Meretas Kebijakan Asimilasi Bagi Narapidana

Dunia mengalami transisi bentuk pemidanaan akibat wabah Coronavirus disease (COVID-19). Indonesia adalah salah satu negara yang terdampak. Akhir-akhir ini, publik mempertanyakan dan meragukan kebijakan asimilasi melalui upaya pengeluaran narapidana di Indonesia. Akhirnya, kita diajak untuk meretas kebijakan internasional dalam upaya penanganan COVID-19 bagi narapidana.
Bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan?
Setiap negara menyepakati kebijakan pengeluaran narapidana di tengah wabah COVID-19 melalui pertimbangan Komisi Tinggi PBB “Urgent Action Needed to Prevent COVID-19 Rampaging Through Places of Detention” yang isinya adalah memberikan perlindungan kepada setiap orang yang berada ditempat penahanan khususnya dengan kondisi overcrowded, fasilitas kesehatan yang terbatas, dan tidak memungkinkan adanya social distancing.
Komisi ini meminta pemerintah bekerja cepat untuk mengurangi tingkat hunian dengan situasi yang berat dalam mengambil keputusan terhadap orang yang rentan tertular COVID-19. Selanjutnya, sejalan dengan Sub Komite Pencegahan PBB, dalam situasi kedaruratan karena COVID-19, Sub Komite ini mendorong negara-negara untuk mengambil perlindungan kepada orang yang dalam penahanan melalui kebijakan pembebasan sementara.
Penjara diasumsikan sebagai total institution. Aspek desain bangunan yang kompleks, pergerakan narapidana yang dibatasi, dan kondisi keterdesakan akibat fenomena overcrowded menjadi alasan tidak memungkinkan bagi narapidana untuk melaksanakan social distancing.
Di sisi lain, minimnya fasilitas kesehatan di berbagai penjara juga menjadi pertimbangan bahwa pengeluaran narapidana diperlukan. Manajemen risiko pengendalian narapidana akan kekhawatiran mereka terhadap keluarganya di luar yang menghadapi wabah COVID-19 juga menjadi pertimbangan atas kebijakan pembebasan.
Indonesia yang menjadi salah satu negara terdampak COVID-19 mengambil kebijakan asimilasi yang diterjemahkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) RI Nomor 10 Tahun 2020 dam Keputusan Menteri Hukum dan HAM (Kepmenkumham) RI Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 sebagai upaya pencegahan dan penanganan COVID-19 di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan/atau rumah tahanan negara (rutan).
Apa itu asimilasi?
Sejatinya asimilasi bukanlah membebaskan narapidana, sekali lagi bukan “membebaskan.” Asimilasi merupakan program pembinaan deinstitusional dengan mengintegrasikan atau membaurkan narapidana dengan masyarakat. Tentunya dalam memberikan asimilasi, petugas Pemasyarakatan wajib menyortir dan menyeleksi narapidana yang persyaratan administratif dan substantifnya memenuhi kriteria untuk mendapatkan hak asimilasinya. Setelah mendapatkan asimilasi, narapidana tersebut masih dalam proses pembimbingan dan pengawasan oleh balai pemasyarakatan (bapas) sampai masa pidananya berakhir. Asimilasi pun sebenarnya merupakan program pembinaan yang ada sejak tahun 1999.
Apa saja persyaratan untuk mendapatkan asimilasi? Pertama, narapidana yang 2/3 masa pidananya habis sebelum 31 Desember 2020. Kedua, narapidana yang telah menjalankan setengah masa pidananya. Ketiga, narapidana dengan kategori tindak pidana umum. Jadi, mereka yang mendapatkan asimilasi adalah narapidana yang masa pidananya sudah hampir habis dan dengan kategori tindak pidana umum.
Selanjutnya, bagaimana dampak pasca pemberlakuan asimilasi ini?
Pertama, terjadi penurunan tingkat hunian yang signifikan. Perlu kita ketahui bahwa kondisi umum lapas dan rutan di Indonesia per 31 Maret 2020 sejumlah 525 Unit Pelaksana Teknis (UPT) dengan kapasitas hunian 131.931 penghuni. Pada tanggal tersebut, jumlah narapidana se-Indonesia adalah 270.351 orang. Terjadi overcrowded sekitar 205%.
