengurangi dampak destruktif keterlibatan Anak dalam proses peradilan pidana.
Namun, keistimewaan ini mendapat sejumlah ketentuan mengingat sebagian peristiwa pidana bukan hanya mencederai kepentingan korban, akan tetapi turut mencederai keadilan publik sehingga membutuhkan penanganan secara konvensional dengan tetap memperhatikan perlindungan psikis Anak. Prasyarat dimaksud tertuang pada pasal 7 ayat (2), yaitu perbuatan pidana dengan ancaman dibawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Sifatnya yang kumulatif, maka salah satu dari kedua unsur saja tidak terpenuhi. Maka, privilege penanganan perkara tidak dapat digunakan.
Padahal dengan semua keistimewaan yang dimiliki, sebagian pihak mengasumsikan diversi sebagai satu-satunya parameter pemenuhan keadilan restoratif. Argumen ini berdasarkan fakta bahwa potensi pengembalian Anak ke Orang Tua (AKOT) jauh lebih besar pada fase diversi dibandingkan penyelesaian di ranah pengadilan. Di sisi lain, ada pula yang berdalih bila tak mampu menghasilkan AKOT, maka sedapat mungkin agar dikenai tindakan perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) yang penting terhindar dari vonis pidana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Tiga opsi yang selalu menjadi preferensi atas setiap penanganan perkara Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Pidana dengan Syarat
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian awal, selain pendekatan hubungan pelaku-korban, pendekatan perbuatan-pelaku juga turut melingkupi konsep keadilan restoratif. Pendekatan terakhir menjadi basis moril dari berbagai variasi jenis pidana maupun tindakan dalam UU SPPA. Salah satu jenis pidana pokok yang kurang dioptimalkan adalah pidana dengan syarat. Sementara itu, menurut penelusuran penulis jenis pidana ini tergolong mampu menyeimbangkan antara kedua pendekatan keadilan restoratif.
Secara teknis, pidana dengan syarat diatur dalam pasal 73 UU SPPA. Dalam implementasinya, seorang Anak yang dijatuhi pidana dimaksud wajib tunduk atas berbagai syarat yang ditetapkan dalam rentang waktu tertentu. Apabila terjadi pelanggaran, maka Anak akan menjalani pidana penjara sesuai yang disebutkan dalam putusan pengadilan. Syarat umum adalah tidak melakukan pengulangan tindak pidana dan syarat khusus adalah melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang ditetapkan oleh hakim.
Dari segi konsep, daya pemulihan pidana dengan syarat tergolong potensial. Pasalnya, ancaman pidana penjara sebagai konsekuensi atas pelanggaran syarat yang ditetapkan menjadi daya dorong terhadap Anak beserta orang tua untuk mengoptimalkan interaksi agen sosialisasi utama (keluarga, lingkungan pergaulan, media massa, dan lingkungan pendidikan). Selain itu, syarat khusus yang bersifat fleksibel dengan latar belakang hasil penyelidikan Pembimbing Kemasyarakatan menguatkan sifat pemidanaan dalam konteks individual treatment. Rekomendasi syarat khusus dapat berupa pembatasan jam malam, atensi terhadap pendidikan formal, larangan interaksi dengan gangster, atau larangan konsumsi rokok / alkohol. Ada pula yang mengaitkan dengan pelayanan masyarakat, seperti mengelola rumah ibadah atau membersihkan fasilitas umum.
Berbagai implikasi konstruktif yang ditawarkan tentu selaras dengan konsep pembaharuan hukum pidana modern, yakni pemulihan. Asumsi tersebut juga ditegaskan Muladi dalam karyanya, Lembaga Pidana Bersyarat (1985: 260) bahwa pidana bersyarat bilamana didayagunakan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat integrative, yaitu sarana perlindungan masyarakat, solidaritas sosial, pencegahan umum dan khusus, serta pengimbalan. Bahkan, Muladi mengistilahkan Pidana Bersyarat sebagai proses hukum pidana yang berperikemanusiaan.
Bersumber pada uraian di atas, secara jernih dapat disimpulkan keadilan restoratif tidak hanya bersoal tentang diversi maupun AKOT. Temuan Pusat Kajian Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI) terkait penerapan SPPA di empat wilayah juga layak menjadi pertimbangan. PUSKAPA UI menemukan dalam lima tahun terakhir tren pelaksanaan diversi berjalan positif, tetapi baru pada tahap kepatuhan. Adapun akuntabilitas dan dampak pelaksanaan masih menjadi pertanyaan (PUSKAPA, 2020).
Oleh karena itu, perspektif terhadap keadilan restoratif dalam UU SPPA sejatinya dipandang dalam cakrawala yang lebih luas. Tak hanya mengandung pendekatan hubungan pelaku-korban (doer-victims relationship) yang identik dengan diversi, namun pula terdapat pendekatan perbuatan atau pelaku (daad-dader straftecht) yang identik dengan pemulihan faktor kriminogen melalui berbagai alternatif pidana maupun tindakan.
Penulis: Moch. Fauzan Zarkasi (PK Bapas Kelas I Makassar)
What's Your Reaction?