Dampak pemberlakuan Permenkumham dan Kepmenkumham ini, sekitar 34.537 penghuni mendapatkan hak asimilasi. Dari 270.351 penghuni per 31 Maret 2020, menjadi 235.694 per 3 April 2020. Terjadi penurunan overcrowded menjadi sekitar 178%. Meski demikian, hal ini berdampak terhadap efektifitas manajemen pembinaan dan pengamanan lapas dan/atau rutan yang lebih terorganisir dan terstruktur.
Kedua, terjadi penghematan anggaran negara. Setiap narapidana mendapatkan anggaran makan sekitar Rp 32.269/per narapidana (jumlah akumulatif karena setiap daerah berbeda). Pasca pemberlakuan kebijakan ini, negara melakukan penghematan mencapai sekitar Rp. 300 miliar dari pelaksanaan asimilasi sebanyak 34.537 penghuni. Anggaran tersebut menjadi refocusing dan relokasi bagi pemanfaatan yang lebih berdayaguna khususnya dalam menghadapi bencana COVID-19 ini.
Selanjutnya, menjawab keraguan masyarakat mengenai kebijakan ini.
Saat ini yang menjadi sorotan publik adalah para koruptor dibebaskan melalui asimilasi. Pernyataan publik ini dapat menjadi pemicu delegitimasi terhadap pemerintah. Perlu kita ketahui, kebijakan asimilasi tidak diberikan kepada narapidana dengan tindak pidana khusus antara lain adalah narapidana korupsi, bandar narkotika, terorisme, dan kejahatan HAM berat lainnya yang terasosiasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
Terminologi membebaskan adalah kesalahan, karena asimilasi tidak membebaskan narapidana. Mereka menjalankan masa pidananya melalui integrasi dirumah saja dengan keluarga dan masyarakat. Selain sebagai upaya social dan physical distancing menghadapi COVID-19, hal ini juga sebagai upaya menghilangkan stigmatisasi terhadap narapidana.
Kembali menjawab keraguan publik mengenai narapidana yang melakukan pelanggaran hukum kembali atau residivis (the relapse of criminal acts) saat diberikan asimilasi. Bagaimana dengan data residivis di Indonesia? Data sampai tahun 2020, sebanyak 35.044 narapidana merupakan residivis atau sekitar 12,96%.
Dalam konteks asimilasi, sebanyak 13 narapidana asimilasi melakukan pengulangan tindak pidana dari sekitar 36 ribu narapidana yang mendapatkan hak asimilasi. Artinya, hanya sekitar 0,036% dari yang melakukan residivis.
Menjadi sebuah ironi apabila kita mengkritisi hanya dari 13 narapidana yang residivis dari konteks asimilasi saja, sedangkan sebelum pemberlakuan asimilasi ini ternyata ada sekitar 35.044 narapidana juga yang merupakan residivis.
Selain Pemasyarakatan wajib berbenah khususnya dalam pola pembinaan kepribadian dan kemandirian, di sisi lain sistem peradilan pidana (khususnya lembaga pra ajudikasi dan ajudikasi) juga wajib berbenah dalam menegakkan hukum yang berintegritas sehingga dapat menciptakan pemidanaan yang berkeadilan bagi para pelanggar hukum agar tidak terjadi pengulangan tindak pidana atau residivis dikemudian hari.
Kajian ini perlu menjadi agenda perbaikan bagi pemerintah dalam aspek ketahanan nasional. Karena terjadinya keterceraian hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan narapidana semata-mata tidak hanya menjadi tugas institusi Pemasyarakatan saja, melainkan peran pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan ketahanan nasional sebagai dasar pencegahan terjadinya disorientasi sosial, rendahnya tingkat pendidikan, kedaruratan moral dan etika, serta keretakan ekonomi yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum.
Penulis: Andi E. Sutrisno (ASN pada Lapas Kelas IIA Jember)
What's Your Reaction?






